Rein menggeliat lalu mulai merasakan kepalanya terasa berat. Perlahan tangannya terangkat menyentuh kepala dan memijitnya pelan. Rein mencoba mengingat apa yang terjadi hingga kepalanya sakit seperti ada yang melemparinya batu.
Tak lama Rein ingat apa yang membuatnya jadi seperti ini. Pertengkarannya dengan Miko kembali menyeruak. Lalu Rein terlalu lelah hingga memilih ke kelab dan mabuk-mabukan.
Tes...
Tanpa sadar air mata Rein turun. Dadanya sesak saat bayangan pertengkaran itu tergambar jelas. Tuduhan yang tidak beralasan membuat hatinya sakit. Rein sempat berpikir atau dirinya yang salah karena tidak menghargai perasaan Miko? Tapi sejauh apapun berpikir, Rein merasa tidak bersalah. Apa jika pacaran harus menjauh dari lawan jenis?
Rein tersenyum sinis. Dia tidak bisa seperti itu. Dulu saja saat melihat Miko dengan Nesya beradegan mesra dan dia cemburu, Miko malah meminta profesional. Tapi sekarang? Miko yang bertindak seperti itu.
"Hiks!" Rein terisak pelan.
Ceklek...
Terdengar suara pintu terbuka membuat Rein menoleh dan mendapati Lean berdiri di sana. Rein tersentak, menyadari kehadiran Lean. Buru-buru Rein mengubah posisinya hingga duduk bersandar di kepala ranjang. "Kenapa lo di sini, Le?"
Lean tersenyum tipis. Setelah semalam menemui Miko, dia kembali ke apartemen Rein. Beruntung Ovi masih di apartemen, lalu memutuskan untuk menjaga Rein. Semalam dia tidur di sofa, sambil sesekali menengok ke kamar Rein. "Gue mau nemenin lo. Gue udah tahu semuanya kok."
Rein menghapus air mata di pipi dengan punggung tangan sambil menatap Lean dengan tatapan bingung. "Maksud lo?"
Perlahan Lean duduk di sebelah Rein. Dia memperhatikan mata Rein yang bengkak itu. "Kemarin lo mabuk, terus Ovi hubungin gue. Ovi sempet cerita kalau lo berantem sama Miko. Bener kayak gitu?"
Buru-buru Rein mengalihkan pandang. Sekarang dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dua kali Lean melihatnya dalam keadaan kacau seperti ini. Perlahan Rein kembali menghadap Lean. "Makasih ya lo semalem udah nolongin gue. Gue sekarang nggak apa-apa kok. Lo bisa pergi."
Lean tidak merasa kalimat Rein sebagai pengusiran. Dia menarik tangan Rein dan menggenggamnya erat. "Gue tahu lo nggak baik-baik saja. Lo butuh temen curhat? Lo bisa cerita ke gue."
Mendengar kalimat itu, air mata Rein turun. Kenapa harus Lean yang selalu siaga saat dirinya sedang sedih? Tanpa bisa dicegah, Rein terisak. "Hiks...."
Melihat Rein menangis, Lean beringsut mendekat. Dia memeluk Rein dan menyandarkan kepala gadis itu di dadanya. Kedua tangan Lean tak henti mengusap punggung Rein naik turun. "Tenang, Rein."
"Kenapa gue selalu dituduh yang enggak-enggak, Le?" Rein mulai mencurahkan isi hatinya. Pertama dia dituduh oleh mami Lean, kemarin dia dituduh pacarnya sendiri. Rein tidak tahu dia punya dosa apa sampai ditunduh yang tidak-tidak.
"Nggak usah dengerin omongan Miko. Dia kalau udah cemburu nggak pikir panjang. Gue kenal banget sama dia."
Perlahan Rein mengurai pelukan dan menatap Lean. "Menurut lo Miko cemburu? Tapi kenapa dia nuduh gue yang enggak-enggak, Le? Bahkan dia minta putus."
