"Jadi kamu mau kencan sama Lean?"
Rein menatap ponselnya yang ada di tangan Miko. Raut wajahnya berubah sebal karena dengan lancang Miko mengambil ponsel dari tasnya. Rein paling tidak suka semua privasinya diotak-atik orang lain.
Seketika Rein mendekat, dan melupakan pertanyaan Miko barusan. Dia lalu merebut ponsel itu dari tangan Miko. "Ngapain kamu ngambil ponselku, Mik?"
Miko terbelalak mendengar pertanyaan itu. "Rein! Kita bahas masalah Lean, bukan masalah ponsel," jawab Miko dengan menaikkan nada suaranya.
Napas Rein memburu, sama sekali tidak tahu apa maksud ucapan Miko. Rein membuka ponsel dan melihat chat masuk dari Lean.
Leander: Nanti kita ketemu bahas yang kemarin
Leander: Sekaligus kencan ya. Hihihi. Bercanda.
Rein tidak merasa ada yang aneh dengan chat itu. Tapi Miko terlihat marah? Rein lalu menatap Miko. "Mik. Ini chat biasa."
Miko mengalihkan pandang dengan napas naik turun karena emosi yang menguasainya. Miko menarik napas pelan, lalu mengembuskan dari mulut. "Chat itu biasa aja kalau bukan dari Lean, Re."
Rein memilih duduk di sebelah Miko sambil memijit pelipis. Dia tidak tahu apa yang membuat Miko mempermasalahkan ini. Sebelumnya Miko tidak pernah seperti ini, apalagi marah-marah hanya karena chat. "Kamu ada masalah sama Lean sampai kamu jadi kayak gini?"
Tatapan Miko kembali ke Rein. Dia mendapati raut Rein yang terlihat biasa saja. Hal itu membuat Miko marah. Tidak tahukah pacarnya kalau dia sedang cemburu? "Aku nggak suka kamu deket, Lean!!"
Mata Rein terbelalak. Kenapa Miko sama seperti mamanya yang tidak suka jika dia berdekatan dengan Lean? Rein menggeleng tak percaya. "Lo kenapa sih, Mik? Lo tahu, kan, gue sama Lean cuma temenan. Gue sama dia mau damaiin mama gue," jelasnya meminta pengertian.
Miko mengusap wajah lelah. Awalnya dia memang mengizinkan Rein berdekatan dengan Lean. Tapi sekarang dia merasa dirinya terancam dengan kedekatan Rein dengan Lean. Terlebih saat menyadari jika Lean menyukai Rein. "Bisa lo berhenti dari misi nggak jelas lo itu demi gue?"
Rein tersentak mendengar pertanyaan itu. Terlebih di kalimat "misi nggak jelas" entah kenapa itu terasa sebagai hinaan. Bagi Rein, misinya dengan Lean demi kebaikan mama mereka. Tidak ada misi nggak jelas yang dimaksud Miko. "Gue nggak tahu, Mik lo kenapa. Sekarang gue ngerasa lo udah nggak kayak dulu."
"Lo juga nggak kayak dulu, Rein!!"
Miko menjawab dengan berteriak. Membuat Rein di depannya berjingkat dengan raut kaget. Miko lalu menatap Rein meminta pengertian. "Lo sadar nggak sih, gue takut lo suka Lean."
"Lo nggak perlu mikir aneh-aneh, Mik!"
Satu alis Miko tertarik ke atas. "Gimana gue nggak mikir yang aneh-aneh? Sekarang lo deket sama Lean, bahkan chat-an sama dia. Lo pernah liburan bareng dia. Lo ada projek video clip buat dia. Gimana gue nggak mikir aneh-aneh. Siapa tahu lo di sana mesra-mesraan sama Lean," jawabnya panjang.
Perlahan Miko mengalihkan pandang lalu melanjutkan kalimatnya. "Atau kalian udah selingkuh?"
Seketika Rein berdiri. Dia tidak tahu lagi dengan jalan pikiran Miko. Awalnya Miko memang menyetujui misinya dengan Lean, tapi kenapa sekarang malah menuduh yang tidak-tidak? Hati Rein sakit mendengar tuduhan tidak berbobot seperti ini.
"Lo lagi banyak pikiran, Mik. Jangan ngomong sama gue dulu." Setelah mengucapkan itu Rein memilih meninggalkan Miko dengan mata berkaca-kaca. Dia masih tidak habis pikir dengan apa yang di pikiran Miko. Seorang pacar seharusnya mendukung dan memercayai setiap tindakan positif pacarnya. Bukan malah mencurigai.
"Rein... Kita putus aja!"
