Chapter 15 - Kesempatan 1

Membantu dan dibantu adalah unsur yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Entah itu perempuan dengan laki-laki, orang tua dengan anak-anak, maupun manusia dengan spesies lain. Dari sekolah, kita sudah diajarkan macam-macam hubungan semacam mutualisme.

Terkadang, kita tidak bisa memilih dengan siapa akan bekerja sama, satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah itu adalah dengan menurunkan egoisme dan saling menghargai satu sama lain.

"..."

Tapi, kalau bisa aku gak mau dia tahu.

Tidak peduli itu Rafan dengan kemampuan yang diakuinya sama dengan Kirania, aib tetaplah aib. Gadis itu tentu saja masih menganggap masturbasi adalah kegiatan privasi, jadi dia tidak ingin bergantung pada Rafan.

Setelah percakapan berakhir, mereka pun mengikuti kegiatan belajar mengajar layaknya siswa biasa. Selama itu juga, kutukan hebat Kirania belum kambuh kembali.

Berbeda ketika mereka berdua saling bicara dan teriak, situasi dan hubungan antara Kirania dan Rafan malah merenggang ketika di depan teman-teman sekelasnya. Kirania merasa canggung untuk bicara pada Rafan, dan Rafan sendiri tidak bicara ketika dia tidak punya keperluan.

Seakan ada tembok yang memisahkan ... seakan ada aturan tak tertulis, mereka berdua minim bicara setelah itu.

Sesekali Kirania memandang penasaran pada ketua OSIS itu, tapi balasan yang dilakukan laki-laki itu adalah kode isyarat seolah mengatakan 'apa kamu kebelet sekarang?' yang membuat suasana hati gadis itu memburuk.

Ketika itu terjadi, Kirania menjawab dengan gelengan kepala dan sedikit senyum. Lalu, Rafan berbalik kembali mengabaikan gadis itu. Tidak melanjutkan komunikasi maupun mencoba memperpancang percakapan.

Memangnya aku ini manusia masturbasi, kenapa dia hanya memandang dan mengkhawatirkanku seputar masalah masturbasi. Bukankah lebih baik jika kamu memberi salam padaku layaknya teman sekelas pada umumnya.

****

Dua hari berlalu, sekarang hari sabtu di mana sekolah hanya berjalan setengah hari. Namun, Kirania tidak segera pulang ketika pelajaran berakhir, dia menghabiskan sisa waktunya di ruang ekskul miliknya sendiri, ekskul menggambar.

"Hmn ...."

Tempat itu memiliki satu set meja dengan enam kursi, tapi tidak pernah satu kali pun diisi penuh oleh enam orang. Dari awal, ruangan ini memang bukan didesain untuk menjadi atelier seniman, Kirania mendapatkan ruang ini karena fungsi sebelumnya yang hilang.

"Mungkin gambar ini bagusnya di sini."

Namun, gadis itu tetap berusaha menghiasi tempat itu seindah mungkin dengan gambar-gambarnya. Ada sekitar lima sampai sepuluh gambar terpajang di tembok dengan bingkai, dan sisanya ada puluhan yang tergeletak di meja, baik gambar selesai maupun yang tidak.

Kirania biasa mengerjakan sebagian gambar-gambarnya di ruangan ini sendiri, dan semuanya menggunakan pensil. Beberapa kali mungkin dia mencoba alat lain seperti crayon dan spidol, tapi itu semua masih tidak sebagus karyanya dari pensil.

*Knock, knock ....

Suara pintu yang diketuk dua kali oleh orang dari luar.

"Hn." Respons gadis itu yang sejenak berhenti menggambar untuk melihat orang di luar.

Tamu? Hmn ..., tapi aku gak bisa lihat dia dari jendela.

Cukup jarang ada orang yang mengunjungi ekskul gambar. Selain tempat yang terpencil, Kirania juga cukup mengurung diri untuk memamerkan karyanya pada seluruh murid sekolah.

"Masuk saja, gak dikunci, kok," jawabnya yang tidak ingin mengangkat pantat dari kursi karena fokus menggambar.

