Chereads / Remoire / Chapter 14 - Bab 12 : Hari Yang Mendebarkan (Part I)

Chapter 14 - Bab 12 : Hari Yang Mendebarkan (Part I)

If I have The Eyes of God, how could I hold myself back from seeing you?

-Andrew

***

Hari ini adalah hari yang sudah ditunggu oleh Andrew Udanost. Sebelum mentari dapat menampakkan kemilaunya, Andrew Udanost sudah berpakaian rapi dan duduk di meja kerjanya. Ia menanti lelaki itu datang membawakan kabar yang mungkin bisa membuatnya gembira.

Tak lama, pintu itu pun berderit. Sesosok lelaki yang amat dia kenal datang dengan wajah yang terlihat lesu dari balik pintu.

"Yang Mulia," ucap Dedic sambil mendekat dan memberikan penghormatan. "Saya telah kembali dari reruntuhan."

"Jadi bagaimana, Dedic?"

Dedic lalu menorehkan senyum yang lebar.

"Saya bisa menjamin keamanan tempat itu, Yang Mulia. Asalkan kita berada di luar reruntuhan. Sementara di dalam itu benar-benar rapuh dan saya tidak tahu kapan bangunan itu bisa bertahan."

"Kerja bagus, Dedic!" Andrew mendekati Dedic dan menepuk bahunya. "Terima kasih. Maaf telah merepotkanmu."

"Anda tidak perlu seperti itu, Yang Mulia." Dedic mendesah pendek. "Sudah menjadi tugas saya untuk meringankan beban Anda, bukan?" celetuk sang asisten saat melihat ada bintik – bintik kesedihan di wajah Andrew.

Seketika Andrew tertawa pelan. Dedic pun juga merasa tergelitik karena ucapannya sendiri.

"Maaf sebelumnya, Dedic." Tiba-tiba Andrew menyerahkan sebuah amplop kepada asistennya tersebut. "Tapi pekerjaanmu masih belum selesai."

"Aku rasa gajiku bisa naik dua kali lipat untuk bulan ini, Yang Mulia."

"Aku berikan tiga kali lipat."

"Haha—Maaf! Saya bercanda, Yang Mulia. Anda tidak perlu melakukan hal itu." Dedic mengambil surat itu dan menggerakkan kakinya. "Saya akan mengantarkannya sekarang."

"Hati – hati di perjalanan, Dedic."

Sang asisten pun pamit meninggalkan ruangan tersebut.

Andrew yang telah mendengar kabar baik itu menjingkrak-jingkrak tidak jelas di dalam ruang kerjanya.

"Ehem!"

Deheman itu menghentikannya. Saat matanya menyorot asal suara, Jadiz sudah berdiri di depan pintu. Seketika ia langsung mengatur posenya disertai senyuman yang dipenuhi rasa malu.

"Yang Mulia. Menteri Praha telah tiba pagi ini."

"Oh! Beliau pulang? Luar biasa. Apa hanya itu?" jawab Andrew tanpa melihat mata Jadiz.

Jadiz mengangguk.

"Jika Yang Mulia tidak keberatan, saya akan mengantar Anda ke sana."

"T-terima kasih banyak, Jadiz."

Mereka pun berangkat bersama menuju kediaman Menteri Praha yang berada tidak jauh dari istana. Selama perjalanan, Jadiz melihat Andrew bertindak kaku dan terlihat terganggu oleh sesuatu.

"Jika kejadian malam itu membuat Anda kesulitan, Anda bisa melupakannya atau menganggap itu hanya sebatas mimpi, Yang Mulia."

"Kau benar-benar bisa melihatku, Jadiz," ucap Andrew sambil memalingkan wajahnya.

"Tentu saja, Yang Mulia. Saya adalah pelayan pribadi Anda. Saya tahu lebih banyak dari yang Anda perkirakan." Ucapannya diikuti oleh sebuah tawa kecil.

Andrew berhenti sejenak dan berbalik arah. Menatap Jadiz sembari menggenggam lembut bahunya.

"Aku akan menaikkan gajimu tiga kali lipat jika engkau merahasiakan setiap hal aneh yang pernah aku lakukan, Jadiz." Wajah Andrew menjadi datar seketika.

