Rintik hujan menghiasi pemandangan suatu sore di sebuah kota kecil. Harusnya hal ini akan terasa menyenangkan dan menenangkan, dengan secangkir teh dan sepiring kue kering. Tak ada yang bisa menolak bau tanah yang terguyur air hujan.
"Pak! Bapak mau kemana??" Mira berusaha menggapai kaki bapaknya yang hendak pergi dengan sebuah koper. Bapaknya terus melangkah meskipun ia tahu Mira sedang mencekal kakinya, tapi Mira juga bisa merasakan bapaknya melangkah dengan berat.
Bapaknya pun akhirnya berhenti, dan menoleh padanya seraya menyunggingkan sebuah senyum sendu. "Bapak cuma pergi sebentar kok, Ra..."
"Aku- Aku boleh ikut??" tanya Mira.
Bapaknya menggeleng dengan lembut, kemudian membelai wajahnya. "Bapak percaya, kamu ini perempuan yang kuat."
"Tapi Pak, aku-"
"Suatu hari nanti, Bapak pasti kembali kok. Oh ya, suatu hari nanti juga, kamu pasti bisa ngelihat wajah ibu kamu."
Ah, ya... Ibunya. Wanita yang menjadi sosok misterius selama lima belas tahun belakangan, atau lebih tepatnya, sepanjang hidupnya. Mira tak pernah bertemu ataupun melihat ibunya barang sekilas saja, bahkan fotonya pun tak pernah ia lihat. Bapaknya selalu bercerita bahwa ibunya tinggal di ibukota, dan yang menjadi pertanyaannya selama ini, mengapa bapak dan ibunya tak hidup bersama saja? Apakah mereka sudah bercerai sejak dulu, sejak ia masih kecil?
"Permisi Pak Fadly." kali ini seorang pria paruh baya menyela pembicaraan Mira dan bapaknya. "Maaf Pak, tapi kita harus segera berangkat agar tidak ketinggalan pesawat."
"Itu siapa, Pak?" Mira bertanya tentang pria paruh baya tersebut. Tapi bapaknya tak merespon pertanyaannya.
"Maaf Ra, tapi bapak harus pergi sekarang. Kamu jaga kesehatan, ya? Suatu hari nanti, kita pasti bisa berkumpul lagi." dengan nada tergesa-gesa, bapak Mira segera memasuki Sedan, yang langsung melaju kencang. Meninggalkan Mira seorang diri. Sendirian di tengah hujan yang makin lebat.
Ia tak bisa menangis. Ia sama sekali tak bisa mengeluarkan air matanya. Langit lah yang mewakili tangisnya.
***********
"Halo..." Mira terus menunggu orang di seberang telepon merespon panggilannya.
Satu hal yang terpikirkan olehnya setelah pikirannya jernih adalah menelepon temannya. Ia betul-betul frustasi saat ini dan butuh seseorang untuk diajak curhat dan meluapkan perasaannya. Ia tak perlu berbasa-basi lagi untuk meraih telepon dan menghubungi temannya.
"Eva?" Mira kembali mengecek apakah panggilannya sudah terhubung.
"Ya?" akhirnya terdengar respon dari seberang, dari Eva. "Kenapa, Ra? Kamu kehabisan gula? Atau ada tikus di rumahmu?"
"Bukan! Ada masalah yang lebih gawat!"
"Apa emangnya?" tanya Eva.
"Aku gak bisa cerita di telepon! Aku perlu kamu dateng ke rumahku! Tolong kamu kesini, Va!"
"Heh? Emangnya kenapa sampe aku harus dateng ke rumahmu?" heran Eva.
"Bapakku pergi dari rumah!"
Tak ada suara tercengang ataupun terkejut setelah mendengar berita mengejutkan tersebut. Yang Mira dengar dari seberang telepon justru suara tawa Eva yang menggelegar. Mira tak tahu, apakah kejadian bapaknya pergi dari rumah adalah kejadian yang lucu, atau hanya Eva sajalah yang kurang memahami situasi?
"Mukamu jelek sih! Makanya bapakmu gak kuat, trus minggat dari rumah!" cetus Eva di sela-sela tawanya.
"Kucing garong! Aku ini mau minta tolong kamu, bukan minta kamu ketawain!" Mira merasa emosi.
"Eh, oke deh. Aku OTW kesana."
Dua puluh menit kemudian, Eva benar-benar tiba di rumah Mira, di tengah hujan yang sedang turun dengan derasnya hanya demi mendengarkan apa yang terjadi pada Mira. Mira pun segera menceritakan sedetail-detailnya kejadian yang belum lama terjadi itu. Mulai dari sebuah bapaknya yang tiba-tiba memasukkan barang-barangnya ke dalam sebuah koper besar, sebuah Sedan yang tiba-tiba terparkir di depan rumahnya, hingga seorang pria paruh baya yang menyapa bapaknya dengan lembut bak seorang pelayan terhadap majikannya.
Eva pun hanya mengangguk-angguk selama mendengarkan cerita dari Mira. "Waah... jadi bapakmu beneran minggat, ya?"
"Ya iyalah!! Kalo cuma minggat ke mesjid, ngapain aku nelpon kamu?? Ngabis-ngabisin pulsa aja!"
"Gak usah bohong kamu. Aku tau kamu nelepon aku pakai telepon rumah."
"Udahlah, lupain itu," kata Mira. "Trus... bapakku juga ternyata ninggalin surat ini." Mira menunjukkan sebuah surat kecil pada Eva.