"Apa kamu yakin? Aku beneran boleh masuk?" tanya orang di balik pintu.

Suara ini ....

Walaupun tidak memeprlihatkan wajahnya, tapi Kirania bisa mengeali dengan jelas suara dari orang tersebut.

"Masuk saja, kenapa kamu malah balik tanya, Raf?"

Orang itu adalah Rafan, ketua OSIS, orang yang belakangan ini melakukan kerja sama tapi belum pernah melakukan aksi lagi selama ini.

"Maksudnya ... kamu gak lagi ngapa-ngapain 'kan di dalam? Kayak kutukan kamu lagi kambuh dan—"

"Masuk sekarang, Raf!"

"..."

Kirania berteriak membentaknya hingga membuat orang di balik pintu terdiam. Menurut gadis itu, perkataan barusan menjurus pada pelecehan seksual yang membuatnya kesal.

"Oke, oke, aku masuk," ucap Rafan setelahnya.

*Dug, gruduk ....

"Dikunci?" gumam ketua OSIS itu setelah terdengar suara gaduh benturan pintu. "Nia, katanya gak dikunci?"

"Ah, masa, sih?" ucap Kirania dengan nada meninggi dan refleks membuat ekspresi bingung. "Iya sudah, tunggu sebentar."

Gadis itu pun mulai meraih kunci dari tas dan mulai berdiri dari kursi. Dia tidak ingat kapan mengunci pintu tersebut. Tapi, jika sudah seperti ini, Kirania pun terpaksa mengorbankan sedikit konsentrasi menggambarnya.

Ketika Gadis itu sudah memegang kunci dan berjalan mendekat ....

*Ceklek, ceklek.

"Hn!?" Dia terkejut dengan apa yang terjadi.

"Gak apa-apa ... aku bisa buka pintunya sendiri," kata Rafan yang dengan santainya membuka pintu tersebut.

"Hmn?"

"..."

Mereka saling bertatapan, Rafan menunjukkan wajah polos bingung, sedangkan Kirania lebih ke arah takut dan terkejut. Dada gadis itu terpacu sesaat melihat apa yang terjadi di hadapannya, sebuah pintu dari ruangan pribadinya terbuka begitu saja.

"Ada apa?" tanya Rafan yang mulai merasa aneh.

"Raf, jangan pernah buka pintu itu lagi," ucap gadis itu dengan sinis.

"Oh ... Kenapa?"

"Horor, tahu! Bayangin kamu lagi ngunci diri di kamar dan cuman kamu yang punya kuncinya. Terus tiba-tiba kamu lihat pintu itu kebuka sendiri, itu beneran adegan kayak film horor."

"Sebenarnya aku dan satpam di sekolah ini punya kuncinya, jadi hal itu gak berlaku."

"Satpam gak akan masuk paksa pakai kunci dia waktu aku di sini, cuman orang sembrono kayak kamu saja yang bakal gitu," sentaknya untuk menekan Rafan dan membuatnya menyesali perbuatan tersebut.

"Tenang," kata Rafan yang mencoba mencairkan atmosfer di sana. "Lagian kamu juga sudah tahu 'kan kalau aku punya ruangan ini? Buat apa kamu kaget?"

"Ah, iya tentang itu," Kirania mulai mengubah ekspresinya karena teringat dengan hal yang diucapkan Rafan, "sebelumnya kamu gak pernah cerita ... kenapa kamu bisa punya kunci ruangan ini?"

Rafan dan Kirania yang terpisah dua hari benar-benar terputus komunikasi. Mereka tidak saling bicara dan cenderung tidak menyelesaikan percakapan di setiap pertemuannya. Itu sebabnya, masih banyak yang tidak diketahui gadis tersebut karena kegentingan serta keterbatasan waktu.

Sekarang, di saat mereka berduaan hingga menghilangkan dinding pembatas, momen tepat untuk saling bercerita kejelasan masing-masing. Bagi Kirania, Rafan masih digolongkan sebagai individu yang penuh misteri.