Chereads / Remoire / Chapter 12 - Bab 10 : Seribu Surat dan Melodi Keputusasaan ( Part II )

Chapter 12 - Bab 10 : Seribu Surat dan Melodi Keputusasaan ( Part II )

Salahkah jika aku menggantungkan harapan terakhirku pada sebuah tahayul masa lalu?

Kaki dan tubuhku terikat oleh beban yang tak sanggup kusingkirkan.

Berjalan seperti kura-kura dan bermimpi seperti pungguk yang merindukan rembulan.

***

"Wahai Rajaku! Berilah hamba keringanan sekali lagi! Hamba mohon!" pinta lelaki paruh baya yang mengenakan pakaian compang-camping.

Raja Andrew memainkan jemarinya sejenak, lalu melihat kertas yang ada di tangannya. Kemudian mendesah sejenak.

"Baiklah. Bayar semua hutangmu terhadap Tuan Benjamin beserta dendanya. Jika belum lunas juga, keberangkatanmu menjadi buruh di Tambang Branda akan segera dipersiapkan."

"Terima kasih, Yang Mulia Raja Andrew." Lelaki itu berlutut dan mensyairkan pujian kepada Andrew. Kemudian ia pamit pergi dengan wajah kegirangan.

"Anda terlalu lembek, Yang Mulia," bisik Koruna. "Harusnya orang seperti itu jebloskan saja ke penjara."

Andrew yang mendengar ucapan Koruna itu hanya bisa tersenyum datar.

"Aku tahu apa yang kuperbuat, Menteri Koruna. Anda tidak perlu khawatir."

Wajah Menteri Koruna menjadi kecut sekilas. Lalu ia pamit dan keluar dari aula istana.

"Yang Mulia." Seorang pengawal dari luar datang menghadap. "Antrian di luar sudah habis, Yang Mulia."

Andrew pun berdiri dari singgasananya. Kemudian melepaskan mahkota emas dan jubah kebesarannya lalu menyerahkannya kepada pelayan istana. Ia pun langsung berjalan menuju ruang kerjanya.

Di dalam ruangan itu Andrew melihat Dedic yang tengah berbincang dengan Jadiz.

"Aku tidak menyangka kalau kalian sedekat ini," celetuk Andrew.

"K-kami baru saja membicarakan Anda, Yang Mulia." Dedic gelagapan.

"Heh~ Benarkah begitu, Jadiz?" Mata Andrew mencoba menginterogasi pihak yang lain.

"Benar, Yang Mulia," jawab Jadiz sembari menebar senyuman yang membuat wajahnya terlihat seksi.

Andrew terkesiap melihat respon Jadiz yang makin hari semakin terlihat seperti wanita yang begitu menggiurkan.

Tak berapa lama, Jadiz pamit keluar untuk membawakan makan siang untuk Andrew.

"Jadiz bisa menjadi pengantin yang sesuai denganmu, Dedic."

"Berhentilah bercanda, Yang Mulia. Saya dan Jadiz tidak memiliki hubungan spesial."

Sorot mata Andrew masih terlihat tidak puas. Namun ia menepis perasaan itu jauh-jauh. Andrew pun langsung menduduki kursi dan mengeluarkan amplop dari lacinya.

"Anda akan menulis surat lagi, Yang Mulia?" tanya Dedic penasaran.

"Ya. Menulis surat ternyata bisa begitu menyenangkan," ucap Andrew sembari menyerahkan surat yang telah dimasukkan ke dalam amplop. "Mohon bantuannya, Dedic."

"Sudah menjadi tugas saya, Yang Mulia."

Dedic pun melangkah pergi. Namun langkahnya terhenti saat membuka pintu.

"Ada apa?" tanya Andrew.

"Maaf jika saya lancang, Yang Mulia. Namun mengapa Anda masih tetap mengirim surat kepadanya sementara sudah tiga bulan ini tidak ada surat balasan sama sekali?"

Andrew paham sekali mengenai kekhawatiran Dedic.

"Jika ingin permintaanmu terkabul, kamu harus membuat seribu origami."

"Origami?" sela Dedic kebingungan.

"Sebuah kerajinan kertas. Membuat kertas menyerupai binatang, meja, dan sebagainya."

"Lalu apa hubungannya dengan surat yang Anda tulis, Yang Mulia?" Dedic semakin gagal paham.

"Karena aku tidak bisa membuat origami, maka dari itu aku menggantinya dengan surat. Dengan menulis seribu surat, aku yakin keinginanku akan terkabulkan."

"Bagaimana jika sudah seribu surat terkirim namun tidak ada balasan sama sekali? Maaf—saya keterusan, Yang Mulia."

Andrew tertawa mendengarnya.

"Tidak apa. Jika seribu suratku tidak berhasil ..." Andrew tiba-tiba saja berhenti berbicara. Matanya seolah sedang menatap sesuatu dari kejauhan.

"Yang Mulia?"

"Oh—Pasti akan berhasil. Aku sangat yakin hal itu!" ucap Andrew gelagapan.

