Lareina: Lo yakin?
Leander: Yakin. Lo kenapa? Ragu lagi?
Lareina: Tapi lo yang tanggung jawab, ya!
Leander: Gak bisa dong! Kan yang ngelakuin kita berdua.
Rein menghela napas panjang membaca pesan terakhir Lean. Dia kembali bingung dengan kesepakatan yang semalam dia setujui. Menurutnya cukup berisiko. Tapi dia sudah terlanjur setuju dengan kesepakatan itu. Seketika ingatan Rein berputar ke kejadian semalam.
Usai makan malam Rein diajak Lean ke lantai atas. Rein berdiri di depan balkon. Tatapannya tertuju ke kolam renang dengan air yang tenang. Malam ini dia dikerjai Lean, atau pikirannya saja yang terlalu berburuk sangka? Entah. Lean mengajak Rein keliling rumahnya, tapi gadis itu menyangka yang tidak-tidak. Tapi Rein tidak bisa juga disalahkan, Lean sendiri yang bilang mengajak ke "kamar". Bagaimana Rein tidak berpikir yang aneh kalau diajak dengan cara seperti itu?
"Dia emang nyebelin," gerutu Rein sambil berpegangan di pinggiran balkon.
"Le!! Inget pesan mami. Jangan sembunyiin apapun dari mami."
"Iya, Mi!!"
Samar-samar, Rein mendengar suara gaduh dari lantai dua. Seketika jantungnya berdetak lebih kencang. Entah kenapa dia merasa Mami Lean yang membuat gaduh itu. Atau jangan-jangan Mami Lean tahu Rein ada di rumahnya?
"Nggak mungkin!"
Seketika Rein memutuskan menjauh dari balkon mencari tempat aman. Tapi dia bingung harus bersembunyi di mana. Malam ini dia benar-benar nekat ke rumah Lean. Dia berharap Dewi Fortuna memihaknya. Dia berharap Mami Lean tidak mengetahui keberadaannya.
"Lean mana, sih?" gumam Rein sambil bersandar di sisi pintu balkon.
Sejak lima menit yang lalu Lean meninggalkannya entah apa yang dilakukan. Rein melongok ke lorong lantai dua memastikan keadaan. Setelah tidak ada lagi suara gaduh itu, dia berjalan mendekat ke tangga sambil mengendap. Lalu Rein melongok ke bawah dengan pelan. Dari posisinya Rein melihat Lean dan maminya sedang terlibat perdebatan kecil.
Beberapa saat kemudian tatapan Rein bertemu dengan Lean. Rein mendapat kode dari lelaki itu agar menjauh lewat gerakan tangan. Rein pun menurut, dia menjauh dari tangga dan kembali ke balkon.
Rein berdiri dengan kaki gemetar. Berada di rumah musuh mamanya membuatnya ketakutan, seperti adu nyali. Dia takut Mamo Lean memarahinya dan berimbas dia dimarahi mamanya juga.
"Tidak!! Dimarahi mama-mama itu menakutkan."
Seketika Rein memejamkan mata, menghilangkan perasaan takut dan bayangan kemarahan mama-mama.
"Hei. Ngapain geleng-geleng gitu?"
Mendengar suara Lean, Rein langsung membuka mata. Dia menatap Lean yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu. "Mami lo mana? Le! Anterin gue pulang. Gue takut dimarahi mami lo." Rein mendekat ke Lean, menarik tangan lelaki itu agar mengabulkan ucapannya.
"Mami udah pergi lagi."
Mendengar jawaban Lean, Rein mendesah lega. Dia lalu kembali berdiri di pinggiran balkon. "Syukurlah. Gue sempet takut mami lo mergokin gue di sini. Terus gue dimarahin, mama gue tahu terus gue di marahin juga."
"Lo berpikiran terlalu jauh." Lean terkekeh melihat wajah ketakutan Rein.
Rein mengangguk pelan. "Gimana gue nggak parno, Le. Mama kita kan musuhan."
"Huh!" Terdengar helaan napas panjang. Rein menoleh, menatap Lean yang berdiri di sebelahnya dengan rahang mengeras itu.
"Lo pernah kepikiran nggak damaiin mama lo sama mami gue?"
Rein mengangguk, pernah berpikiran seperti itu. Dia lelah melihat mamanya yang telah berumur masih saja bertengkar layaknya anak kecil. "Tapi gue nggak tahu, Le gimana caranya. Apalagi risikonya gede."