"Jika Yang Mulia memberikanku sebuah ciuman di bibir, maka akan saya lupakan semuanya."

"Eh—!"

Tak sempat Andrew merespon, Jadiz langsung memotong ucapannya.

"Saya hanya bercanda, Yang Mulia."

Lagi-lagi wajah Andrew menjadi merah tak karuan. Sembari melanjutkan langkahnya, Andrew menutup wajah selama mungkin agar tidak terlihat oleh Jadiz.

"Kita telah sampai. Saya mohon pamit, Yang Mulia." Jadiz pun pergi meninggalkan Andrew.

Jadiz benar-benar mengerikan. Kalimat itu langsung terpatri di dalam benaknya setelah pembicaraan itu. Ia pun menggeleng-gelengkan kepala berusaha untuk melupakannya.

Kemudian Andrew memasuki rumah tersebut. Sesaat ia membuka pintu, para pelayan pribadi di rumah tersebut langsung menyambut Andrew dengan hangat. Lalu membawa Andrew menuju majikan mereka.

"Bagaimana kabar Anda, Yang Mulia?"

Sapa sesosok lelaki yang sedang duduk santai di kursinya. Wajahnya yang dipenuhi bekas luka dan ototnya lengannya yang kekar itu menjadi bukti dari kiprahnya semasa menjadi jenderal pasukan Kerajaan Krale.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Menteri Praha." Andrew langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Praha.

"Aku datang kembali membawa kabar buruk dan kabar baik, Yang Mulia. Mana yang ingin Anda dengar lebih dulu?"

"Terserah Anda saja, Menteri Praha."

Lelaki itu meletakkan buku yang ada di pangkuannya ke atas meja. Wajahnya mulai tampak serius dengan senyuman pelitnya.

"Kabar baiknya adalah pasukan kita berhasil mengalahkan pasukan Nenavist Barat secara telak. Lalu kabar buruknya, Skaredy tidak pernah menyerah. Dia dan pasukan bodohnya tetap saja mengusik. Kemudian persenjataan pasukan di utara juga sudah mulai rusak. Moral prajurit yang terus menerus ikut berperang juga harus diperhatikan, Yang Mulia."

"Walau pun menang perang, kita tetap dirugikan. Jadi itu alasan Skaredy melakukan penyerangan secara beruntut. Dia benar-benar licik."

"Anda terlalu lembut, Yang Mulia. Menyebut seseorang dengan sebutan kasar di kerajaanmu sendiri bukanlah sebuah dosa atau pun kesalahan. Bajingan Skaredy! Atau semacamnya."

"Memang," ujar Andrew, "Tapi itu bukan gayaku, Menteri Praha."

Merasa ototnya tergelitik, Praha tertawa sangat keras.

"Yang Mulia memang terlalu baik. Namun kebaikan seperti itu bisa menjadi petaka bagi diri Anda sendiri, Yang Mulia."

"Terima kasih atas sarannya." Andrew tersenyum tipis. "Itu saja?"

"Ya. Hanya itu saja, Yang Mulia."

Andrew pun menghela napas panjang.

"Syukurlah. Sekarang aku bisa kembali bekerja. Untuk peralatan tempur, aku akan meminta pandai besi untuk membuat lebih banyak lagi. Dan juga Anda boleh mengambil beberapa pasukan lagi dari kerajaan untuk dikirim ke utara, Menteri Praha."

"Terima kasih banyak, Yang Mulia."

Menteri Praha juga ikut berdiri saat Sang Raja beranjak dari kursinya. Lalu ia memberikan sebuah penghormatan kepadanya sampai lelaki itu berbalik arah dan hilang dari pandangannya.

Setelah kembali ke ruangan, Andrew langsung melihat isi lacinya. Seperti yang ia duga, amplop yang sengaja ia taruh di situ ada tanda-tanda telah dibuka secara paksa. Hal ini sudah terjadi beberapa kali. Tapi siapa? Mengingat ini adalah ruang raja dan isinya adalah bahasa yang tidak bisa dimengerti. Andrew memiliki firasat tentang pelakunya. Namun ia memutuskan untuk tidak menanggapi masalah ini dengan serius.

