"..."
"..."
Namun, setelah teriakan terakhir, atmosfer baru terbentuk. Kirania yang diam dan Rafan yang juga tidak membuka percakapan juga membentuk suasana tersendiri.
"Raf?" panggil Kirania di sana. "Kenapa tiba-tiba diam?" tanyanya.
"Soalnya sampai sekarang aku masih nunggu."
"Nunggu? Nunggu apa?"
"Nunggu kamu cerita. Yah ... kalau kamu gak mau cerita, itu terserah. Tapi, aku di sini juga bisa mikir." Rafan mengucapkan ini dengan nada serius, berbeda dengan aura konyol yang sebelumnya dia keluarkan. "Dari awal, cewek masturbasi di sekolah itu sudah gak wajar, ditambah kejadian hari ini yang kamu tiba-tiba kebelet begitu waktu persentasi. Memangnya aku bisa terima itu bulat-bulat?"
"..."
Kirania menghindari tatapan langsung ke arah Rafan. Perkataan barusan mengingatkan gadis itu pada tekanan batin yang selama ini berkumpul, sebuah beban yang terus dia tahan dan rahasiakan dari siapa pun.
"Apa kamu punya trauma? Pernah jadi korban pelecehan atau apa gitu waktu kecil? Atau mungkin ... penyakit khusus? Satu alasan yang bikin kamu jadi hypersex."
"..."
Rafan memandang gadis itu dengan wajah cemas, rasa khawatirnya tulus ia sampaikan. Pertanyaan-pertanyaan tadi bertujuan untuk informasi, laki-laki itu ingin mendapat kejelasan dari apa yang dialami Kirania.
"Hypersex ..., yah. Gak aneh sih kalau kamu ngira aku gitu."
"Hn ...? Jadi, bukan itu?"
"Entahlah ..., tapi kalau menurutku sendiri ini bukan penyakit normal," ucap gadis itu dengan sedikit ekspresi takut. "Sebenarnya ... aku punya kelainan. Mungkin dimulai waktu SMA kelas dua, di mana tubuh aku bisa terangsang berat secara acak, termasuk di sekolah."
"Hmn ...."
Rafan yang mendengarkan hanya membuat respons kecil.
"Aneh, yah? Gak apa-apa, kamu bisa bilang gitu, kok."
"Enggak juga," ujar Rafan menolak. "Jawabanku gak penting, sih. Tapi, menurutku gak seaneh itu. Di dunia ini masih ada penyakit yang serupa kayak kamu."
"Bukan, ini bukan penyakit biasa, aku yakin itu."
"Oh ... kamu punya bukti lain?"
"Sebelumnya aku pernah konsultasi sama dokter. Karena aku takut buat datang sendiri, aku cuman bisa komunikasi dari jauh kayak telepon atau tanya online."
"Dan hasilnya meleset?"
"Heh, mereka malah saranin aku jauhin video porno," jawab Kirania sambil terkekeh kecil membuat wajah kecewa.
"Masuk akal, kelainan seks seperti hyperseks atau berahi yang tak terkendali umumnya disebabkan oleh pornografi."
"Kasus itu gak berlaku buatku, soalnya aku gak pernah nonton film yang kayak gitu."
Rafan menaruh tangan di dagunya, dia melakukan gesture umum yang menunjukkan kalau dirinya sedang berpikir. Beberapa kali dia mengubah pandangan melirik-lirik ke sudut lain di ruangan tersebut.
"Jadi, menurut kamu sendiri itu apa?" tanya Rafan pada Kirania.
Gadis itu awalnya ragu ingin menjawab, beberapa kali ekspresi terasa sedih dan tidak yakin pada dirinya sendiri. Namun, beberapa detik setelahnya, Kirania pun memutuskan untuk bicara.
"Kalau aku bilang ini kutukan, kamu percaya? Kayak ilmu sihir, santet, atau supranatural lainnya—"
"Percaya."
"Eh?"
Ekspresi ragu Kirania malah dipatahkan seketika oleh Rafan. Dengan pandangan lurus ke depan dan wajah yang tidak bergeser sedikit pun, Laki-laki itu menjawab tegas penuh
kepercayaan.
"Tu-tunggu, kenapa kamu percaya gitu saja?" tanya Kirania yang sedikit aneh.
"Buktinya sudah ada, aku gak punya alasan buat curiga sama kamu. Atau ... kamu punya alasan buat bohong sekarang?"
"Enggak, bukan, bukan itu, maksudnya ... aduh, aku mau ngomong apa sih."
Kirania sedikit bingung dengan tindakan dan ucapannya. Dia tidak berpikir kalau Rafan akan percaya secepat itu, sebelumnya gadis itu menduga kalau laki-laki terpelajar seperti Rafan tidak percaya dengan hal mistis.