"Saya mendoakan agar keinginan Anda terkabul, Yang Mulia." Dedic pun tersenyum dan melangkah pergi.

Pertanyaan Dedic masih terngiang di kepala Andrew. Bibirnya sesekali mengucapkan pertanyaan itu dalam gumamannya.

"Mungkin ... aku akan menyerah." Saat mendengar jawabannya sendiri, Andrew refleks menepuk kedua pipinya. "Masih 320 surat! Jangan menyerah Andrew!"

Andrew pun duduk kembali ke kursinya dan mengangkat pena bulunya lagi. Ya, dia lanjut menuliskan surat-surat itu sembari mengabaikan skenario terburuk yang mungkin terjadi nantinya.

***

Di suatu malam yang dingin, Ratu Alia berjalan-jalan mengelilingi kebun bunga istana bersama Desti. Setiap melihat bunga yang mekar, Ratu Alia langsung memetiknya. Ia lakukan itu beberapa kali hingga tangannya tidak muat untuk menampung lebih banyak bunga.

"Ratu Alia, Biar saya yang akan membawakannya untuk Anda," pinta Desti.

"Desti," sela Alia. "Seberapa besarkah perbandingan antara bunga yang ada di kedua tanganku dengan yang ada di kebun ini?"

Desti mencoba memperkirakannya.

"Saya tidak bisa menghitungnya secara tepat. Tapi perbandingannya pasti sangat jauh sekali, Ratu Alia."

Ratu Alia tersenyum tipis. Kemudian ia mencium bunga yang ada di tangannya itu sebentar. Lalu menatap Desti sembari tersenyum datar.

"Aku hanya memiliki dua tangan yang kecil. Sementara kebahagiaan yang aku inginkan begitu besar sampai-sampai aku juga tidak bisa menghitungnya. Jika bunga-bunga di taman ini adalah jumlah dari semua kebahagiaan yang aku inginkan, maka tidaklah mungkin aku bisa membawa semuanya dengan kedua tangan kecilku ini."

"Ratu Alia ..." lirih Desti.

"Jangan bersedih, Desti." Ratu Alia memasangkan salah satu bunga di telinga sang pelayan. "Aku hanya ingin berpesan kepadamu, Desti. Jika kebahagiaan itu telah datang ke hadapanmu, jangan pernah kau lepaskan. Genggam erat dan bawa masuk ke dalam kehidupanmu."

Desti terbisukan sejenak oleh perkataan Alia.

"Saya mengerti, Ratu Alia."

"Baguslah kalau kamu mengerti, Desti."

Setelah berkeliling sebentar, mereka pun kembali ke dalam istana. Desti mengantarkan Ratu Alia ke kamarnya dan tidak lupa mengucapkan selamat malam.

Saat pintu kamar itu tertutup, lubuk hati Desti ingin sekali mengatakan sesuatu kepada Ratu Alia.

Jika benar apa yang Anda katakan, mengapa Anda melepaskan kebahagiaan yang telah ada di hadapan Anda hingga sekarang? Raut kesedihan yang berusaha Anda sembunyikan itu tak luput dari perhatianku. Saat bibirmu memerintahkanku untuk membuang surat-surat itu, ada kepiluan yang terpancar dari sorot mata Anda, Ratu Alia.

Ingin sekali Desti mengatakannya secara langsung. Namun Desti tidak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan hal itu. Perasaan itu pun terus menumpuk. Hingga suatu hari, semua rasa terpendam itu membuat keberaniannya perlahan demi perlahan terbentuk. Ia pun membuat sebuah rencana untuk menjebak Ratu Alia agar tidak lari dari perasaannya.

Seminggu setelah malam itu berlalu, Desti menghadap Ratu Alia.

"Ratu Alia, jika Anda memiliki waktu luang, mohon datang ke kamar saya. Saya mempersiapkan hadiah untuk Anda."

"Hadiah? Untuk apa?"

"Sebagai rasa ucapan terima kasih saya, Ratu Alia."

"Baiklah, Desti. Jika pekerjaanku telah selesai, aku akan datang ke sana."

"Terima kasih banyak, Ratu Alia." Desti pun pamit pergi setelah menyerahkan duplikat kunci kamarnya kepada Ratu Alia.

Malam pun tiba. Pekerjaan Ratu Alia hampir selesai. Ia menatap berkas-berkas itu dan menyusunnya di samping mejanya.

"Ah!" Ratu Alia memijit keningnya. "Aku hampir melupakan hadiah yang ingin Desti tunjukkan."

Ia meninggalkan ruangannya dengan tergesa-gesa pergi menuju kamar Desti. Kamar para pelayan istana terletak tidak jauh dari istana kerajaan. Dengan berjalan kaki, Ratu Alia hanya memerlukan sepuluh menit untuk tiba di kamar Desti.

"Desti?"

Tidak mendengar jawaban, Alia mengetuknya beberapa kali. Hingga akhirnya ia menggunakan kunci duplikat yang Desti serahkan padanya tadi pagi.