"Huh..." Lean menarik napas panjang.
Sial!!
Sebenarnya Lean sangat enggan membahas masalah Miko, tapi mau bagaimana lagi dia harus menenangkan Rein. "Miko emang kayak gitu. Itu juga berlaku ke orang lain. Kalau dia udah marah, dia nggak segan buat ngomong yang enggak-enggak. Itulah kenapa gue sempet bilang ke lo ati-ati dan jangan sampai sakit hati."
Rein terdiam. Dulu dia merasa maksud ucapan Lean karena Miko playboy. Ternyata ini maksud hati-hati itu. Rein beringsut kembali memeluk Lean saat kepalanya mulai terasa berat. "Gue harus ngapain, Le? Jelasin semuanya ke Miko jelas percuma."
Satu tangan Lean mengusap rambut Rein lembut. "Cukup diemin aja. Biar Miko mikir sendiri."
"Hiks. Gue sedih, Le."
Lean menangguk paham. Andai Rein tahu ucapan Miko semalam, mungkin Rein semakin sakit hati dengan Miko. Lean hanya bisa mengeratkan pelukannya. Sekarang yang harus dia lakukan adalah menenangkan Rein. Itu saja. "Tenang, Rein. Semua akan baik-baik saja. Tapi gue minta lo berhenti nangis, ya."
Rein diam tidak menanggapi. Sebenarnya dia tidak ingin menangis, tapi air matanya jatuh dengan sendirinya. Rein menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Tak lama dia kembali tenang. "Makasih ya, Le. Lo udah dengerin cerita gue."
Lean mengurai pelukannya. Kedua tangannya menangkup pipi Rein lalu ibu jarinya menghapus sisa air mata di pipi Rein dengan lembut. "Sama-sama, Rein."
"Lo emang temen gue, Le."
Lean tersenyum kecut. Teman? Tapi mau bagaimana lagi, kenyataannya memang seperti itu.
***
Genggaman tangan itu semakin erat. Rein menunduk, menatap tangan Lean yang melingkupi tangannya. Rein diam tidak memrotes. Dia memilih berjalan beriringan bersama Lean dengan tangan saling menggenggam.
Sepanjang hari, Rein hanya di apartemen. Dia meminta izin tidak syuting, mengingat matanya masih bengkak karena terlalu banyak menangis. Di apartemen, Rein habiskan dengan tidur. Sambil beberapa kali mengangkat panggilan Lean yang menanyakan keberadaannya.
Menjelang malam, Lean datang ke apartemen untuk mengajak Rein keluar. Rein yang sudah bosan berada di dalam apartemen menyetujui lelaki itu. Sekarang mereka sedang ada di salah satu restoran tidak jauh dari apartemen mereka.
Rein membenarkan letak kaca matanya. Dia tidak ingin keluar dengan mata bengkak. Ditambah dia keluar bersama Lean, dia tidak ingin ada yang memergoki bahkan sampai tersebar di media.
"Duduk di sana gimana?" Lean menunduk dengan satu tangan menunjuk ke tempat yang menurutnya sedikit aman. Dia melihat Rein yang mengenakan kaca mata itu. Sebenarnya Lean tidak suka melihat Rein berkaca mata, dia tidak bisa menatap bola mata gadis itu. Tapi sekarang, mereka harus melakukan itu.
"Ya udah, yuk! Cepetan gue udah laper." Rein menarik tangan Lean dan berjalan lebih dulu ke meja yang paling dekat dengan pintu dapur.
Di belakang Rein, Lean tersenyum lega. Sejak pagi, ekspresi Rein cenderung datar. Lean merasa kehilangan Rein yang ekspresif. "Lo mau pesen apa, Rein? Gue yang bayar."
"Beneran? Gue makannya banyak lho," goda Rein.
Lean mengangkat bahu acuh. Dia sanggup membelikan banyak makanan untuk Rein. Bahkan membelikan restoran ini Lean sanggup. Oke ini agak sombong.
