"Kevin...?" Mira mengecek penglihatannya. Ternyata memang betul, orang yang baru memasuki ruang BK tersebut adalah Kevin, cowok baik yang telah mengantarnya pulang beberapa hari lalu. Sedang apa dia disini?
"Kenapa?" Kevin menyahut.
"Kamu ngapain kesini?" pertanyaan itu tercetus spontan dari mulut Mira. Ia tak bisa menahan lagi rasa penasarannya. Ia menduga, apakah murid sebaik dan sekalem Kevin juga bisa bermasalah?
"Sebelum lo nanya kaya gitu ke gue, ada baiknya gue yang nanya duluan ke elo," kata Kevin. "Lo ngapain kesini?"
"Aku disuruh Bu Meyka ngambil jurnal. Kamu?" jawab Mira, dan ia tak tahu kenapa Kevin seperti terlihat sedang menarik nafas lega.
"Kepo, ya?" Kevin menggoda Mira.
"Ah, gak juga. Aku kan cuma nanya."
"EHEM!" suara dehaman keras menginterupsi percakapan Kevin dan Mira. "Kevin, Mira, bisa di-stop dulu ngobrolnya?"
"Oh, maaf, Bu..." Mira menunduk malu. Sedangkan Kevin justru tersenyum geli melihat tingkah gadis itu.
"Mira, segera kerjakan tugasmu!" titah Meyka. "Dan kamu Kevin, ada apa?"
Kevin berjalan menuju hadapan Meyka. "Saya dipanggil Pak Fadly, Bu."
Mira yang sudah memegang gagang pintu, seketika terhenti begitu mendengar kata 'Pak Fadly'. Fadly... Nama itu adalah nama yang sama dengan nama bapaknya. Bapaknya yang pergi meninggalkannya beberapa waktu lalu dan sedang ia cari keberadaannya saat ini. Dimanakah bapaknya berada sekarang? Apakah memang benar jika ia kini telah menjadi selangkah lebih dekat dengan bapaknya?
"Oh, begitu." Meyka mengangguk mendengar penjelasan Kevin. "Baik, ini surat ijin buat kam- MIRA!! Kamu ngapain masih disitu?!" Meyka histeris saat melihat Mira masih berdiri di ruang BK.
"Eh... maaf, Bu. Maaf. Kalau boleh nanya, Pak Fadly itu siapa ya, Bu?" Mira bertanya dengan hati-hati. Entah kenapa di benaknya terbesit keinginan untuk menanyakan siapa 'Pak Fadly' yang dimaksud Kevin. Menurut firasatnya, Pak Fadly yang dimaksud Kevin adalah orang yang cukup penting di sekolah ini. Buktinya, Meyka, sebagai guru BK mau begitu saja memberikan surat izin keluar sekolah untuk Kevin hanya setelah mendengar kata 'Pak Fadly'.
"Kamu gak tahu?" Meyka tercengang.
"Eh... Ya saya kan baru aja pindah kesini, jadi saya belum tahu siapa Pak Fadly itu."
"Mira, Pak Fadly itu kan ketua DPR kota Jakarta Pusat. Beliau ayah dari Fandy Sylvano Pradetya dan Fanny Salsabila Pradnya," jawab Meyka.
"KETUA DPRD????" Mira berteriak spontan saking terkejutnya.
"Iya. Beliau itu termasuk salah satu pejabat yang paling bersih. Seluruh kerja kerasnya benar-benar di-dedikasikan untuk rakyat. Karena itu, dalam waktu kurang dari satu tahun, beliau sudah bisa menjabat posisi ketua."
"Wow...." Mira melongo dengan wajah seperti baru diserut parutan kelapa. Ia tak pernah mengira perbedaan kasta antara bapaknya dengan Pak Fadly itu, meskipun namanya sama. Mendadak ia jadi minder. Bapaknya hanyalah pegawai rendahan biasa, sangat tak pantas disandingkan dengan Pak Fadly tersebut. Andai saja ia juga punya ayah yang sehebat Pak Fadly.
"Lo manis banget sih?" kata Kevin dengan pelan. Entah karena kebetulan atau apa, Mira bisa mendengarnya.
"Hah?? Aku?" tentu ucapan Kevin membuat Mira terkejut dan wajahnya memerah.
Kevin pun mengangguk, dengan senyum dinginnya.
Dan sebelum Kevin membuat Mira makin ke-geer-an, Mira memilih langsung pergi keluar dari ruang BK. Siapa juga yang tak merasa gembira saat dipuji oleh lelaki setampan Kevin? Semoga saja apa yang diucapkan Kevin memanglah jujur. Kini, Mira berjalan dengan melompat-lompat saking gembiranya.