"Huft ... hah ...."
Rafan menarik napas cukup panjang. Dia pun berdiri dari kasur dan merapikan pakaian untuk selanjutnya beranjak pergi.
"Nia, aku gak bisa lama-lama di sini. Tentang kejadian barusan, aku bisa bilang kamu sakit dan kasih waktu sampai istirahat makan siang. Selanjutnya, aku anggap kamu bolos."
"..."
Tubuh Kirania tersentak, emosinya kembali berubah menjadi gelap. Akibat kalimat yang diucapkan Rafan, gadis itu jadi mengingat kejadian yang membuatnya kacau.
"Kalau gitu, aku bolos saja."
"Jangan bodoh, kamu gak punya alasan buat bolos—"
"Bukan ..., maksudku aku mau berhenti sekolah saja."
"Huh ...? Kenapa?"
"Setelah kejadian itu, aibku sudah kebongkar. Laki-laki bakal lihat aku pakai mata mesum, perempuan bakal gosipin aku di sana-sini, guru juga bakal beranggapan jelek sama aku. Daripada kayak gitu, aku mending gak usah sekolah."
"Kamu masih pikrin masalah itu? Gak usah takut, gak akan ada yang ingat kejadian itu, gak akan ada yang bahas tentang kamu karena kejadian mendesahmu barusan," ucap Rafan dengan tegas meyakinkan Kirania.
"Hmn ... dari mana kamu bisa bilang kayak gitu?"
"Karena aku suruh mereka buat melupakan semuanya."
"..."
Kirania terdiam sejenak mencerna ucapan Rafan. Gadis itu berusaha mencari arti kata dan maksud yang ingin disampaikan laki-laki itu.
"Hah ...."
Lalu, dia pun menghembuskan napas bersamaan dengan lepasnya ketegangan, "Enak yah, jadi bodoh. Kamu gak bisa stres punya banyak pikiran kayak aku," lanjutnya berkata pada Rafan.
"Kejam sekali ... kamu gak percaya aku?"
"Mungkin tentang sikap laki-laki sama gurunya agak berlebihan, tapi kalau tentang gosip cewek aku itu serius. Cewek itu seram, mulut mereka saja sudah bikin aku stres."
Kirania dibebani sebuah tekanan di mana mentalnya terganggu oleh pikiran orang terhadapnya. Hal tersebut bahkan tidak akan selesai dengan negosiasi ringan, setidaknya itu yang dipercaya olehnya.
"Kalau kamu paranoid gitu, mau kubikin taruhan?"
"Taruhan?"
"Iya ... kalau misal ada satu saja orang yang ngomongin atau bahkan inget kejadian di kelas barusan, aku bakal bantu kamu keluar dari sekolah. Kamu sendiri cewek yang jago gambar, jalan karirmu sendiri gak perlu buat sekolah di sini. Untuk ke sananya, aku bisa bantu kamu buat cari sumber uang."
Kirania sedikit tercerahkan, apa yang diucapkan Rafan terasa menggiurkan. Tapi, itu terlalu bagus untuk jadi kenyataan, perasaan lega tersebut ditutupi oleh ketakutan besar lain. Pikirannya yang sekarang sudah diracuni lebih dulu oleh kemungkinan negatif yang jauh lebih besar. Perkataan Rafan yang tidak memiliki jaminan lebih diragukan olehnya.
Gadis itu sebenarnya tidak terlalu mengharapkan bantuan hidup dari Rafan. Tapi, dia percaya kalau orang seperti ketua OSIS masih bisa bertindak lanjut terhadap pengeluarannya di sekolah.
"Terus ... kalau misalnya beneran semua orang lupa dan gak ada yang ngomongin, aku harus apa?"
Oleh sebab itu, dia menanyakan hal ini lebih lanjut. Karena tema bicaranya adalah taruhan, itu berarti akan ada sesuatu yg menjadi timbal balik jika dia kalah.
"Berhenti jadi cengeng dan terus sekolah."
"Eh?" Wajah serius Kirania terguncang oleh mata melotot kebingungan, "Itu saja?"
"Yah ... itu saja."
"Bukannya kalau gitu kamu gak dapat keuntungan apapun dariku?"
"Tidak juga ...," kata Rafan sambil berbalik menghadap pintu. Laki-laki itu berjalan beberapa langkah hingga akhirnya sampai di depan pintu UKS, "Secara teknis, aku masih ketua OSIS. Menjaga muridnya tetap senang juga termasuk tugasku."
*Krek
Tutup pintu Rafan yang meninggalkan Kirania di sana sendiri.
****