***

Di dalam kamarnya, Ratu Alia sedang membaca secarik kertas dengan seksama.

"Bertemu di Reruntuhan Jeden?" gumam Ratu Alia.

"Apa ada masalah, Ratu Alia?"

Ratu Alia memijit keningnya sebentar. Lalu menyuruh Desti mengambilkan jadwal pekerjaannya untuk bulan ini.

"Sepertinya pertengahan bulan ini waktu yang tepat. Aku akan memajukan beberapa jadwal dan mengambil libur tiga hari di pertengahan bulan."

"Tidakkah itu terlalu memberatkan Anda, Ratu Alia? Saya khawatir Anda akan kelelahan."

"Terima kasih, Desti. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku lagi. Aku tahu ini akan membuat jadwalku jadi sedikit berantakan, tapi aku tidak akan melepaskan kesempatan ini."

Desti berjalan mendekati Ratu Alia dan mencium tangannya.

"Saya di sini akan melakukan apa saja untuk Anda, Ratu Alia."

Ratu Alia tersenyum dan mengelus kepala wanita itu.

"Terima kasih banyak, Desti."

***

Beberapa hari berlalu. Andrew menerima surat balasan dari Ratu Alia. Ratu Alia pun menyetujui pertemuan mereka dan mereka akan bertemu di sana pada pertengahan bulan. Tepatnya pada tanggal 14, 15, dan 16.

Andrew pun langsung merombak jadwal pekerjaannya secara besar-besaran. Dan berusaha mengubah hari pada tanggal itu menjadi hari liburnya.

"Jika seperti itu, maka Anda tidak akan punya hari libur dalam dua minggu ini, Yang Mulia."

"Aku hanya memindahkan hari liburku ke pertengahan bulan saja, Dedic," ucapnya sambil melepaskan senyuman licik.

"Kalau begitu Anda juga harus mempersiapkan alasan yang tepat kepada para menteri. Khususnya Menteri Moravia. Saya tidak ingin beliau menjadikan saya sebagai tempat curhat, Yang Mulia."

Mendengar ucapan Dedic, Andrew tertawa terbahak-bahak.

"Maafkan aku, Dedic," tuturnya sambil berusaha menghentikan tawanya, "Tapi itu peran penting untukmu."

Dedic hanya bisa pasrah mendengar jawaban Andrew. Ia pun pamit dan melanjutkan pekerjaannya.

Hari demi hari pun berlanjut. Surat demi surat pun terus terkirim dan dibaca oleh mereka. Setiap kali salah satu mereka membaca surat itu, tak jarang mereka tertawa sendiri, senyum sendiri, bahkan terkadang terkejut sendiri. Sebagai orang yang sering bersama mereka, Desti dan Dedic tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang buruk.

Tibalah hari yang telah ditetapkan.

Mereka pun berangkat dari Kerajaan Krale dengan menggunakan kereta kuda. Karena ini adalah pertemuan rahasia, Dedic sendiri yang menjadi kusirnya. Ia tidak bisa membawa orang lain ikut dalam pertemuan ini. Saat Menteri Moravia bertanya tujuan mereka, Dedic mengatakan bahwa mereka hanya ingin berkemah selama tiga hari. Dan untungnya Moravia langsung percaya.

Di dalam perjalanan itu, Dedic mengintip ke dalam karavan. Ia melihat Andrew sudah terlelap.

"Beristirahatlah sepuasnya, Yang Mulia."

Dedic pun kembali fokus mengendarai kereta kuda itu hingga sampai ke tujuan.

Reruntuhan Jeden adalah bekas istana dari Kerajaan Jeden seratus tahun yang lalu. Istana itu sudah tidak ditempati lagi oleh siapapun. Bahkan tempat ini termasuk salah satu tempat terlarang untuk dimasuki.

Ada perasaan yang bercampur aduk saat Dedic melihat tempat ini. Matanya pun memancarkan aura kesenduan dan keraguan. Ia tersenyum dan melepaskan reruntuhan itu dari pandangannya.

Karavan kuda itu pun berhenti di pinggir hutan dan agak dekat dengan Reruntuhan Jeden. Walau dekat dengan Reruntuhan, pepohonan itu membuatnya tidak terlihat dengan jelas.