"Risiko?"
"Ya. Kalau akhirnya mereka baikan, itu membuat keadaan lebih baik. Kalau mereka malah sebaliknya, lo bisa bayangin kan kekacauan yang mereka buat?"
Pandangan Rein bertemu dengan mata Lean. Rein melihat ada keyakinan di dalam bola mata itu.
"Gimana kalau kita damaiin mama kita?" ajak Lean cepat. Dia tersenyum, yakin Rein bisa diajak kerja sama hingga maminya tidak memiliki musuh lagi.
"Apa lo yakin, Le?"
"Kenapa enggak? Lo mau nggak?"
Rein berpikir sejenak. Dia ingin mamanya tak punya musuh lagi. Apa ini saatnya? "Hemm. Iya deh," jawabnya sedikit ragu.
Bayangan itu seketika menghlang dari benak Rein. Sejak percakapan itu, dia terus kepikiran. Dia tetap takut kalau masalah ini akan kembali rumit.
"Lareina!!"
Rein tersentak mendengar teriakan kencang itu. Dia mengalihkan pandang ke sumber suara dan melihat mamamya tengah bertolak pinggang. "Mama? Kok Mama di apartemen Rein?"
Pandangan Rein tertuju ke raut kesal mamanya. Bahkan wajah mamanya itu juga mulai berkeringat. Ah, dia pasti terlalu asyik melamun sampai tidak menyadari kehadiran mamanya.
"Apa yang kamu pikirkan, Rein?" tanya Sarah penuh selidik.
Rein tersenyum tipis. Entah kenapa dia menjadi deg-degan karena kehadiran mamanya. Dia takut mamanya tahu kalau semalam dia ke rumah Lean. Dia juga takut dengan rencana yang telah dia sepakati dengan Lean.
"Rein!! Kamu kenapa bengong?"
Lagi-lagi Rein tersentak mendengar ucapan mamanya itu. Buru-buru dia mengalihkan pandang sambil mencoba menghilangkan perasaan takut yang menyelinap di hatinya.
"Rein. Mama tanya ke kamu. Ada yang menganggu pikiranmu? Atau ada yang kamu sembunyikan dari Mama?" Sarah bingung dengan respons anaknya yang sangat lambat itu.
Mendengar pertanyaan yang mengandung kecurigaan itu, Rein buru-buru membela diri. "Rein cuma mikirin Miko. Dari semalem nggak bisa dihubungi," bohongnya.
"Mama kira kamu nyembunyiin sesuatu. Inget, apapun yang terjadi kamu harus selalu terbuka sama mama."
Drrt!!
Rein yang hendak menjawab ucapan mamanya, mengurungkan niatannya saat ponsel di genggamannya bergetar. Dia membuka pesan masuk itu yang ternyata dari Lean.
Leander: Gimana? Lo udah cari informasi dari mama lo?
Diam-diam Rein menghela napas panjang. Bagaimana mau mencari informasi? Belum apa-apa saja dia ketakutan. Rein perlahan menoleh ke mamanya. Semoga ada waktu yang pas untuk mengorek informasi.
***
Rein mengaduk makanannya dengan satu tangan lainnya menyangga dagu. Pikirannya berkelana saat dia di apartemen bersama mamanya. Dia tak mendapat informasi apapun dari mamanya. Bagaimana mendapat informasi, tanya saja tidak.
"Kenapa nggak dimakan? Nggak enak?"
Perlahan Rein mengangkat wajah, lalu menatap Miko yang duduk bersandar di depannya itu. Tatapan Rein lalu tertuju ke piring Miko yang telah bersih. "Enak kok. Tapi gue udah kenyang," bohongnya.
Seketika Rein mendorong piringnya menjauh dan kembali tertopang dagu. Kini dia menatap Miko yang hari ini mengenakan topi itu. Terlihat semakin tampan di mata Rein.
"Nah. Kenapa sekarang jadi bengong sambil natap aku?" Miko memajukan tubuh. Tangannya terulur ke wajah Rein dan mencolek hidung gadis itu dengan gemas.
"Emang nggak boleh ngeliatin pacar sendiri?" tanya Rein sambil mengerling.
"Hahaha." Miko terbahak. Dalam hati dia lega melihat Rein yang kembali tersenyum itu. Sejak kedatangan mereka di restoran, bisa dibilang Rein tak tersenyum sama sekali.
