Chapter 16 - Kesempatan 2

"Kenapa aku bisa? Aku hanya memintanya secara normal dari satpam setempat biar aku bisa bikin duplikatnya."

"Kalau gitu buat apa kamu butuh kunci ruangan ini? Sebelumnya kamu gak punya urusan ke sini 'kan?"

"Tempat ini masih bagian dari sekolah, tentu saja aku harus punya kuncinya."

"..."

"..."

Percakapan berhenti sesaat, atau lebih tepatnya Kirania membeku oleh suatu pikiran yang melintas di kepalanya.

"Kalau kamu bilang gitu, kedengarannya kayak kamu punya semua kunci di sekolah."

"Iya, aku punya."

"Tunggu, tunggu ... jadi selama ini kamu sudah menjajah privasi seluruh sekolah. Ah, kalau dipikir juga satpam normalnya gak bakal kasih kunci ke kamu ... kamu pakai kekuatanmu buat dapetin kuncinya, yah?"

"Iya ... aku ...," Rafan mengatakannya dengan nada merendah sambil terus menurunkan volumenya, "Eng-enggak ... aku gak pakai, satpam itu baik hati, kok," lanjutnya dengan wajah sedikit panik dengan mata berkeliaran menghindari tatapan gadis itu.

"Hn?"

Tentunya Kirania sadar akan sikap aneh tersebut, dia menatap sipit Rafan dan mulai memasang wajah curiga

"Raf ...," panggilnya sambil mendekat satu langkah, "coba bilang sekali lagi. Bilang sambil lihat ke sini, apa kamu beneran gak pakai kekuatan kamu?"

"..."

Laki-laki itu masih mengalihkan pandangannya, melihat ke sekeliling ruangan dan mengabaikan tatapan tajam Kirania yang mengancam halus. Beberapa kali dia menatap Kirania, tapi hanya sekejap dan kembali Rafan mengalihkan pandangannya.

Sampai akhirnya dia berkata, "Ah, gambar yang bagus, aku tahu ini. Referensi dari Van gogh, the scream, iya, 'kan?"

Rafan menatap ke tembok samping yang memiliki pajangan gambar berbingkai, itu adalah gambar Kirania. Tema gambar tersebut mengambil referensi seniman terkenal Vincent Van Gogh, karyanya yang diisi orang berteriak dengan kedua tangan memegang pipi dan ekspresi wajah seperti alien.

"Iya, aku suka. Kamu pakai tema itu dan ganti tokohnya jadi kucing."

Berbeda dengan gambar aslinya, Kirania membuat tokoh manusia di sana menjadi seekor kucing. Bentuk wajahnya memang tidak seluar biasa karya Van Gogh, tapi gadis ini bisa membuat hewan tersebut sedikit ekspresif tanpa menghilangkan proporsi tubuhnya.

"Terutama bagian kucing itu pegang pipinya, itu terlihat lucu—" Rafan terhenti di tengah kalimatnya, saat itu dia melihat wajah Kirania yang terlihat tidak senang. "Aaa ...," lalu kembali menimbulkan atmosfer berat.

"Kamu sengaja 'kan ganti topiknya. Aku gak akan ketipu ... dan sekarang juga gak ada bel sekolah yang bisa ganggu."

Rafan sadar akan itu, Kirania menagih ucapannya tentang dia tidak pernah menggunakan kekuatan untuk hal-hal licik. Itulah sebabnya laki-laki itu menghindari pertanyaan barusan.

"Huft ... hah ...," tarik napas Rafan yang kelihatannya sudah menyerah. "Dari kemarin-kemarin, aku masih bingung. Kenapa kekuatanku gak mempan sama kamu."

"Hn? Kekuatan?" Ekspresi gadis itu mulai melunak, Kirania kali ini sedikit penasaran dengan perkataan Rafan, "Kekuatan yang bikin semua orang suka sama kamu?"

"Iya," jawab Rafan sambil mengangguk, "ingat waktu kejadian di tangga itu?"

"Pelecehan seksual lain yang kamu lakukan?"

"Sebenarnya pelecehan seksual cuman berlaku kalau si cewek gak suka, selama dia tidak keberatan, dia gak akan laporin aku."

"Jangan khawatir, aku bisa wakilin mereka buat laporin kamu," ucapnya dengan tenang namun tetap merendahkan.

"Aku gak khawatir, semua guru dan polisi masih memihakku."

"..."

"..."