Saat Dedic melihat ke dalam karavan, Raja Andrew masih terlelap. Dedic pun memarkirkan kereta kudanya di sini. Kemudian mengamati daerah sekitar.

Dari kejauhan terlihat sebuah kereta kuda yang datang ke arah reruntuhan. Ia mengambil teropong monokular miliknya dan mengamatinya. Dari balik teropongnya, sebuah lambang terlihat di karavan kuda tersebut. Itu lambang Kerajaan Kralovna.

Dedic pun melepaskan salah satu kuda dari kereta kudanya lalu mengejar karavan tesebut dengan cepat.

Sementara Andrew yang sempat terbangun berjalan keluar karavan dan menyaksikan sebuah tempat yang begitu hijau nan asing. Namun rasa kantuknya tidak bisa dikalahkan oleh kekaguman itu, Ia pun bersandar pada pohon dan tertidur kembali.

Sementara itu, karavan Ratu Alia telah diparkirkan di samping karavan Raja Andrew. Satu hal yang tidak pernah disangka oleh Ratu Alia saat turun adalah melihat lelaki yang membuatnya jatuh cinta itu tertidur pulas di bawah rindangnya pepohonan.

Dedic memberikan isyarat kepada semuanya agar tidak berisik.

"Maafkan saya, Ratu Alia," tutur Dedic. "Tapi biarkanlah Raja Andrew beristirahat. Selama dua minggu ini, beliau jarang sekali beristirahat."

"Kalau begitu aku akan beristirahat juga di dekatnya."

Jawaban Ratu Alia tidak bisa ditolak oleh Dedic. Karena perjalanan dan pertemuan ini adalah untuk memberikan waktu agar mereka bisa bersama.

Dedic, Desti dan seorang lelaki bernama Ostrava mempersiapkan semua hal yang diperlukan. Dedic bertugas untuk membangun tenda. Desti yang mengurus makanan. Dan Ostrava yang bertugas menurunkan barang dan mengurus pakan untuk kuda.

Sementara itu, Ratu Alia yang duduk di samping Raja Andrew tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ia melihat wajah lelaki itu dan mencoba untuk menyentuh pipinya. Sesaat Andrew bergerak tiba-tiba, itu membuat Ratu Alia terkejut dan membatalkan niatnya.

Melihat wajah lelaki itu yang begitu pulas, Ratu Alia pun ikut menyandarkan tubuhnya ke pohon tersebut. Bermaksud untuk bisa tidur sebentar, kepala Andrew yang tiba-tiba terjatuh ke pangkuannya membuatnya terkesiap.

"Eh—Eh?" Jemarinya berusaha menahan suara yang hendak keluar dari bibirnya.

Tak mampu menahan diri, Ratu Alia pun mengelus lembut rambut lelaki itu. Setelah lama mengelusnya, jemarinya begitu saja turun menyentuh pipinya. Kemudian turun lagi hingga menyentuh bibir lelaki itu. Saat menyentuhnya, ada hasrat yang tiba-tiba saja menyeruak dari relung jiwanya.

Jika aku mencium bibirnya, apakah itu akan mengganggu tidurnya?

Tanpa ia sadari, Ratu Alia terus mendekatkan wajahnya kepada lelaki itu. Saat bibirnya hampir menyentuh bibir Andrew, lelaki itu pun membuka matanya.

" ... Annie?" gumam Andrew setengah sadar.

"Akhirnya kamu bangun, Ariel."

Wajah keduanya tiba - tiba memerah saat menyadari situasi ini. Namun Andrew mengambil inisiatif yang nyaris membuat jantung Alia berhenti bekerja. Lelaki itu menarik lembut kepala Alia dan mencium bibirnya.

"Aku merasa bahagia bisa bertemu denganmu lagi, Annie."

"... aku juga, Ariel." Air mata Alia mengucur deras membasahi wajah lelaki itu.

Isakannya terdengar jelas sampai Desti, Dedic dan Ostrava menghentikan pekerjaan mereka sesaat. Namun mereka tahu itu bukanlah tangisan yang disebabkan oleh kesedihan atau pun rasa sakit. Air mata Ratu Alia itu adalah kerinduan yang telah lama terpendam dan menyeruak keluar.