Pintu itu pun terbuka. Saat matanya melihat ke dalam ruangan itu, Ia hanya bisa diam membisu. Banyak kertas tertempel di dinding ruangan tersebut. Itu bukan sembarang kertas. Alia tahu akan hal itu.

Kertas-kertas yang tertempel di dinding itu tertulis dalam bahasa yang tidak pernah ada di dunia ini. Tapi ada di dunianya yang sebelumnya. Sebuah kalimat dan paragraf yang tertulis dalam Bahasa Inggris.

Namun yang membuat matanya tidak bisa berkedip adalah kertas yang ada di tengahnya. Sebuah gambar kelinci bermahkota yang sangat familiar baginya. Princess Rabbit. Sebuah boneka yang dulu sangat ia sukai. Dan terdapat sebuah kalimat di bawah gambar itu.

We still have a hope to live together. Princess Rabbit never give up her dream.

Kalimat itu masih tergambar jelas dalam ingatannya. Kalimat yang dulu ia ucapkan kepada Ariel saat lelaki yang ia cintai itu sempat mengalami kegagalan besar dalam pekerjaannya. Ariel yang bersedih seketika tertawa dan kembali bersemangat saat dirinya mengucapkan kalimat itu. Kecupan yang Ariel berikan setelahnya juga masih terasa hangat di keningnya.

Perasaan yang sudah dia buang jauh-jauh itu kembali bak air bah yang datang tiba-tiba. Membanjiri relung jiwanya dan menghanyutkan perasaan terpendam itu lalu keluar menjadi air mata yang mengalir deras.

Tanpa ia sadari, tangannya meraih surat-surat yang lain. Ia membacanya satu demi satu.

Setiap surat yang ia baca membuat isakannya semakin keras terdengar.

Setiap surat yang ditulis oleh Andrew berisikan kenangan yang mereka lalui bersama kala itu. Pertemuan pertama mereka, pertengkaran mereka, kencan mereka, hal-hal nyeleneh yang juga pernah mereka lakukan bersama tertuang dalam setiap suratnya.

Dan di akhir dari setiap surat itu, selalu tertulis kalimat ajaib yang membuat hati Alia semakin terenyuh.

I love you, Annie. No matter how far you are, My love will pass through space and time to find you.

Isakan Alia terdengar jelas oleh Desti yang sudah berada di luar pintu kamar. Isakan tangis Ratu Alia juga memancing kepiluan di dalam hatinya. Air matanya turut ikut mengalir pelan sambil berusaha menahan jeritan yang hendak terlepas.

Dalam benaknya, Desti bertanya-tanya tentang tindakannya ini. Apakah ini adalah sesuatu yang benar untuk dia lakukan? Ataukah ini hanyalah keegoisan yang tersulut oleh rasa sakitnya saat melihat Ratu Alia terus menerus seperti wanita yang bersedih? Ia sama sekali tidak mengetahui jawabannya.

Di malam itu, isakan tangis Ratu Alia terus menggema. Walau ada kenangan bodoh yang tertulis di dalam salah satu surat itu, Ratu Alia tetap tidak bisa tertawa. Air mata itu mengalahkan hasratnya untuk tertawa.

Saat itu, air mata Alia tidaklah hanya perwujudan dari kesenduan yang ia rasakan. Tanpa ia sadari, air mata itu tercampur oleh kebahagiaan yang mulai menyeruak keluar dari sanubarinya.

Malam yang panjang itu pun hampir berakhir. Saat sang fajar mulai menyingsing, Desti memberanikan diri membuka pintu kamarnya. Terlihat Ratu Alia yang masih membaca surat-surat itu.

Wajah Ratu Alia memperlihatkan ekspresi yang tidak pernah Desti lihat sebelumnya. Walau matanya sembab, namun wajahnya terlihat berseri secerah mentari. Bibirnya yang tersenyum itu membawa kehangatan yang bisa meluluhkan hatinya. Itu pertama kalinya Desti melihat Ratu Alia terlihat benar-benar bahagia.

"Ratu Alia ... saya minta maaf sebesar-besarnya." Desti langsung berlutut di hadapan Alia.

"Desti." Ratu Alia meletakkan surat yang ia pegang dan segera memeluk Desti erat.

"Terima kasih, Desti. Pasti berat sekali untukmu melakukan hal ini. Terima kasih banyak, Desti. Terima kasih banyak," bisiknya lembut.

Desti yang tersentak oleh tindakan Sang Ratu membuat tangisnya meledak. Bibirnya juga tak berhenti meminta maaf kepada Ratu Alia.

Ratu Alia pun mengelus punggung pelayannya dengan lembut lalu melepaskan pelukannya sebentar.

"Desti, maukah engkau mengirimkan surat balasan kepada lelaki itu?"

"Dengan senang hati, Ratu Alia," ucapnya sambil menyeka air mata.

Ratu Alia pun kembali memeluk Desti.

Pada pagi yang cerah itu, kabut keraguan yang menyelimuti dadanya telah sirna. Ratu Alia mengambil langkah untuk memperjuangkan rasa cinta di dalam hatinya walau ia tahu betapa besar resiko dari keputusannya tersebut.