"Inget, ya, Rein. Kalau ada mak lampir itu kita langsung pergi."
"Iya, Ma."
"Itu juga berlaku buat anaknya. Kalau ada dia kita langsung pergi."
"Siap."
"Mama nggak mau kejadian ke marin terulang."
"Iya, Ma."
"Kamu dengar, kan, Rein?"
Rein memutar bola matanya lelah mendengar pertanyaan yang berulang-ulang itu. Bahkan dia bisa mengulang kalimat itu secara cepat, karena memang hafal di luar kepala.
Sore ini, mamanya kembali dengan sifat biasanya, cerewet. Terlebih jika itu menyangkut keluarga Lean. Sebenarnya Rein senang dengan kembalinya sifat mamanya ini, tapi di sisi lain dia lelah mendengar omelan mamanya yang itu-itu mulu.
Tring!
Pintu lift terbuka dan Rein membiarkan mamanya keluar lebih dulu. Setelah itu dia mengekor, berjalan dengan bahu sedikit merosot. Dia lelah tapi tidak ingin menunjukkan kemarahannya. Saat mama Rein menoleh, buru-buru dia menegakkan tubuh dan tersenyum tipis.
"Kita jadi ke mana, Ma?" Rein baru mengajukan pertanyaan saat sampai di depan lobi. Dia menatap mamanya yang meliriknya sekilas itu. Rein harus mencari tahu tujuan perjalanan mereka agar misinya dengan Lean tetap terlaksana.
"Beli ketan di alun-alun Batu. Keberatan?"
Mendengar jawaban itu Rein menghela napas lelah. Padahal dia hanya tanya, dijawab jutek seperti itu. Rein merasa mood mamanya belum kembali sepenuhnya. Ah, tapi kadang mamanya juga setiap hari seperti itu.
"Ayo, Rein kenapa kamu bengong!"
Seketika Rein tersentak. Dia melihat mamanya sudah duduk di dalam mobil sewaan mereka. Rein buru-buru mendekat, daripada kena amukan mamanya lagi.
Drtt!!
Tiba-tiba ponsel di saku celana Rein bergetar. Dia merogoh saku dan melihat satu pesan dari Lean. Diam-diam Rein melirik mamanya, takut ketahuan. Perlahan dia bergeser mendekat ke jendela dan membaca pesan itu.
Leander: Jadi pergi ke mana?
Rein melirik lagi, tidak ada tanda mencurigakan dari mamanya. Dia buru-buru membalas pesan itu.
Lareina: ke alun-alun Batu. Lo nyusul!
Setelah pesan itu terkirim, Rein menggenggam benda persegi panjang itu. Dia lalu pura-pura menatap ke luar jendela, menatap kerlap-kerlip lampu.
Drrtt!!
Tidak berapa lama ponselnya kembali bergetar. Rein melirik mamanya lagi dan mendapati mamanya sibuk menatap ke luar jendela.
Leander: Gue udah di tempat. Lagi makan ketan. Nanti kalau udah sampai kabarin.
Rein tersenyum membaca pesan itu. Dia merasa jalan untuk meyatukan mamanya dengan mami Lean berjalan mulus. Tadi pagi Rein tidak bertukar kabar dengan Lean. Awalnya dia merasa mamanya tidak ingin diajak keluar. Lalu saat menjelang petang, mamanya meminta keluar. Barulah saat itu Rein menghubungi Lean.
Sebenarnya ada alasan lainnya yang membuat Rein tidak menghubungi lelaki itu. Tentu karena kejadian semalam saat makan jagung di halaman samping hotel. Rein mendapat perhatian sederhana Lean, tapi entah kenapa begitu membekas.
Semalam Rein baru masuk kamar saat waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Dia tidak menyangka mengobrol plus mendapat gombalan dari Lean membuatnya lupa waktu. Membayangkan hal itu Rein senyum-senyum sendiri, apalagi saat ingat gombalan receh Lean.
"Ngapain senyum-senyum Rein?"
Seketika Rein tersentak. Dia buru-buru menghilangkan senyumannya setelah itu menoleh ke mamanya yang tengah menatapnya dengan pandangan menyelidik itu. "Nggak apa-apa, Ma. Inget kejadian lucu aja," jawabnya tidak sepenuhnya berbohong.
"Ayo keluar!" ajak Sarah setelah itu keluar lebih dulu meninggalkan Rein.
