Chapter 13 - Kerja Sama 1

Sekolah dibagi menjadi dua area. Pertama, bagian barat yang terdapat tiga gedung kelas utama untuk setiap angkatan lengkap dengan fasilitas umum seperti kamar mandi, kantin, dan lapangan olahraga. Lalu yang kedua, bagian timur yang terdapat berbagai tempat khusus seperti ruang OSIS, ruang ekskul, ruang guru, perpustakaan, lab komputer, lab IPA, taman hijau, dan tempat parkir.

Kedua area tersebut dibatasi oleh aula besar yang berada di tengah, tempat yang biasa dipakai sekolah ketika ada acara seperti seminar. Untuk menghubungkan semua tempat tersebut, ada lorong panjang dibangun di sekitar hingga membentuk jalur khusus. Orang-orang pun dengan mudah berjalan di sisi taman, di sisi lapangan, dan tentu saja melintas dari gedung satu ke gedung lain.

Intinya, bagian barat biasa ramai oleh siswa, sedangkan bagian timur hanya terdapat beberapa orang yang punya urusan khusus.

Kini Kirania berada di lorong area timur, berdiri dan berbicara dengan Rafan ketua OSIS.

"Huh? Gimana? Kamu bisa bikin semua orang suka? Maksudnya gimana?" tanya Kirania yang masih bingung arti ucapan laki-laki itu sebelumnya.

"Maksudnya persis sama yang aku ucapin, setiap orang yang melihatku pasti akan menyukaiku. Sama kayak kejadian sihir kamu tentang masturbasi, aku juga ngerasa kalau kemampuan itu adalah bentuk dari sihir."

"Eh?" Kembali wajah Kirania menjadi bingung mendengar ucapan Rafan, "Tunggu, tunggu sebentar, aku mau mikir dulu," ucapnya sambil satu tangan memegang kepala dan satunya lagi dijulurkan sambil membuat gesture 'stop'.

Belakangan ini Kirania mengalami banyak hal dalam waktu singkat, dimulai kesialannya kepergok masturbasi, bertemu Rafan yang menyebalkan, kambuh ingin masturbasi waktu presentasi, dibantu oleh Rafan, hingga sekarang tiba-tiba dijelaskan kalau itu semua adalah sihir.

Rafan bisa membuat orang di sekitar menyukainya? Menyukai di sana itu artinya suka menjadi kagum atau suka dalam arti cinta?

Otak Kirania yang pas-pasan ini dipaksa kerja keras, gadis itu tidak ahli dalam berpikir dan memecahkan masalah. Oleh sebab, dia butuh waktu mencerna kata-kata Rafan yang menurutnya rumit.

Tapi, tunggu ... jika apa yang dikatakan Rafan itu benar, maka tindakan aneh Intan jadi masuk akal. Seperti dia yang mengagumi laki-laki itu walaupun sebenarnya tidak terlalu hebat.

"Hn?" Kirania mulai melirik Rafan, ekspresi kaget bercampur bingung sambil mengangkat alis ia tunjukkan.

"... Ada apa?" lalu laki-laki itu bertanya sebagai responsnya.

"Cu—" Gadis itu ingin mengucapkan sesuatu, tapi tersendat di satu vokal.

"Cu—?" Rafan mengulang ucapan tersebut sambil meninggikan nada karena refleks.

"Curang ...!!" teriak Kirania cukup keras menggelegar sesaat di lorong tersebut.

Suasana di tempat itu dari awal sepi, kegaduhan sekolah juga tidak akan membuat teriakan Kirania menjadi trending. Tapi, hal tersebut sudah cukup untuk membuat Rafan kaget dan menutup mata sebagai responsnya.

"Apanya curang?" tanya Rafan setelah membuka mata dan sedikit tenang.

"Kamu ... kamu curang, curang banget. Kenapa kamu punya kemampuan enak yang bikin kamu dipuja-puja. Ah ... aku ngerti sekarang, kenapa kamu begitu sombong, kenapa semua orang selalu belain kamu, kenapa cuman aku yang anggap kamu bodoh. Itu semua karena kekuatan kamu?"

"Iya ... bisa dibilang begitu."

"Curang ....!!"

"..."

Kirania berteriak sekali lagi. Suaranya tidak kalah keras dengan yang pertama, Rafan yang mendengarnya kembali menutup mata dan memiringkan kepala karena refleks.

