Tidak satupun yang mampu menggetarkan langit kecuali sosok yang menciptakannya.
Begitu pula dengan rasa, hanya cinta yang tumbuh di dalam hati manusia yang mampu membuatnya bergejolak.
"Sip! Surat hari ini telah selesai!" serunya sambil mengangkat kertas itu ke udara.
Andrew melihat kembali isinya dan senyum-senyum sendiri. Namun senyumannya redup saat ia memikirkan jikalau semua itu akan berakhir percuma.
"Pasti akan baik-baik saja!" ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Lelaki itu pun memasukkan surat yang ia tuliskan ke dalam amplop dan menutupnya dengan lem kertas. "Oke. Tinggal menunggu Dedic untuk mengirimkannya saja."
"Sepertinya Anda tidak perlu lagi mengirimkan banyak surat, Yang Mulia." Dedic masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu.
Wajah sumringah Dedic mengundang pertanyaan besar di kepala Andrew.
"Apa maksudmu, Dedic?"
Dedic tanpa sepatah kata menyerahkan sebuah surat yang dibungkus dengan pita berwarna kuning.
Tangan Andrew gemetaran saat menerima surat itu. Ia pun membuka amplopnya pelan dan mengeluarkan surat di dalamnya.
Ariel, how are you?
Thanks so much for never giving up on me. Thanks for everything you wrote in your letter.
Ariel, I also decided not to run away from my feelings anymore. I want to see you.
Btw, this is the real Princess Rabbit, I hope you improve your drawing skill, Ariel. :p
Di akhir surat itu disertakan gambar Princess Rabbit yang jauh lebih bagus dari yang Andrew gambar di suratnya.
Saat membacanya, air mata Andrew jatuh begitu saja.
"Dedic, boleh aku meminta waktu sendiri?"
"Tentu, Yang Mulia." Dedic pun keluar dan menutup pintu itu.
Walau terdengar samar-samar, Dedic yakin Andrew sedang menangis. Itu sesuatu yang harus dirahasiakan bagi seorang lelaki.
Beberapa menit pun berlalu.
"Masuklah kembali, Dedic."
Panggilan itu langsung menggerakkan tubuh Dedic datang menghadap Andrew.
"Saya, Yang Mulia."
Saat Dedic melihat wajah majikannya, firasatnya memang tidak salah.
"Aku ingin kau mengirimkan surat ini lagi." Andrew menyerahkan sebuah amplop.
"Baiklah, Yang Mulia." Dedic membawa surat itu bersamanya.
Ia pun pamit dan langsung menjalankan perintah dari majikannya tersebut. Dengan menunggangi kuda, Dedic pun mengantarkan surat itu menuju Kerajaan Kralovna.
Butuh waktu dua hari untuk tiba ke Ibukota Kralovna. Maka dari itu pengiriman surat rahasianya hanya bisa dilakukan satu minggu sekali. Dan setiap kali mengirimkan surat biasanya lima sampai lima puluh amplop siap diantar ke tujuan.
Dengan menggunakan penyamaran, Dedic bisa masuk dengan mudah ke dalam kota tersebut. Di tempat yang telah ditentukan oleh mereka berdua, Dedic dan Desti bertemu.
"Ini surat balasan dari Raja Andrew," ucapnya saat menyerahkan surat-surat itu.
"Ratu Alia pasti bahagia sekali mendapatkannya." Desti pun menyembunyikan surat itu di dalam keranjangnya.
"Desti ... Apa kau tidak merasa aneh dengan tindakan kita?"
"Aku mengerti, Dedic. Namun aku sudah memutuskannya."
"Apa maksud ucapanmu, Desti?"
"Aku tidak akan membiarkan Ratu Alia terluka oleh siapapun," tegasnya.
Dedic terkesiap melihat keteguhan saudari perempuannya itu.
"Jadi kau telah memutuskannya, Desti. Jangan sampai para sepuh mengetahuinya. Simpan rapat-rapat rahasia itu."
"Engkau tidak perlu mengkhawatirkan diriku, Dedic. Justru aku yang merasa khawatir akan dirimu. Belumkah kau memutuskan berpihak kepada siapa?"
Dedic menggigit bibirnya. Tangannya yang gemetaran itu berusaha ia sembunyikan.
"Aku telah bersumpah untuk menjalankan peranku sebagai keturunan Jeden dan meneruskan keinginan Raja Jeden untuk menghancurkan Krale dan Kralovna. Dan itu tidak akan berubah."
Desti mendesah panjang melihat Dedic yang berusaha meneguhkan pendiriannya.
"Kalau begitu, aku pamit dulu." Desti kembali pulang menuju istana.
Dedic hanya bisa menatap dari jauh saudari perempuannya tersebut. Tanpa sadar, ia bergumam sendiri, "Bagaimana kau bisa setegar itu, Desti?"
Lelaki itu pun kembali ke tempat ia menitipkan kudanya dan berangkat pulang.