Selepas kepergian mamanya, Rein menyempatkan mengirim pesan ke Lean. Setelah itu dia turun dari mobil dengan ponsel di genggaman. Semoga nggak ada kekacauan.
Rein berjalan cepat menyejajarkan langkah dengan mamanya. Tatapannya menjelajah di mana posisi
Lean berada. Saat sedang sibuk mencari, ponselnya tiba-tiba bergetar. Rein buru-buru membuka pesan itu.
"Ma. Rein ke mobil bentar, ya. Ada yang ketinggalan."
Sarah yang sedang berjalan mendadak menghentikan langkah. Dia menatap Rein sedikit sebal. "Ya sudah cepat. Mama tunggu di pos ketan sana," ucapnya sambil menunjuk pos ketan yang sangat terkenal itu.
Rein mengangguk mantap. Dia buru-buru berbalik dan berjalan ke area alun-alun. Dari kejauhan dia melihat Lean berdiri membelakanginya. Rein berlari lalu menyentuh lengan lelaki itu. "Sekarang kita harus ngapain?"
***
Lean dan Rein memperhatikan dua orang yang tampak saling lirik itu. Rein diam-diam khawatir, kalau hal itu dibiarkan akan semakin membuat kekacauan. Sedangkan Lean, dia merasa maminya dan mama Rein terlalu datar. Hanya lirik-lirikan sejak sepuluh menit yang lalu.
"Kapan kita kayak gini terus, Le?"
Rein menegakkan tubuh, dia lelah hanya menunggu. Dia lalu berjalan ingin mendekati mamanya. Tapi pergelangan tangannya ditarik hingga dia kembali ke persembunyian, tepatnya di patung berbentuk strawberry.
"Jangan, dong," kata Lean memperingati.
Lean menggaruk tengkuk, sibuk mencari cara agar maminya dan mama Rein terlibat dalam sebuah pecakapan. Dia lalu menoleh ke maminya yang duduk di bangku taman-bangku yang bersebelahan dengan mama Rein itu.
"Rein. Lo ke sini tadi sama sopir, kan? Suruh sopir lo telpon mama lo. Suruh bilang kalau lo udah balik."
Satu alis Rein terangkat. Benar dia tadi pergi dengan sopir, tapi dia tidak punya nomornya. "Kan sopir dari rental, Le. Gue nggak tahu!"
"Sialan gue lupa!!" Lean menepuk kening.
Lean tidak habis pikir dengan mama Rein dan maminya yang betah saling melirik itu. Dia tadi memang sengaja mengajak maminya duduk di sana, lalu dia pergi meninggalkan maminya. Setelah itu, Lean meminta Rein agar menghubungi mamanya agar menunggu di dekat posisi maminya.
Drrtt!!
Ponsel di genggaman Rein tiba-tiba bergetar. Dia menunduk melihat nama mamanya muncul. Seketika dia mendongak menatap Lean yang menunduk ke arah ponselnya. "Gimana, Le?" tanyanya bingung.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Lean merebut ponsel. Tiba-tiba ide cemerlang muncul di pikirannya. Lean menggeser layar hijau lalu menempelkan ponsel itu di telinga.
"Halo, Rein!! Kamu ke mana saja?" terdengar suara Sarah.
"Maaf, Tante. Ini Lean. Rein pergi sama saya."
Rein melotot mendengar jawaban Lean. Kedua tangannya menarik tangan Lean yang memegang ponsel, tapi lelaki itu dengan cepat mengantisipasi.
Sedangkan Lean sibuk memperhatikan ke tempat Sarah. Terlihat wanita itu berdiri sambil menghentakkan kaki.
"Bagaimana bisa Rein pergi sama kamu, Lean? Kamu pasti paksa anak saya?"
"Maaf, Tante." Setelah mengucapkan itu Lean mematikan sambungan dan mengembalikan ponsel itu ke Rein.
Rein menarik ponsel itu dengan kasar. Dia lalu menatap ke arah mamanya yang sekarang berdiri di depan mami Atika itu. "Le!! Gawat. Mama gue nyamperin mami lo!!"
Lean tidak kaget dengan apa yang dia lihat di depannya, karena itu bagian dari rencananya. Beruntung mama Rein dengan cepat menghampiri mami Atika. Kalau tidak, mungkin Lean dan Rein hanya menunggu lirik-lirikan dua orang itu. "Kita lihat gimana mama kita."