Ucapan Miko membuat langkah Rein terhenti. Seketika air mata itu lolos membasahi pipi Rein. Perlahan dia menoleh dan mendapati Miko masih duduk di posisinya dengan tatapan menerawang. Rein tersenyum miring. Lelaki itu dengan mudah memilih putus, padahal ini hanya masalah sepele. "Tenangin diri lo dulu, Mik."
Miko masih diam di posisinya dengan dada yang mulai terasa sesak. Dia memang tipe lelaki pencemburu. Melihat Rein lebih dekat dengan Lean membuatnya naik pitam. Terlebih adegan di lorong parkiran. Ya, Miko menyaksikan saat Rein dan Lean bercanda, Lalu Rein memeluk dan Lean mencium pipi Rein. Apa salah kalau Miko cemburu?
***
"Bos! Ponsel lo dari tadi bunyi."
Lean yang baru turun dari panggung seketika mengalihkan pandang ke Ocit—asistennya. Dia mendekat, dan mengambil tasnya. Buru-buru Lean membuka ponsel, takut ada hal yang buruk yang terjadi.
Saat melihat benda itu, Lean melihat panggilan tidak terjawab dari Rein. Satu alis Lean terangkat, tidak biasanya Rein menghubungi seperti ini. Lean hendak melakukan panggilan, tapi nama Rein muncul di ponselnya. Dengan cepat Lean menggeser warna hijau dan mengangkat panggilan itu. "Halo, Rein ada apa."
"Halo, Mas Lean. Ini Ovi, Mas."
Lean mengernyit. Kenapa malah asisten Rein yang menghubunginya? "Ada apa ya, Vi?" tanyanya berusaha tenang padahal rasa cemas itu sekarang mulai menggerogotinya.
"Mas bisa ke Paradise Club? Rein mabuk, Mas. Saya nggak tahu harus minta tolong siapa."
Seketika Lean beranjak dari posisinya. Saat sudah sampai lima langkah, dia menoleh ke Ocit yang mengikutinya. "Lo balik sendiri bisa, kan? Mobil gue pakai."
"Oke, Bos," jawab Ocit melihat kepanikan bosnya itu.
"Gue ke sana, Vi. Tunggu bentar." Lean berlari ke parkiran. Tak lama panggilan itu terputus. Lean memasukkan ponsel saku, dan mengambil kunci mobilnya.
Di pikirannya sekarang sibuk memikirkan Rein. Bagaimana bisa gadis itu mabuk? Sejak tadi pagi mereka tidak bertukar sapa, karena pesan Lean yang tidak dibalas oleh Rein. Awalnya Lean memang mengajak bertemu tapi tidak ada tanggapan apapun dari Rein. Jadi Lean mengira Rein sedang sibuk. Ternyata dugaannya salah, Rein malah mabuk.
"Lo kenapa sih, Rein?" gumam Lean sambil melajukan mobilnya.
Kedua tangan Lean mencengkeram kemudi. Dia sangat panik, dalam hati dia berdoa agar Rein baik-baik saja.
Sejam kemudian, Lean sampai di Paradise Club. Dia keluar mobil lalu berlari masuk. Suasana kelab tampak ramai. Kondisi ruangan dengan minim penerangan membuat Lean kesulitan mencari keberadaan Rein.
Pertama Lean memilih ke arah kiri. Dia berjalan sambil pandangannya menyapu ke penjuru kafe. Sejauh mata memandang, dia tidak menemukan keberadaan Rein. Lean lalu berbalik, memutuskan mencari ke arah kanan. Baru beberapa langkah, dia melihat Ovi sedang sibuk menutup wajah Rein dengan sebuah syal. Buru-buru Lean mendekati Ovi. "Dia kenapa?"
Ovi mendongak, lega melihat Lean berdiri di depannya. "Dia mabuk, Mas. Mas bisa tolong saya bantu Rein pulang?"
Lean mendekat ke Rein, menyentuh rambut itu dan mengusapnya lembut. Dia masih tidak mengerti apa yang membuat Rein memilih mabuk-mabukan seperti ini. Lean lalu menunduk, menarik Rein ke gendongannya dan berjalan keluar.
Di belakang Lean, Ovi berjalan tergesa-gesa untuk menyamai langkah Lean.
"Vi. Bisa bukakan pintu?"
Ovi dengan sigap membuka pintu depan penumpang. Dia menatap Rein yang terlihat pulas dalam gendongan Lean itu. Setelah Rein masuk, Ovi berjalan ke pintu belakang dan duduk di sana.
Lean masuk dan menoleh ke arah Rein. Sekarang dia bisa melihat jelas wajah Rein yang tampak kacau dengan eyeliner yang telah luntur. Tatapan Lean lalu tertuju ke bawah mata Rein yang bengkak itu. "Dia habis nangis?" tanyanya sambil menoleh ke Ovi.