***
Sekali lagi, Moravia terheran-heran dengan wajah sumringah yang terkadang Raja Andrew tunjukkan saat sedang mengerjakan berkas-berkas itu di dalam ruang kerjanya.
Awalnya ia mengira bahwa Jadiz adalah wanita yang membuat Andrew menjadi demikian, namun ia tidak melihat sesuatu yang spesial terhadap hubungan keduanya.
Di dalam ruang kerjanya, lelaki gemuk itu mengacak-acak rambutnya yang telah memutih. Sesekali ia mengelus-elus jenggotnya dan mencoba menemukan alasan perubahan sikap Andrew selama seminggu ini.
Suara pintu yang berderit membuyarkan lamunannya.
"Menteri Moravia!" sapa Jadiz dan melangkah masuk.
"Oh ... Jadiz. Ada perlu apa?"
"Menteri Koruna meminta Anda untuk memeriksa berkas ini." Jadiz menyerahkan setumpuk kertas.
Menteri Moravia memeriksanya satu per satu.
"Ini tentang kerusuhan yang terjadi di Tambang Branda. Mengapa kamu tidak berikan langsung kepada Raja? Beliau yang paling khawatir tentang masalah ini."
"Saya sudah memberikan salinannya kepada Raja Andrew, Menteri Moravia."
"Wah, kamu sudah seperti asisten ketimbang pelayan istana, Jadiz."
"Tuan bisa saja." Jadiz tersenyum. "Kalau begitu saya permisi dulu, Menteri Moravia."
Setelah Jadiz keluar dari ruangan, Moravia kembali berpikir keras.
Bagaimana mungkin Raja Andrew tidak menaruh ketertarikan terhadap Jadiz yang saat ini terlihat menggoda? Bibirnya yang merah hingga sorot matanya yang bisa memancing hawa nafsu anak adam! Lalu wanita mana yang bisa membuat Andrew bertindak demikian?
Moravia sebenarnya tidak ingin memikirkan kemungkinan lain. Namun firasatnya itu mulai menjadi liar. Dalam hati terdalamnya ia menolak hal itu, tapi ...
Mungkinkah Rajaku jatuh cinta pada lelaki? Pada Dedic misalnya...
Moravia semakin depresi memikirkannya.
Hacchim!
Tiada badai tiada hujan, Raja Andrew bersin seketika.
"Anda terkena demam, Yang Mulia?" tanya Dedic yang sedang merapikan rak buku.
"Enggak. Aku merasa ada orang yang berpikir mengerikan tentangku barusan," jawab Andrew. "Ini suratnya. Cepat antarkan, Dedic."
Dedic tersenyum melihat majikannya yang terlihat tergesa-gesa.
"Baiklah, Yang Mulia. Saya terima suratnya. Apa Anda tidak mau mengirimkan sesuatu seperti hadiah misalnya?"
"Aku ingin sekali!" ungkap Andrew sambil menutupi wajahnya, malu. "Tapi hal itu akan membuatnya kerepotan."
"Lalu mengapa tidak langsung bertemu saja?"
"Mengenai hal itu sudah aku pertimbangkan dan rencanakan. Jika tidak ada halangan pada pertengahan bulan ini. Aku berencana menemuinya. Yang jadi masalah adalah tempatnya. Bertemu di Krale atau pun Kralovna sama saja bunuh diri. Kalau di kerajaan Blaho terlalu memakan banyak waktu. Perlu sebuah tempat yang bisa dicapai dalam waktu satu hari dan jauh dari keramaian."
Andrew tidak memiliki tempat aman yang bisa ia temukan di dalam kepalanya.
"Bagaimana dengan Reruntuhan Jeden, Yang Mulia?"
"Bukankah itu tempat yang rumornya banyak simpatisan Jeden dan lebih parah lagi katanya tempat itu memiliki banyak sekali kutukan. Itu tidak aman."
"Rumor hanya rumor, Yang Mulia. Jika Anda ingin, saya bisa memeriksanya satu minggu penuh di sana."
Andrew memikirkan matang-matang tawaran asistennya terebut. Tapi jika Dedic pergi, maka pekerjaannya akan lebih banyak dan parahnya lagi Jadiz dan Moravia akan sering datang ke ruang kerjanya.
"Bagaimana, Yang Mulia?" sela Dedic.
"Baiklah. Aku berikan izin untuk itu."
"Kalau begitu saya akan langsung ke sana setelah mengantarkan surat dari Anda." Dedic pamit dan pergi keluar.
Satu jam berlalu, Menteri Koruna datang membawakan berita yang Andrew tidak suka.
"Yang Mulia, acara Bunga Kembang akan diadakan malam ini. Saya harap kehadiran Anda di sana, Yang Mulia."
"Lagi? Ini sudah ke empat kalinya dalam bulan ini. Siapa lagi yang mengusulkan acara ini diadakan?"