Rein mengangguk pasrah. Sebenarnya dia tidak begitu suka dengan strategi Lean kali ini. Dia ingat dengan mood mamanya yang belum membaik. Pasti sebentar lagi ada perdebatan. Tak lama, perdebatan itupun terjadi.
"Anak kamu butuh didikan!! Bagaimana bisa dia maksa anak saya pergi!!" kata Sarah meluapkan emosinya.
Sarah sangat marah ke Rein. Dia sudah menunggu, tapi Rein pergi dengan Lean. Mumpung di bangku sebelah ada Atika, dia ingin meluapkan semua kekesalannya ke mantan sahabatnya itu.
Atika yang sebelumnya sibuk mengamati pengujung yang berlalu-lalang seketika mendongak. Dia menatap Sarah yang diluputi emosi itu, terlebih langsung memaki anaknya. Atika tidak mau tinggal diam. Dia berdiri dan menatap Sarah tak kalah tajam. "Enak saja kamu ngomong! Anak saya lagi pergi beli makanan!! Bukan pergi sama anak kamu!!"
"Alah!! Alesan!! Emang dasar penghianat pasti banyak alasan!!"
"Berani, ya, kamu bicara seperti itu!!"
Tanpa sadar Atika mendorong bahu Sarah. Dia sangat marah dikatai sebagai penghianat. Tindakan Atika semakin menyulut emosi Sarah. Sarah tak mau tinggal diam, dia balas mendorong Atika.
"Memang kenyataannya seperti itu!! Kamu itu penghianat!! Kamu yang merusak hidupku!!" maki Sarah di depan wajah Atika.
Rein dan Lean menatap kedua orang itu dengan ngeri. Mereka tidak menyangka dua orang itu akan bertengkar dengan aksi saling dorong. Rein lalu menatap Lean kesal. "Strategi lo parah, Le. Mereka bukannya damai malah kacau."
Lean menoleh dan mengangguk mengakui kesalahannya. "Gue bingung, Rein harus gimana. Mereka itu sulit banget diajak damai!"
"Aw!!"
Jeritan itu membuat Lean dan Rein menoleh. Di sana Sarah tengah jatuh terduduk. Emosi Rein seketika memuncak dia menatap Lean dengan mata memicing. "Le! Gue mau udahan. Nggak usah ada misi nyatuin mama gue sama mama lo. Akibatnya kayak gini."
"Rein! Gue minta maaf."
Rein tidak menggubris ucapan Lean. Dia berlari mendekati mamanya yang sekarang di kerumuni banyak pengunjung itu. Dia tidak akan terima kalau mamanya sampai kenapa-napa. "Ma ayo kita pulang!!"
"Kamu dari mana, sih, Rein?" geram Sarah sambil berusaha berdiri.
"Nggak dari mana-mana." Rein menuntun mamanya dengan perasaan bersalah. Saat melewati Atika, dia hanya melirik sekilas kemudian pura-pura menatap depan.
"Rein!!"
Panggilan itu membuat Rein menoleh, Lean masih berdiri di samping patung dan menatapnya sendu. Rein seketika membuang muka, kecewa dengan tindakan spontan Lean tadi.
"Jadi beneran kamu habis jalan sama dia?" tanya Sarah setalah melihat sosok Lean.
"Udah, Ma, jangan bahas itu." Rein terus menggandeng mamanya hingga mereka sampai parkiran.
Di posisinya Lean mengacak rambut frustrasi. Strategi menyatukan malah gagal total. Dia yakin Rein pasti semakin sulit diajak kerja sama. "Shit!!" makinya.
Drrt!!
Ponsel di saku celana Lean tiba-tiba bergetar. Dia merogoh saku dan melihat nama mamanya muncul. Tanpa mengangkat panggilan itu Lean keluar dari persembunyiannya. Dia langsung duduk di samping maminya kemudian duduk bersandar.
"Bener kamu habis jalan sama Rein?" selidik Atika.
Lean mengangguk pelan. "Sorry, Ma."
"Kenapa, sih, kamu sekarang nggak pernah mau nurut?" Atika menatap anaknya penuh selidik. Sejak gosip itu, dia merasa Lean semakin dekat dengan Rein.
"Udah, Ma, jangan dibahas," pinta Lean lelah.