Havana Erika Adhyastha, atau yang biasa orang kenal dengan nama Hanna... Sudah dua hari belakangan ini gadis itu dibuat resah, sangat berbeda dari kepribadiannya yang lemah lembut dan selalu bersikap tenang seperti biasanya. Jika ia mengingat apa yang membuatnya resah, mendadak kepalanya akan terasa sakit. Semua bermula sekitar dua hari lalu.
Kala itu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di salah satu mall di Jakarta Barat. Ia pun berniat untuk sekalian mencari barang-barang kebutuhan PMR disana. Semua berjalan normal, hingga tiga orang pria yang tak dikenalnya tiba-tiba menggangunya. Salah satu dari pria tersebut meminta Hanna untuk menjadi pacarnya, namun tentu saja Hanna menolak mentah-mentah permintaan pria tersebut.
Namun pria itu tak patah arang. Ia mengancam akan terus menjadi mimpi buruk bagi Hanna, hingga Hanna bersedia menjadi pacarnya. Sejak itulah keresahan Hanna dimulai. Tentu ia tak menceritakan hal semacam ini pada siapapun. Tidak akan pernah, bahkan pada para sahabatnya sendiri sekalipun. Menurutnya, ini adalah aib yang tak boleh diumbar ke siapapun.
Kini Hanna bahkan harus melakukan perlindungan ekstra terhadap dirinya sendiri. Ia menolak semua ajakan teman-temannya untuk ikut menghabiskan waktu di mall, kafe, ataupun tempat umum lainnya. Ia bahkan meminta sopir pribadi keluarganya untuk menjemputnya di tempat yang sepi, untuk menghindari orang-orang.
"Hanna!"
Hanna tersentak saat menyadari seseorang tiba-tiba memanggil namanya, apalagi di tempat sepi seperti ini. "F- Fanny?"
Fanny memasang ekspresi khawatir saat menyadari wajah pucat Hanna. "Hanna, lo baik-baik aja?"
"B- Baik. Gue baik-baik aja kok," jawab Hanna segera.
"Gue perhatiin, belakangan ini kok lo kaya lagi punya masalah. Ada apa?" tanya Fanny.
"M- Masalah? G- Gue gak ada masalah sama sekali." Hanna berbohong.
Fanny menghela nafasnya dengan panjang. "Lo kalo ada masalah, bilang aja. Gue mau kok dengerin dan kalo gue bisa yaa... gue bakal bantu nemuin solusi atas masalah lo ini."
Hanna tersenyum. Tapi masalah seperti ini tak mungkin bisa diatasi oleh gadis manapun. Jika saja yang saat ini berbicara dengannya adalah Fandy, saudara kembar Fanny, pasti ia akan menceritakan segalanya pada cowok itu.
Fandy... Entah mengapa jika memikirkan cowok itu hati Hanna langsung berdebar-debar tak karuan. Baginya cowok itu mempunyai pesona tersendiri, yang membuatnya berbeda dari laki-laki manapun. Bahkan Hanna saja tak berani menyebut namanya, karena ia yakin ia bisa pingsan mendadak saking gugupnya.
"Hanna."
Lagi-lagi Hanna kembali tersentak, namun kali ini setidaknya perasaannya jauh lebih membaik. "F- Fanny?"
"Hanna, gue tanya sekali lagi. Apa lo punya masalah?"
Hanna menggeleng lembut, sambil tersenyum. "Fanny, makasih banyak atas perhatian lo. Tapi gue gak kenapa-napa. Gue baik-baik aja."
Fanny menarik nafas lega. "Syukur deh kalo gitu."
"T- Tapi Fan... Lo... Lo lagi ngapain di tempat sepi kaya gini?" tanya Hanna pada Fanny.
"Oh, itu. Gue tadi sebetulnya mau dianterin ke tempat les sama Fandy. Tapi berhubung gue ngelihat lo lagi jalan sendiri, gue akhirnya nyuruh Fandy buat duluan karena gue mau ngecek keadaan lo dulu."
"J- Jadi tadi lo sama Fandy??" Hanna tercengang.
"Iya." Fanny tersenyum. "Hanna? Kenapa wajah lo sekarang jadi merah?"
Hanna sontak menyentuh wajahnya, yang entah sejak kapan terasa panas. "K- Kayanya gue kepanasan."
"Oh ya Hanna, mumpung gue inget, gue mau nanya sesuatu nih sama lo."
"Nanya apa, Fanny?"
"Lo mau ikutan ekskul apaan nih?"
"Ekskul?" Hanna berpikir sejenak. "Entahlah, gue belum mikirin hal itu."
"Kalo gitu ikutan girls club aja, yuk!" ajak Fanny. "Nadia, Lexy, Stevia, Naomi, Calista, Dherysa, Lavender, mereka semua udah setuju loh buat ikutan!"