Beberapa menit setelah mereka pesan makanan, mereka duduk diam. Tanpa mereka sadari, mereka saling menatap dari balik kaca mata gelap mereka. Lean menatap Rein sedih. Hatinya sakit saat ingat kata "teman" keluar dari bibir Rein. Bahkan saat Lean kerja tadi, dia sempat tidak fokus hanya karena ingat kata itu.
Sedangkan Rein, dia menatap Lean dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada perasaan bersyukur yang menyelinap di hatinya, karena Lean selalu menenangkannya. Rein mengalihkan pandang saat perasaan nyaman itu muncul. Dia tidak ingin berpikir lebih lanjut. Masalahnya dengan Miko saja belum selesai. Dia tidak ingin Miko semakin menuduhnya yang tidak-tidak.
"Rein. Kalau dilihat-lihat lo emang cantik, ya."
Kalimat Lean membuat Rein duduk tegak. Dia melihat senyum menggoda Lean itu. Seketika Rein mendengus. Lean kumat. "Le. Kalau dilihat-lihat lo nggak ganteng."
Lean terkekeh mendengar jawaban itu. Dia menarik tisu, mengepalnya kuat lalu melemparnya ke Rein. "Gue nggak ganteng aja kayak gini. Gimana gantengnya, Rein."
"Haha..." Mau tidak mau Rein terbahak. Lelaki di depannya kembali dengan percaya dirinya. Rein mengambil tisu, mengepalnya kuat dan melemparnya ke Lean. Tapi sayang, lemparannya meleset. "Kok bisa gitu gue punya temen dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi kayak lo."
Temen lagi. Lean membatin. "Ati-ati, Rein. Lo terpesona sama kegantengan gue."
"Harusnya lo yang ati-ati, terpesona terus jatuh cinta sama gue."
Nggak perlu hati-hati, gue udah terpesona. jawab Lean dalam hati. Tapi lain di mulut lain di hati. Lean terkekeh mendengar ucapan Rein, meski hatinya sebenarnya sakit. "Rein. Kadang gue mikir, sebenernya wajah lo nggak judes-judes amat. Tapi kenapa lo selalu dapet peran antagonis?"
Rein mendengus. Nggak judes-judes amat? Kalimat Lean seolah memberikan penilaian jika Rein judes. Dia mengalikan tatapannya sejenak lalu kembali menatap Lean. "Lo tahu. Kadang jadi peran antagonis sekaligus ngeluapin emosi gue."
"Kenapa gitu?" Lean tampak tertarik dengan jawaban Rein.
"Gue sebel, Le, sama keluarga gue yang lebih sering di luar rumah. Yah alasannya itu semua buat gue. Tapi waktu gue kecil, gue suka iri ngeliat temen-temen gue yang bisa kumpul sama keluarganya," cerita Rein.
Rein menunduk mengingat masa kecilnya yang sering di tinggal mamanya. Dulu mamanya masih aktif dengan dunia modeling. Sekarang, mamanya sering travelling. Memang mereka tetap dekat, tapi jelas ada yang beda.
"Jadi lo ngeluapin kemarahan lo dengan akting jadi peran antagonis?"
Lean tidak bisa melihat mata Rein dengan jelas. Tapi menurutnya, Rein pasti sedih saat menceritakan ini. "Udah ah jangan cerita sedih-sedihan. Gue nggak mau lo nangis lagi. Cantik lo berkurang, Re."
Rein yang berkaca-kaca mendadak terkekeh mendengar kalimat itu. Dia menatap Lean sambil tersenyum. Sunguh Rein tidak menyesal memiliki Lean sebagai temannya. Yah, meski awalnya Lean sangat menyebalkan.
"Makasih ya, Le. Lo selalu bikin gue senyum," ucap Rein tulus.
"Ehm!!"
Dehaman itu membuat Rein dan Lean menoleh ke sumber suara. Mereka melihat seseorang berdiri di sebelah meja dengan kedua tangan terlipat di depan dada.