"Oi!" sebuah panggilan membuat Mira hampir jatuh terpeleset. "Ngapain lo?"
"Satrio!" Mira berseru girang saat melihat kawan barunya tersebut.
"Lo udah ke kamar mandi belum?"
"Ah, udahlah! Lupain itu! Kamu mau nemenin aku ambil jurnal?" tanya Mira.
Satrio mengangguk. "Ya udah, tuh ambil jurnal kelas 10 IPS G. Mumpung lagi deket."
"Makasih." Mira tersenyum senang. "Tadinya sih aku mau minta temenin Kevin. Tapi sayang, dianaya ternyata ijin pulang."
"Kevin?" Satrio mengerutkan keningnya.
"Iya," sahut Mira. "Itu lho... Kevin, temen sekelas kita. Yang ganteng itu!"
"Iya Ra, gue tau. Tapi maksud gue, emang lo yakin Kevin mau nemenin lo? Emangnya orang kaya lo pantes deket-deket sama Kevin?"
Mira terdiam, berusaha menginteropeksi diri. Memang betul juga. Cowok tampan, keren dan banyak digilai oleh perempuan tersebut mana mungkin pantas disandingkan dengan gadis kampung seperti dirinya? Pasti perempuan yang kelak bisa menjadi kekasih atau bahkan jodoh Kevin adalah seorang perempuan sekelas model papan atas ataupun selebriti.
"Kamu bener. Kalo aku jalan sama Kevin malah kelihatan kayak perbandingan bumi sama langit." Mira mendesah.
Satrio terkekeh. "Ya udah tuh, lanjutin ambil jurnal 10 IPS F."
Mira pun menuruti ucapan Satrio. "Eh, Sat!"
"Apa?"
"Kamu tau... siapa itu Pak Fadly?" Mira bertanya dengan iseng.
"Jelas tau lah! Pak Fadly itu kan bokapnya Fandy sama Fanny, yang tahun lalu nanggung biaya renovasi SMA ini."
Mira kesulitan meneguk ludanya saat mendengar jawaban Satrio. "SMA segini gedenya direnovasi...? Habis duit berapa? Pasti dia betul-betul orang yang duitnya banyak..." Mira jadi merinding.
"Banget!" jawab Satrio mantap.
Otak Mira kembali mengirimkan kenangan nostalgia saat ia masih kecil dulu, saat ia masih memiliki banyak waktu dengan bapaknya. Tiba-tiba ia merindukan pria tersebut. Andai bapaknya tiba-tiba muncul kembali di depan rumahnya, maka ia pasti akan memeluknya erat-erat.
Ia tahu itu mustahil. Tapi itu menurutnya, bukan menurut Tuhan. Bisa saja sesuatu terjadi, yang membuat pertemuannya kembali dengan bapaknya menjadi lebih cepat. Yang harus ia lakukan sekarang hanyalah berusaha menjalani kehidupan barunya.
***********
"Ra! Daritadi kok bengong terus sih?! Pelajaran gak merhatiin, diajak ngomong gak nyahut, sampek udah pulang gini kamu tetep masih bengong aja! Kenapa sih kamu?" Eva mengomeli Mira.
Mira menoleh ke arah Eva dengan sedih. "Kangen bapak, Va..."
"Aduh! Kan dulu kamu pernah bilang kalo suatu hari nanti bapakmu bakal balik. Kenapa sedih?"
"Aku gak sedih, aku kangen!"
"Terserah lah. Lagian ya, bukan cuma kamu aja yang ditinggal pergi orang tua. Aku juga, malahan aku cuma bisa ngeliat tampang bapak sama ibuku setaun sekali. Itupun cuma lewat foto yang mereka kirim ke aku."
"Iya juga ya?" Mira tersenyum kembali. "Ngapain aku sedih sendiri kaya gini? Pasti bapakku bakal pulang kan suatu hari nanti?" bibir Mira mulai mengembang.
"Nah itu kamu tau," cetus Eva. "Sekarang ayo pulang!"
"Mira! Eva!" entah datang darimana, Rezvan tiba-tiba muncul mencegat Mira dan Eva yang hendak pergi. "Kalian pulang naik apa?"
"Angkot. Kenapa?" sahut Eva.
"Yah... masak pulang sekolah langsung pulang? Lo berdua harus banyak bergaul! Ikut nongkrong dulu lah sama kita, di depan," ajak Rezvan.
"Nongkrong? Gak mau, ah. Nongkrong di Jakarta pasti cuma ngabisin duit." Mira menolak.