"Apa ini?" Eva menyahut, dan membuka surat itu, lalu membacanya. "Mira, kamu hebat kalau kamu bisa nemuin surat ini. Bapak tahu kamu ini cewek yang ceroboh, jadi bapak juga tahu kemungkinan besar surat ini bakal terbuang sama kamu dan gak akan pernah terbaca. Tapi, berhubung kamu bisa membaca surat ini, bapak meminta dengan sangat agar kamu ikut menyusul bapak pindah ke Jakarta setelah kamu lulus SMP nanti. Pergilah ke daerah Kebon Jeruk. Disana ada sebuah rumah dan kamu bisa tinggal disana."
"Haa...? Pindah ke Jakarta?" Mira melongo setelah mendengarkan isi surat tersebut.
"Waduh!! Kalo kamu pindah ke Jakarta, trus aku disini sama siapa dong?? Siapa lagi orang yang bisa aku recokin kalo aku kehabisan beras!?" Eva mulai panik.
"Va." Mira memanggil Eva dengan lembut. "Dulu kamu bilang kalo bapak ibu kamu juga pergi ninggalin kamu, kan?"
"Iya, mereka kerja di luar negeri," jawab Eva.
"Nah, daripada kamu juga hidup sendirian disini, gimana kalo kita berdua pindah ke Jakarta. Lumayan loh, kamu jadi gak perlu ngontrak lagi. Jadi uang buat bayar kontrakan bisa kamu kasih ke aku- Maksudku bisa kamu pake buat hal yang lebih berguna lagi."
Eva melongo, tak merespon ucapan Mira.
"Halooo... Kamu masih hid-"
"Ke Jakarta? Tinggal di metropolitan?"
"Eh... iya. Jadi... Kamu mau... apa enggak?"
"Jakarta... Kota artis... Kota yang gak pernah tidur... Omaigat... Aku bakal tinggal disana? Mimpi apa aku semalem?"
Mira menampar Eva dengan keras untuk menyadarkan ia dari lamunannya. "Jadi, kamu mau apa enggak?"
"Oh." Eva tersenyum. "Jelas mau."
***********
Musim ujian pun akhirnya tiba. Musim yang dinanti-nantikan oleh para siswa. Siswa ambisius benar-benar menanggapinya sebagai ajang untuk menunjukkan apa saja yang telah dipelajari selama tiga tahun terakhir. Sedangkan siswa pemalas menanggapinya sebagai ajang pergantian untuk segera melepaskan diri dari masa SMP guna segera beralih menuju masa SMA.
"Eh Va, seminggu lagi udah mulai UN lho." dengan ditemani dua piring mie goreng dan dua gelas es teh, Mira dan Eva duduk di kantin.
"Oh ya?" tanggap Eva dengan singkat, lalu menyuap mie gorengnya. "Trus?"
"Kamu sadar gak sih kalo kita terlalu 'nyantai'?" cetus Mira. "Kita perlu lebih serius lagi, kalo kita mau lulus SMP dengan nilai yang bagus."
"Iya juga, ya? Kalo kita terus-terusan cuma bergantung sama temen, bisa-bisa kita keteteran waktu ngadepin ujian nanti," sahut Eva. "Ayo kita belajar! Kita kejar ketinggalan semester dua ini!"
"Juga semester ganjil."
"Eh? Kamu ada ide tentang gimana caranya kita ngejar ketertinggalan semester-semester terakhir?" tanya Eva dengan cengirannya.
"Hm... Aku mau coba deketin kumpulan anak kutu buku disana itu. Siapa tahu, salah satu dari mereka ada yang mau minjemin catatan mereka." Mira berdiri, dan berjalan dengan gagahnya mendekati kumpulan anak kutu buku yang sedang sibuk membahas sesuatu.
Lima menit kemudian, Mira kembali dengan wajah ditekuk.
"Gimana, Ra?" tanya Eva.
"Mereka ngetes aku pake pertanyaan kuantum fisika. Waktu aku nanya 'akar itu apa?', mereka langsung pada cabut," geram Mira.
"Ah, ya udahlah. Sekarang aku mau nyoba ngobrol sama anak gaul penguasa sekolahan disana. Koneksi mereka juga lumayan oke."
Mira hanya mengangguk dan berharap Eva kembali dengan secercah cahaya harapan. Cukup lama Eva mengobrol dengan mereka sehingga membuat Mira makin berpikir kemungkinan besar Eva berhasil. Tak lama kemudian Eva kembali. Sama seperti Mira tadi, Eva kembali dengan wajah suram, bahkan lebih suram dari Mira sebelumnya.
"Gimana?" tanya Mira.
"Aku baru tahu kalo warung mie ayam itu bukan tempat yang cocok buat nongkrong," keluh Eva sembari menyenderkan kepalanya di meja.
Mira kembali memperhatikan kumpulan anak gaul penguasa sekolahan sekali lagi. Mendadak, rasa ibanya pada Eva jadi makin besar.
"Kayaknya kita bakal mati tanpa punya masa depan," cerocos Eva.
"Udahlah Eva, kita masih punya waktu seminggu. Pasti kita bisa makai waktu santai ini buat ngelengkapin catatan kita."
"Iya juga."
"Iya, dong."
"Nah, sekarang kita bisa siap-siap buat segera belajar! Habis itu, kita minggat ke ibukota!" Eva berseru lantang sembari mengepalkan tangannya, tak mempedulikan orang-orang yang kini sedang memandanginya.
"Udah, ayo kita pergi dari sini sebelum kamu bikin aku makin malu."
~~~~~~~~~~
Hai, aku harap kamu bisa menikmati cerita ini. Untuk melihat cerita ini lebih detail, silahkan kunjungi akun Instagram aku di @bimbim_brblk
See u next time😊🤗