"Jangan teriak, telingaku sakit."

"Ha-habis, kamu curang!"

"Iya, aku sudah dengar itu. Memangnya apa yang curang dariku?"

"Semuanya! Jadi, selama ini sudah berapa banyak orang yang jadi korban kamu!?"

"Woi, jaga kata-katamu. Itu bikin aku kayak orang jahat."

"Biarin ... itu kenyataan, 'kan? Kekuatan barusan bisa bikin kamu pacaran sama semua cewek, 'kan? Iya, 'kan!?"

"Iya ... itu bukan mustahil, aku memang bisa, sih—"

"Curang ...!!"

"..."

Kali ini respons Rafan sedikit berbeda. Dia tidak menutup mata, melainkan menatap datar tepat kearah Kirania ketika dia menyemprotkan teriakan tersebut. Laki-laki itu mengerti, apa maksud dan pemikiran gadis itu terhadap kekuatannya.

"Ah, jangan-jangan ... waktu itu, waktu di tangga pas pelajaran olahraga, kamu mau pakai kekuatanmu ke aku? Buat bikin aku suka sama kamu? Ah ... pantas saja aku ngerasa aneh."

"Aku memang pakai kekuatanku, tapi bukan buat—"

"TERUS, waktu itu juga ...."

"..."

Kirania terus bicara, gadis itu tidak membiarkan Rafan menjawab dan memotong perkataan Rafan dengan suara yang lebih keras lagi. Ini membuat si ketua OSIS itu mengurungkan niat dan membiarkan perempuan itu terus bicara.

"Kalau gak salah kamu bilang kalau semua cewek yang diintip sama kamu gak bakal marah, yah? Setelah kamu ngintip dalemanku," kata gadis itu sambil terus menggerakan kepala ke berbagai arah mengingat kejadian dan menatap Rafan secara bergantian, "Sebenarnya sudah berapa banyak cewek yang kamu intip, Raf?"

"..."

"Terus soal ketua OSIS juga, apa kamu sengaja manipulasi siswa-siswa biar kepilih jadi ketua OSIS? Ah ... barusan juga ... kamu bisa bikin orang lain lupa. Itu ... itu juga kamu pakai ke guru? Buat manipulasi nilai? Pantas kamu dapat nilai bagus, itu semua pakai kecurangan, iya, 'kan?"

"..."

Rafan masih diam, dia tidak menjawab dan tetap menatap datar Kirania. Laki-laki itu berpikir kalau membalas ucapan Kirania adalah pilihan yang buruk. Lagipula, dia sudah kesal ketika kalimatnya dipotong dan tidak didengar barusan.

"Iya, 'kan!?" tanya Kirania sedikit menyentak.

Laki-laki itu tidak terguncang sedikit pun, kata-kata yang keluar pada mulut Kirania dia anggap sebagai sebuah angin halus. Tapi, pada akhirnya Rafan mulai bicara, "Kenapa kamu kira kalau aku pakai kekuatanku buat hal busuk kayak gitu? Jangankan pakai, kepikiran buat begitupun aku enggak."

"... Habis ... kamu curang."

Berbeda dengan bentakan dan teriakan sebelumnya, suaranya kali ini begitu kecil layaknya merendah.

Beberapa detik mereka diam, di waktu-waktu tersebut Rafan melihat perkembangan emosi gadis itu. Entah apa yang merasukinya, dia begitu aktif menentang layaknya orang yang dipenuhi rasa keadilan.

"Hah ... curang lagi ... memangnya apa yang curang? Asal kamu tahu, aku gak pakai kekuatanku buat kecurangan yang kamu bilang barusan," kata Rafan.

"Bukan ... bukan itu, sebenarnya setengah dari ucapan itu tuh bercanda. Aku juga sebenarnya tahu kalau kamu dari awal gak pernah punya pacar."

"Kalau gitu buat apa kamu teriak-teriak?"

"Entahlah ... mungkin cuman iri," kata Kirania sambil menurunkan wajahnya. "Waktu kamu dapat kekuatan yang bagus kayak anugerah dari langit, aku malah dapat kutukan sesat yang bikin menderita."

"Itu ilusi ... rumput tetangga terlihat lebih hijau. Kata siapa aku punya kekuatan anugerah, bagiku ini juga semacam kutukan."