"Enggak, Ra. Tenang aja. Kita cuma anak-anak biasa, yang gak terlalu kaya. Jadi gak mungkin kita nongkrong di kafe-kafe mahal. Kalo kita nongkrong, kita cuma duduk-duduk manis sambil ngobrolin yang enggak-enggak."
"Oh, kalo gitu kami setuju."
Tentu Mira maupun Eva langsung menyanggupi ajakan Rezvan. Semenjak Mira dan Eva makan di kantin bersama Rezvan, Satrio, Rama, Ferry, atau Gracie, mereka langsung menjadi dekat dan cocok. Tak ada tekanan apapun saat bersama mereka.
Mira, Eva, dan Rezvan pun berjalan bersama ke depan sekolah, menuju tempat berkumpulnya teman-teman mereka.
"Di depan sekolah itu dimana? Kok aku gak ngelihat wajah temen-temenmu itu?" Mira celingukan mencari kesana-kemari keberadaan Satrio, Rama, Ferry, maupun yang lainnya.
"Tapi mereka kan temenmu juga, Ra..." Eva menyahuti dengan jengah.
"Kita biasa nongkrong di warung kopi Mr. Joe. Dan gue sengaja gak ikut mereka buat duluan kesana karena gue mau ngajakin lo berdua," tutur Rezvan.
"Ah, masak?" Mira meragukan ucapan Rezvan.
"Udahlah, diiyain aja gitu loh," kata Eva demi meredam konflik.
"Yuk, ikut gue." Rezvan mengajak Mira dan Eva ke depan warung kopi Mr. Joe.
Ucapan Rezvan benar. Disana yang lain sudah berkumpul. Ferry dan Satrio sama-sama tengah menikmati semangkuk mie goreng dan segelas Pop Ice cokelat. Rama yang hanya duduk manis dengan sebungkus batagor dan seplastik es susu cokelat, dan Gracie yang tengah menikmati sebungkus siomay.
"Gracie?? Kamu juga ikut nongkrong?" Mira tergelak saat melihat cowok yang terkenal paling gemulai di antara yang lainnya tersebut juga ikut berkumpul.
"Ya iyalah! Emang kenapa kalo gue ikutan?" sahut Gracie, yang sayangnya tidak didengar oleh Mira.
"Eh!" Ferry bersuara. "Besok Minggu kita kemana gitu, yok!"
"Boleh!" Rezvan langsung menyetujui.
"Gas lah!" Satrio menyahut.
"Kemana?" tanya Rama.
"Tenang. Gue tau spot-spot asyik buat dikunjungin di akhir pekan," kata Rezvan.
"Gue sih, mau-mau aja main sama lo. Tapi gimana ya...?" Rama nampak berpikir.
"Ayolah! Anggap aja refreshing setelah enam hari sekolah," bujuk Rezvan.
"Boleh deh," jawab Rama yang membuat Rezvan, Ferry, dan Satrio bersorak keras.
"Eh!!" kali ini Mira yang bersuara. "Aku sama Eva gak ikut, kan?"
"YA HARUS IKUT LAH!" Rezvan, Ferry, dan Satrio menyahut dengan tegas.
"Tapi kita cewek, gak salah kalo diajakin main sama cowok-cowok liar kaya kamu semua?"
"Kecuali Rama, dia kalem. Juga Gracie, dia letoy." untuk kesekian kalinya, Eva menimpali perkataan Mira.
"Gak papa, Mira... Emang mau lo gimana?" ucap Rezvan.
"Apa perlu kita nyewa bodyguard buat ngawal lo?" cetus Ferry.
"Emang kamu punya duit buat nyewa bodyguard?" tanya Eva.
"Ya biayanya ditanggung bersama, dong!"
"Ra, R.A Kartini berjuang buat apa?" Rezvan menanyai Mira.
"Eh?! Buat apa, ya...? Yaa... pokoknya dia berjuang biar cowok sama cewek bisa sama derajatnya," jawab Mira.
"Nah, itu lo tau."
Mira tak mengerti mengapa Rezvan tiba-tiba menanyakan perihal R.A Kartini, namun setelah beberapa saat akhirnya ia paham juga.
"Ya wes, aku melu!" ujar Mira dengan mantap.
"Aku barang!" timpal Eva.
"Aku 'barang'?" Rezvan mengerut ketika mendengar perkataan Eva.
"Barang itu dalam bahasa Jawa artinya 'juga'," jelas Rama.
"Kelihatannya gue harus belajar bahasa Jawa buat berteman sama kalian..."
***********
"Oi, Kev! Bentar lagi acaranya mulai, buruan siap-siap." Fandy menepuk bahu Kevin.
Sedangkan Kevin yang tengah memandangi langit malam segera menoleh. "Iya."
