"Oh, maaf, Nia, tadi kamu nanya apa, yah?" tanya Intan yang ingin melanjutkan percakapan.
"Tentang aku ... kamu ingat kejadian sebelum aku keluar kelas?"
"Oh, waktu kamu mau diantar sama Rafan?"
"I-iya..."
Kirania menjawabnya dengan ragu, di tengah percakapan itu dia baru sadar kalau sebenarnya tindakannya sekarang adalah membuka aibnya sendiri. Di detik-detik dia mengangguk menjawab 'iya', seketika itu juga bulu kuduk gadis itu berdiri karena perasaan tegang.
"Waktu itu, yah ... waktu itu ... aku benar-benar gak nyangka ...."
Gluk.
Kirania menelan ludah bersiap dengan kemungkinan terburuknya.
"Nia ...," panggil Intan dengan suara perlahan, "kamu ... kamu ternyata punya latah!? Ahaha ...," lalu lanjutnya dengan cepat dan suara lantang.
"Eh? Latah?"
"Iya ... waktu Rafan megang tangan kamu, kamu teriak 'Kumbang! Kumbang! Kumbang!'."
Gadis itu mengangkat alis sebelah, berdiri kebingungan di samping Intan yang mengatakan hal aneh. Apa yang dikatakan temannya kali ini jauh dari perkiraan, bukan ke arah positif maupun negatif, malainkan ke arah yang tidak dimengerti.
"Ntan, kamu ngomong—"
"Kamu ngomong apa Intan?" potong salah satu teman di kursi sebelah yang sepertinya mendengar dan tertarik masuk ke percakapan. "Telingamu ke mana waktu itu? Nia bukan bilang kumbang, tapi dia bilang 'Mamah! Mamah! Mamah'."
"Hn?"
Respons Kirania yang menatap bingung teman di sampingnya.
"Ahaha ..., bukan, dua-duanya salah," ucap satu siswa perempuan di bangku belakang. "Kirania gak latah, dia cuman teriak 'Aw!' ... kayak kaget biasa."
"Hmn!?"
Percakapan tersebut semakin membingungkan. Padahal ini adalah topik tentang dirinya, tapi Kirania sama sekali tidak menyentuh inti dari apa yang mereka katakan.
"Ini soal aku sebelum keluar kelas 'kan? Aku gak latah waktu itu, tapi—"
Lidahnya kembali tertahan, mengeluarkan sesuatu dan memancing teman-teman membicarakan aibnya ternyata lebih memalukan daripada yang dia pikirkan. Aneh rasanya jika dia berkata dengan keras 'Aku mendesah di kelas? Kalian inget?' di tengah-tengah pembicaraan.
"..."
Selain itu, Kirania juga berpikir bertanya frontal seperti itu termasuk kecurangan yang tak bisa dimaafkan dalam taruhan ini.
"Iya, ini tentang kamu," kata Intan yang mulai mendekatkan wajah mulai berbisik. "Aku tahu dekat sama Rafan bisa bikin grogi, tapi aku gak nyangka bakal sampai kayak gitu waktu dia pegang tangan kamu."
"..."
Rafan?
Batinnya bertanya dalam hati.
Melihat dan mendengar semua orang membicarakan hal berbeda dan cenderung mengarah 'tak masuk akal, Kirania mulai berpikir sesuatu ini telah direncanakan. Lagipula, Rafan kala itu berani mempertaruhkan keputusan besar untuk keuntungan kecil. Dari awal orang itu tidak benar-benar bodoh, pasti ada alasan dari ucapannya, seperti dia yang sangat yakin dengan membuat sekenario menutupi aibnya dan mengancam semua orang.
Kalau begitu, bicara di depan umum tidak akan pernah berhasil. Intan mungkin akan bicara terus terang ketika kami berdua.
Posisi kepala Intan masih berdekatan untuk mereka saling berbisik. Oleh sebab itu, Kirania memakan kesempatan tersebut untuk berkata pelan, "Intan, kalau makannya selesai, nanti kita ke luar. Aku mau ngomong sesuatu, tapi bukan di sini."
Intan yang mendengar itu hanya membalas polos, dia berpikir kalau itu hanya ajakan normal seperti berbagi rahasia tentang orang yang disukai atau sejenisnya.
"Oh, boleh saja," jawab Intan menyetujui.
Suasana tegang dan aneh yang dirasakan Kirania pun memudar, dia mencoba tenang untuk bisa menikmati makan siangnya. Kejadian yang dialaminya hari ini cukup mendongkrak adrenalin naik hingga kalori di tubuhnya terbakar banyak, atau lebih tepatnya dia merasa lapar.
Lima belas menit berlalu. Makan siang itu tidak berjalan senyaman makan siang biasanya, Kirania selalu saja dilanda kecemasan tentang banyak hal. Tapi, semua itu akan berakhir jika dia keluar dari sekolah.
Gadis itu sudah memutuskan untuk keluar dari sekolah. Selama kutukannya tidak lepas, cepat atau lambat siswa-siswa akan tahu. Kali ini dia cukup sial karena kambuh di jam pelajaran. Walaupun dia berhasil diselamatkan, tapi itu tidak akan bekerja terus menerus.
Kirania yang sudah menghabiskan bekalnya pun membawa Intan ke tempat sepi di sekolah. Mereka menuju bagian barat sekolah yang di mana ada gedung tak terpakai dekat parkiran, tempat itu sepi dan bahkan hampir tidak ada orang yang lewat di jam istirahat.
"Ni-Nia? Kita mau jalan sampai mana? Gak usah jauh-jauh, aku cape jalannya," minta Intan yang sedikit bingung melihat tindak tanduk Kirania.
"..."
Mendengar hal itu, Kirania pun menghentikan langkahnya. Sekarang mereka berdua berdiri di lorong yang jauh dengan gedung kelas dan kantin. Itu berarti, kondisi sepi juga sudah terasa di tempat tersebut walau belum sampai di tempat tujuan gedung tak terpakai.
Kirania berbalik menghadap Intan, dia menunjukkan wajah memohon dan berkata, "Intan, jujur saja sama aku, apa kamu diancam Rafan?"
Intan tidak langsung menjawab, dia memiringkan sedikit kepala kebingungan sebelum menjawab, "Diancam? Diancam apa?"
"Diancam gak boleh cerita tentang aku yang ... yang ... yang pernah teriak di kelas? Pas banget waktu Rafan pegang tangan aku."
"Yang kamu bilang 'kumbang'?
"Buang dulu 'kumbang' sebentar napa!"
Teriak Kirania membuat Intan sedikit kaget.
"Ah, iya."
"Di sini gak ada siapa-siapa, kamu boleh cerita, kamu diancam sama Rafan, 'kan? Apa yang kamu lihat sebelum aku keluar kelas?"
"A-aku gak ngerti. Aku sudah jujur, aku ... aku gak pernah diancam sama Rafan, ngobrol sama dia saja hari ini belum. Terus kenapa kamu suruh buang 'kumbang' tapi tanya terus soal kejadian di kelas, satu-satunya kejadian yang aku ingat waktu itu cuman 'kumbang'. Aku beneran gak ngerti."
"..."
Intan bilang pada Kirania kalau dia tidak mengerti, tapi sebenarnya Kirania kala itu juga tidak mengerti. Mereka bicara layaknya orang yang membicarakan dua hal berbeda, layaknya dua teman yang salah mencocokkan obrolan judul film.