"Mik. Aku boleh minta pendapatmu?"
Satu alis Miko terangkat. Selama mengenal Rein, dia tak pernah dimintai pendapat. Miko lantas mengangguk. Dia melipat kedua tangannya di atas meja dan bersiap mendengar ucapan Rein.
"Apa?"
"Menurut kamu kalau aku damaiin mama sama mamanya Lean gimana?" tanya Rein dengan suara pelan.
Sepersekian detik Rein melihat keterkejutan dari wajah Miko. Rein mengambil jus jambunya dan menyeruputnya pelan, mengurangi rasa gugupnya. Tapi pandangannya tak lepas dari wajah Miko yang masih terlihat kaget itu.
"Kenapa kamu bisa berencana seperti itu?" tanya Miko setelah pulih dari keterkejutannya.
"Idenya Lean, sih."
Mendengar nama lelaki lain disebut, hati Miko sedikit sakit. Wajar bukan kalau dia cemburu? Apalagi ini Lean. Lelaki yang pernah mencium pacarnya, bahkan sampai tersebar di media. "Kalau kamu yakin ya udah jalanin. Kalau nggak yakin, jangan," jawab Miko diplomatis. Tidak mungkin dia melarang Rein dan menjadi pacar pengekang.
Rein manggut-manggut. Terkadang dia bingung dengan dirinya sendiri. Kadang dia sangat yakin, tapi kadang dia sangat ragu.
"Aku tahu kamu ragu," ucap Miko sambil tersenyum.
Tatapan Rein tertuju ke arah papan menu Apa dari wajahnya terlihat kalau dia sedang ragu? Gadis itu kemudian menghela napas. "Aku cuma takut kalau nggak berhasil, malah makin nambah kekacauan."
"Tapi kita nggak tahu kan berhasil atau tidaknya kalau belum dicoba."
Rein mengangguk lalu kembali menatap Miko sambil berpikir. Nanti malam dia akan bertemu Lean dan membicarakan rencana mereka. Karena itu sebelum bertemu Lean, Rein meyakinkan dirinya dulu dan membuat keputusan.
"Aku yakin, kamu pasti tahu apa yang terbaik buat kamu dan mama kamu." Miko menyeruput jus jambunya sambil mengeraskan rahang. Dia takut Lean mencari kesempatan saat menjalankan misi dengan Rein. Tapi dia tidak mungkin terang-terangan melarang Rein. Lelaki itu kemudian mengangkat wajah dan tersenyum miring. "Aku boleh nggak ikut misi itu?"
"Apa?" tanya Rein bingung. "Mik, aku nggak mau ngerepotin kamu."
Miko menggeleng tegas. Dia mengulurkan tangan dan Rein langsung menggenggam tangan itu. "Aku bakal bantu sebisaku. Demi mami kamu," jawabnya. Dan demi hati kamu.
Mendengar ucapan Miko, Rein tersenyum lebar. Tak salah dia berbagi cerita ke Miko. Apalagi Miko terlihat mendukung apapun keputusannya bahkan membantunya. "Semoga masalah ini cepet selesai, ya, Mik. Lama-lama aku nggak tenang."
"Semoga."
Rein memajukan tubuh. Tangan satunya menggapai wajah Miko dan mengusapnya lembut. Rein tersenyum, saat lelaki itu menatapnya dengan senyum memikatnya. "Makasih ya, Mik."
"Sama-sama. Kalau kamu butuh bantuan. Aku bisa bantu." Miko menggeratkan genggaman dan tersenyum kecil. "Tapi inget, ya, meski kerja sama sama Lean, kamu itu pacar aku."
Sontak Rein menjauhkan tangan dari wajah Miko. Gadis itu membuang muka dengan pipi memerah. "Belum-belum kamu udah cemburu, nih?"
"Iyalah!" aku Miko terang-terangan. "Belum lagi nanti di media ramai berita kamu sama Lean. Makin nggak bener nanti beritatnya."
Rein kembali menatap Miko sambil mengangkat jari kelingking. "Aku janji nggak aneh-aneh. Lagian mana mau aku sama Lean."
"Iya. Mending sama aku," jawab Miko sambil mengedip genit.
"Apaan, sih!" Tindakan Miko membuat pipi Rein semakin memerah. Tapi gadis itu tetap senang dengan godaan Miko. Dia berharap hubungannya dengan Miko akan seperti ini.