Malam ini Kevin dan Fandy tengah mengunjungi sebuah acara perjamuan, yang sama-sama dianggap tidak penting oleh Kevin maupun Fandy. Mereka sama-sama terpaksa menghadiri acara ini, namun masing-masing dengan alasan berbeda. Fandy terpaksa hadir demi memperbaiki citranya yang buruk, sedangkan Kevin terpaksa hadir karena tak tega menolak permintaan Gitta, mamanya.
Melihat beberapa orang, yang katanya memiliki posisi terpandang, saling mengobrol dan entah apa topiknya membuat cukup mengantuk. Kevin juga bisa melihat beberapa anak muda lain seperti dirinya yang hadir dan nampak berbaur dengan teman-teman orang tua mereka. Kevin pun tahu, jika raut wajah mereka menunjukkan keterpaksaan, sama seperti dirinya.
"Eh! Tunggu bentar!" Fandy tiba-tiba berhenti saat hendak memasuki gedung. "Fanny minta jemput, katanya dia gak dapet-dapet ojek online daritadi."
"Dia gak bareng sama lo?"
"Enggak. Tadinya sih, gue udah ajakin dia buat bareng sama bokap-nyokap sekalian. Tapi dianya masih dandan. Lo tau sendiri kan, gimana Fanny kalo mau pergi?"
"Tau."
Tentu Kevin berkata seperti itu karena ia sudah hafal diluar kepala bagaimana kebiasaan Fanny saat hendak bepergian, terlebih menghadiri acara penting seperti ini. Ia pasti akan berlama-lama memandangi wajahnya di cermin untuk melihat apakah wajahnya sudah cukup terlihat cantik supaya ia bisa percaya diri. Belum lagi memilih baju yang akan dikenakannya. Rasanya waktu dua jam dirasa sangat kurang cukup.
"Kok nada bicara lo kaya mau ngusir gue gitu sih?"
"Bawel lo," sahut Kevin. Fandy pun membalasnya dengan cengiran, lalu segera pergi untuk menjemput Fanny. Kevin tak tahu Fandy memakai kendaraan apa untuk menjemput Fanny, yang penting ia harus segera kembali secepatnya.
Kevin lalu duduk di sebuah bangku sembari menunggu Fandy datang bersama Fanny. Saat seorang pelayan datang dan menawarkan minuman, Kevin pun menerimanya. Lama kiranya ia menunggu kedatangan Fandy dan Fanny. Kira-kira sudah hampir setengah jam berlalu sejak Fandy pergi.
Selama itu pula yang ia lakukan hanyalah menyaksikan berbagai orang penting lalu lalang menghadiri acara ini. Sejauh ini tidak ada yang menarik perhatiannya, sampai ia tiba-tiba melihat sesosok perempuan yang menyerupai Mira.
"Mira?" Kevin langsung tercengang. Namun sejurus kemudian, sebuah fakta membuatnya kecewa karena rupanya sosok perempuan itu bukanlah Mira. Disisi lain ia heran juga, untuk apa ia terus memikirkan Mira? Akhir-akhir ini pun, ia bahkan semakin sering memikirkan perempuan tersebut.
"Kevin." seseorang memanggil Kevin saat ia sedang termenung.
Kevin pun sontak menoleh. "Mama?"
"Kamu gak masuk ke dalam?" tanya Gitta.
"Bentar, Ma. Ini masih nungguin Fandy dateng sama Fanny," jawab Kevin.
Gitta tersenyum. "Ya udah, Mama masuk duluan ya?"
Kevin tersenyum. Sedangkan Gitta segera berjalan memasuki gedung. Kevin lalu lanjut menunggui Fandy dan Fanny.
"Lo lama." Kevin berdecak saat orang yang ia tunggu-tunggu kehadirannya mulai muncul.
"Sorry." sesal Fandy. "Ini gara-gara Fanny nih!"
Fanny memutar bola matanya dengan jengah. "Udah, gak usah bawel deh. Ayo buruan masuk!" ajak Fanny, lalu berjalan memasuki gedung disusul oleh Kevin dan Fandy.
"Omong-omong tadi di jalan gue ketemu seseorang," ujar Fandy pada Kevin.
"Siapa," sahut Kevin. Ia masih merasa kecewa karena batal bertemu dengan Mira.
"Lo nanya apa enggak sih, bro? Nada lo kaku banget," kata Fandy yang membuat Kevin terpaksa mengulang pertanyaannya.
"Siapa?"
"Mira."
***********
Hai, terimakasih untuk yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Aku harap kamu menikmati karyaku ini. Kalian juga boleh follow akun Instagram aku di @bimbim_brblk
See u next time!