Ovi mengangguk. Dia tadi sempat mendengar pertengakaran Rein dengan Miko. Keadaan lokasi syuting tadi sangat tegang. Apalagi saat Rein dan Miko satu frame. Mereka sering mengucapkan dialog dengan nada tinggi, hal yang tidak sesuai dengan apa yang ada di naskah. "Saya kasihan, Mas ke Rein. Dia baru putus sama Miko."
Lean hampir saja menginjak rem mendengar kalimat itu. Dia lalu melajukan mobil dengan hati-hati. Dia mendongak ke spion tengah untuk menatap Ovi sejenak. "Putus? Kenapa bisa?"
Ovi terdiam, bingung harus menjawab bagaimana. Apalagi yang dia dengar penyebab putusnya Rein dan Miko adalah tentang Lean. "Emm..."
"Bilang ke saya. Siapa tahu saya bisa bantu," ucap Lean.
Kedua tangan Ovi memilin tas selempang milik Rein. Di sisi lain dia ingin Lean membantu masalah Rein dan Miko. Tapi di sisi lain Ovi takut Lean tersingung.
"Vi. Jawab pertanyaan saya!" ucap Lean pelan tapi sarat perintah.
"Miko cemburu ke Mas Lean."
Cit...
Lean tanpa sengaja menginjak rem. Dia lalu melajukan mobilnya dengan pelan. Lean menarik napas panjang, menenangkan dirinya yang masih kaget. "Miko cemburu? Terus Miko yang mutusin?"
Ovi mengangguk. "Iya. Miko nuduh Rein selingkuh sama Mas Lean. Ovi kasihan lihat Rein. Dia sering dituduh yang enggak-enggak sama orang sekitarnya."
Lean mencengkeram kemudi dengan erat. Sialan lo Mik!! Lean emosi dengan Miko. Bagaimana bisa Miko menuduh Rein yang tidak-tidak.
***
Bugh!!
Tubuh Miko terhuyung saat merasakan tonjokan kuat di rahangnya. Seketika tangannya memegangi rahang yang berdenyut. Miko lalu menoleh hendak memaki orang yang tiba-tiba memukulnya itu. Saat melihat Lean yang berdiri, Miko tersenyum sinis. "Udah gue tebak kalau lo bakal nemuin gue!"
Lean menatap Miko dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya. Sepulang dari mengantar Rein, Lean kembali turun untuk mencari Miko. Dia cukup tahu tempat nongkrong Miko. Sekarang, Lean berhasil memukul Miko. Hal yang ingin dia lakukan sejak mengetahui fakta dari Ovi. "Lo cinta nggak, sih, sama Rein? Kalau cinta lo nggak bakal nyakitin dia dengan nuduh yang enggak-enggak!!"
Miko tersenyum miring. Dia merasa Lean munafik yang sok memarahinya, padahal dalam hati, Lean pasti senang. "Harusnya lo seneng denger gue putus sama Rein. Jadi lo bisa deketin dia."
Mendengar jawaban itu, Lean naik darah. Dia mendekat hendak melayangkan tonjokkan ke wajah Miko. Tapi Miko dengan cepat mengantisipasi dengan menyentak tangan Lean.
"Udahlah, Le. Ngaku aja lo seneng, kan? Eh harusnya senengnya dari dulu. Kan, kalian selingkuh."
Mata Lean membulat mendengar kalimat itu. "Meskipun gue tertarik sama Rein, gue nggak ada niatan buat jadi selingkuhannya."
"Udahlah. Lo ambil Rein sono! Kalian sama kok. Sama-sama egois!"
"Lo ngaca!! Lo juga egois!!"
Miko tersenyum miring lalu mengangkat bahu tak acuh. Sejak tadi dia berpikir tentang hubungannya dengan Rein. Selama ini, mereka kurang komunikasi dan saling terbuka. Miko merasa selalu menjadi sosok pemberi. Memberi perhatian, memberi kabar dulu, sedangkan Rein hanya menjadi sosok penerima. Selain itu Miko merasa, dia tidak sepenuhnya mendapat hati Rein. "Kalau lo cinta sama Rein, lo ambil dia."
Lean menatap Miko tak percaya. Dia sama sekali tidak tahu jalan pikiran Miko. "Lo kenapa, sih? Nggak biasanya lo kayak gini."
"Kenapa? Semua orang bisa berubah, kan?" Setelah mengucapkan itu Miko memilih menjauh dari Lean. Dia butuh waktu untuk sendiri. Dia menyadari dirinya memang aneh. Tadi siang dia tidak menyukai Rein dekat dengan Lean. Tapi malam ini, dia menyuruh Lean untuk mengambil Rein. Entahlah Miko sekarang bingung dengan perasaannya sendiri. Atau sebenarnya tidak mencintai, Rein? hanya sekadar perasaan nyaman yang dia artikan dengan perasaan cinta?