"T- Tapi Fan... gue ragu... apa gue bisa diterima? Tes girls club kan terkenal paling susah..."
Hanna berkata demikian karena girls club adalah ekstrakulikuler yang setara dengan OSIS, yang mempunyai tugas mengadakan berbagai event-event sekolah serta menanggung jawabi event tersebut. Karena itulah, tidak heran jika seleksi masuk girls club sangatlah ketat. Selain itu, seorang anggota girls club juga harus mempunyai watak berani bertanggung jawab, disiplin, dan tertib peraturan, apalagi tiap tahunnya girls club juga hanya membuka pendaftaran terbatas untuk 50 orang saja.
"Memang susah, tapi bukannya itu artinya ekskul itu memang berkualitas?"
"Iya juga, ya..." Hanna membenarkan.
"Tenang aja, Na! Kalo kita semua selalu kompak, gue yakin kita semua bisa lolos seleksi kok!"
"Kalo lo bilang begitu... gue ikut."
"Asyik!" Fanny memeluk Hanna dengan riang.
"Oke, sampe disini dulu ya? Gue harus segera ke tempat les, nih!"
"Jalan kaki?"
"Kalo gue nemu ojek, gue bakal naik ojek kok!" seru Fanny, sembari meninggalkan Hanna dengan setengah berlari.
Sepeninggal Fanny, Hanna tersenyum sendiri. Kehadiran seorang teman ternyata memang dibutuhkan dalam hidup kita. Setidaknya tadi ia sempat melupakan permasalahan yang dihadapinya.
"Hai Hanna, lama gak ketemu."
Hanna menoleh dan kini mendapati seorang lelaki berambut tipis tengah tersenyum padanya. "Gibran?"
"Wah! Ternyata lo masih inget nih sama gue!"
Hanna cukup surprise juga mendapati Gibran, teman sekelasnya kala SMP dulu bertandang ke SMA-nya. Padahal kabarnya, jarak sekolah Gibran berada cukup jauh dari sekolah Hanna. Hanna menduga, pastilah Gibran berada disini untuk sebuah alasan.
"Apa kabar lo, Na?"
"Baik."
"Hmm... Kok lo masih pelit ngomong kaya gitu, sih? Gue kira setelah SMA lo bakal jadi bawel," cetus Gibran, namun Hanna hanya menanggapinya dengan tersenyum kecil. "Yaah... lo ternyata memang gak berubah."
"Oh ya, lo kenapa kesini?" tanya Hanna penasaran.
"Gue cuma pengen ketemu sama lo aja. Gak tau juga kenapa, mendadak gue punya keinginan kuat buat segera ketemu sama lo. Dan syukurlah lo dengan mudah bisa langsung ditemukan," jawab Gibran. Kali ini Hanna tak menanggapi ucapan Gibran sedikitpun. Bahkan ia juga tidak tersenyum sama sekali.
Ia tahu, dulu Gibran adalah salah seorang siswa paling berandal di SMP-nya. Hanna masih bisa menoleransi apabila tingkah Gibran masih di ambang batas normal dan sewajarnya. Namun sayangnya, tingkah Gibran ini bisa dibilang keterlaluan. Ia merokok, membolos, membuat kegaduhan, menjadi ajudan bermuka dua pada beberapa penguasa sekolah, hingga lebih parahnya lagi ia dulu juga pengguna narkotika.
Waktu itu ia dan teman-temannya sempat berurusan dengan pihak berwajib karena kasus tersebut. Namun karena ia masih berstatus pelajar SMP, ia dan teman-temannya tidak mendapat hukuman berat. Ia dan teman-temannya hanya mendapat penyuluhan tentang bahaya narkotika dan kurungan penjara selama satu bulan.
Hanna tidak sudi mendekati, apalagi berteman dan berhubungan dengan orang seperti itu.
"Kenapa lo mau nemuin gue? Gue ada urusan apa sama lo?" tanya Hanna.
"Gak ada sih, gue cuma mau ngajakin lo ke suatu tempat."
"Maaf, gak dulu," tolak Hanna. Kini ia berharap sopir keluarganya cepat datang. Ia sudah tak betah berlama-lama di situasi seperti ini.
"Ayolah, Na. Masa lo gak kangen sama temen SMP lo ini?" bujuk Gibran.
Hanna kembali menggelengkan kepalanya. Gibran pun terkekeh, lalu perlahan mulai bersiul nyaring. Hanna pun langsung merasa was-was.
"Lo ngapain?" tanya Hanna curiga.
"Gak papa, gue cuma-"
"Hai cantik, masih inget gue?" tiba-tiba terdengar suara lelaki lain di belakang Hanna.
Hanna pun bergegas menoleh dan langsung mematung saking terkejutnya. "L- Lo...??"