"Menteri Moravia, Yang Mulia."
"Ah! Dasar Kakek Moravia!" umpat Andrew. "Baiklah, saya akan datang, Menteri Koruna. Terima kasih telah repot-repot memberikan kabar ini lebih awal."
"Itu tidak masalah, Yang Mulia. Bagaimana dengan permintaan saya mengenai kenaikan gaji para buruh di Tambang Branda, Yang Mulia?"
"Ya, itu usulan yang bagus. Aku akan menyampaikan proposal itu di rapat kerajaan minggu ini."
"Terima kasih banyak, Yang Mulia. Kalau begitu saya mohon pamit." Koruna pun pergi.
Proposal yang dibawa Koruna kepada Andrew membuatnya merasa tidak nyaman. Koruna di mata Andrew adalah sosok yang tamak. Namun beberapa bulan ini, ketamakannya mulai berkurang drastis. Kejanggalan itu cukup mengganggunya, namun ia tidak ingin berprasangka buruk terhadap menterinya.
"Biarlah waktu yang akan menjawabnya." Andrew melanjutkan pekerjaannya kembali.
Malam pun tiba dan Andrew telah hadir ke acara Bunga Kembang yang diadakan di aula istana. Banyak sekali gadis-gadis bergaun cantik yang menebarkan pesonanya. Wajah mereka terlihat berseri-seri dan rambut yang ditata sedemikian indahnya.
Acara Bunga Kembang ini adalah kegiatan yang diadakan oleh Istana Krale kepada para lelaki bangsawan yang belum menikah untuk mencari pasangannya.
Para lelaki yang masih belum menikah akan mengenakan topeng di wajahnya. Sementara sang wanita harus memakai gaun dan menampakkan pesona tanpa menutup wajahnya.
Tidak sedikit wanita yang datang menemui Andrew. Setelah berbincang sebentar, biasanya para wanita akan mengajak sang lelaki menari atau minum bersama. Namun Andrew menolak semua ajakan itu.
Moravia yang mengamati tindakan Sang Raja merasa kesal. Bagaimana mungkin dia menolak bidadari-bidadari cantik itu? Sekali lagi, firasat buruknya muncul entah dari mana.
Setelah banyak menolak ajakan para gadis, datang sesosok wanita cantik yang memakai gaun serba hitam dengan belahan dadanya yang terlihat menggoda.
"Bolehkah saya mengajak Anda berdansa bersama, Tuan?" tutur wanita itu.
Andrew sempat gelagapan saat melihatnya, namun ia tidak bisa menolak tawaran itu.
"Boleh, Tuan Putri."
Melihat Andrew dan seorang wanita berjalan bersama, membuat Moravia yang mengintip dari kejauhan senang bukan kepalang. Ada sesuatu yang terasa familiar dengan sosok wanita itu di dalam kepalanya. Namun Moravia mengabaikannya.
Andrew dan wanita itu pun berjalan keluar aula istana menuju ke taman yang berada tidak jauh dari situ.
"Terima kasih telah membantuku keluar dari tempat itu, Jadiz."
"Oh~ Anda bisa melihat penyamaran saya, Yang Mulia."
"Memangnya sudah berapa lama aku mengenalmu, Jadiz. Cara berjalan, lekukan tubuhmu hingga nada suaramu terasa familiar walau kau berusaha mengubahnya."
"Saya merasa tersanjung, Yang Mulia. Saya tidak menyangka kalau Anda menganggap saya sebagai wanita yang menarik."
"B-Bukan seperti itu maksudku, Jadiz!" Andrew tersipu malu.
"Bagaimana kalau ..." Jadiz meraih tangan Andrew dan meletakkannya ke dadanya. Lalu mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan Andrew, "bermalam bersamaku, Yang Mulia," bisik Jadiz lembut menggoda.
Wajah Andrew langsung memerah seperti delima.
"Eh—Eh!" Andrew sontak terkaku-kaku.
Melihat reaksi Andrew yang begitu lucu mengundang tawa Jadiz seketika.
"Maaf atas bercanda saya yang berlebihan, Yang Mulia. Saya tidak akan mengulanginya lagi."
"Eh—Oh! Itu berbahaya! Jangan diulangi lagi!" Andrew pun menarik napas dalam-dalam.
Namun sekali lagi Jadiz mendekatkan wajahnya. Lalu mendaratkan sebuah ciuman di pipi Andrew secara tiba-tiba.
"Namun saya sedikit serius tentang itu, Yang Mulia." Jadiz pun menunduk pamit dan pergi meninggalkan Andrew yang membatu di taman.
Tak berapa lama, kesadaran Andrew pun kembali. Matanya melotot nyaris keluar.
"Eh—Apa yang telah terjadi?"
Malam itu adalah pertama kalinya Andrew dicium oleh seorang wanita. Dan itu nyaris membuatnya kehilangan ketenangan.