Dua puluh menit berlalu sejak break karena Rein ganti kostum. Lean duduk di kursi pantai dengan kipas di tangan kiri sambil menatap ke laut lepas. Dia berharap proses syuting kali ini lancar. Kayaknya ngajak makan malem nggak ada salahnya, pikirnya.
"Rein udah ke sini belum?"
"Nggak ada!!"
Suasana tenang itu mendadak berubah saat mendengar beberapa suara kru yang mulai panik. Lean merasa sedikit terganggu dengan suara bising itu. Dia menoleh ke tempat kru untuk mencari tahu sumber kebisingan itu. "Ada apa, sih!!" teriaknya.
Beberapa kru menoleh, termasuk Ovi. Gadis itu mengigit kukunya cemas. Dia lantas berjalan mendekati Lean yang masih duduk di kursi pantai itu. "Rein ngilang."
Mendengar jawaban itu, sontak Lean bangkit. Dia menatap Ovi intens, mencari kebohongan dari gadis berkulit sawo matang itu. Tapi yang terlihat adalah kecemasan yang kentara. "Kok bisa? Sebelumnya dia di mana?"
Ovi menunduk takut. Dia tadi keluar sebentar sekalian mengambil makanan untuk Rein. Tapi setelah dia kembali ke ruangan, bukan Rein yang ditemui tapi mami Lean. Ovi merasa ada sesuatu yang terjadi. "Sebelumnya saya mau minta maaf kalau saya lancang," ucapnya sambil menunduk.
Lean memiringkan wajah dan menatap raut Ovi yang ketakutan itu. "Apa maksudmu?"
Perlahan Ovi mengangkat wajah. Dia menatap Lean sambil sesekali mengigit bibir bawahnya. "Tadi saat saya ke ruangan Rein, di ruangan ada Tante Atika. Tapi Rein sudah nggak ada di sana."
"Mami!!" Lean menggeram sambil mengacak rambut frustrasi. Dia merasa maminya telah berbicara yang aneh-aneh ke Rein. "Sekarang lo tahu di mana mami gue?" tanyanya.
"Di ruangan Mas Lean."
Lean buru-buru berlari menginggalkan pantai. Dia ingin mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Beberapa kemudian Lean sampai di sebuah kamar yang dijadikan tempatnya beristirahat. Lean melihat maminya sedang duduk di sofa dengan tabloid di pangkuan.
"Kenapa kamu lari-lari seperti itu, Le?" tanya Atika setelah mengalihkan pandang ke Lean.
Perlahan Lean mendekat dan memilih duduk di sebelah maminya. Dia memperhatikan maminya yang terlihat santai itu. "Mi. Bener gara-gara Mami, Rein kabur?"
Drama queen, batin Atika. Dia menutup tabloid di pangkuannya lalu menatap Lean sekilas. "Bukan salah mami dia kabur."
Lean tersenyum tipis. Secara tidak langsung memang gara-gara maminya Rein kabur. Dia hafal bagaimana sifat maminya. Jika sedang menutupi sesuatu, tidak pernah mau menatap lawan bicaranya, seperti sekarang.
"Mi. Apa yang mami lakuin ke Rein sampai dia kabur kayak gitu?"
Sudut bibir Atika tertarik ke atas. Sejak berkenalan dengan Rein, Lean selalu berusaha melindungi gadis itu. Sebelumnya, Lean adalah sosok yang cuek, dan tidak mau ikut campur masalah orang lain. Bagi Atika, Lean yang ada di depannya bukan lagi Lean yang dulu. "Mami nggak ngapa-ngapain. Cuma ngasih peringatan biar dia gak ganggu kamu dan ngerusak karier kamu."
Seketika Lean berdiri sambil menatap maminya kaget. Apa benar sosok di depannya adalah maminya? Sebelumnya maminya tidak pernah bersikap seperti ini. "Mi. Lean ngerasa ini bukan mami. Lean tahu mami ada dendam ke Tante Sarah. Tapi nggak pernah nuduh Rein yang enggak-enggak, Mi."
Atika mendongak, membalas tatapan tajam Lean itu. "Mami ngerasa kamu bukan Lean yang dulu. Sekarang kamu lebih belain Rein daripada denger omongan mami."
Lean mengusap wajah lelah. Harus bagaimana caranya agar mami mau berubah? Rasanya dia sudah kehabisan akal. Perlahan Lean menunduk dan menatap maminya lembut. "Mi. Mungkin dulu Tante Sarah pernah jelek-jelekin mami sampai berimbas ke karier mami. Tapi nyatanya karier mami tetep bagus, kan?" ucapnya memberi pengertian.
Atika diam tidak menjawab. Memang karier Atika kembali seperti semula. Tapi dampak yang ditimbulkan oleh Sarah juga cukup banyak.
"Mami nggak usah takut karier Lean hancur gara-gara Rein. Lean yakin Rein nggak kayak gitu," ucap Lean sambil menarik kedua tangan maminya erat. "Lean pengen mami berubah. Sudahi dendam itu, Mi. Sekarang nggak ada untungnya lagi buat mami." Setelah mengucapkan itu Lean memilih keluar dan membiarkan maminya berpikir.
Sesampainya di luar, Lean teringat dengan Rein. Gadis itu pasti terpukul mendapat tuduhan yang tidak-tidak. Lean lalu berlari ke bagian informasi hotel, untuk mencari tahu keberadaan Rein.
***
Seorang gadis bergaun putih duduk menatap kolam renang dengan pandangan kosong, tapi tidak dengan pikirannya yang sibuk memutar kejadian beberapa menit lalu. Hati Rein sakit mendengar ucapan mami Lean. Entah Rein sedang sensitif atau bagaimana, tapi omongan mami Lean membuatnya down.
"Hiks!"
Tanpa terasa air mata jatuh itu ke pipinya. Rein menutup wajahn lalu bahunya bergetar hebat. Rasanya dia ingin memaki dirinya sendiri. Seharusnya dia tadi meminta Ovi agar tidak pergi. Seharusnya dia tadi meminta kru, agar dia tidak sendirian lalu diserang mami Lean.
"Ssstt..."
Saat sedang menangis, Rein merasakan sebuah usapan lembut di punggung. Perlahan dia menoleh dan tersentak melihat Lean yang tersenyum lembut di depannya. Buru-buru Rein menghapus air matanya dengan punggung tangan.
"Jangan diambil hati ya omongan mami gue."
Lean memperhatikan wajah Rein yang cukup berantakan dengan make up yang belepotan itu. Lean tadi mencari ke bagian informasi dan melihat di CCTV hotel. Hingga dia melihat di bagian kursi duduk kolam renang ada seorang bergaun putih tengah duduk diam. Tanpa menunggu waktu lama Lean menghampiri Rein.
Sesampainya di area kolam renang, ada sebagian hati Lean yang sakit melihat bahu Rein bergetar. Rasa ingin melindungi muncul begitu saja di dalam hatinya. "Gue tahu kok, lo pasti marah banget ke mami gue."
Rein membuang muka, memilih menatap ke depan sambil berkaca-kaca. Membahas hal yang membuatnya menangis membuat nyeri di dada itu kembali terasa. Rein menunduk, saat merasakan usapan tangan Lean tak henti di pundaknya. "Gue salah apa, Le ke mami lo sampai gue dituduh yang enggak-enggak?"
Satu tangan Lean yang bebas terkepal, sebagai pelampiasan dari emosi yang mulai menguasainya. Tapi dia tidak bisa meluapkan emosi di depan maminya. Berbeda kalau orang yang memaki Rein adalah orang lain. Mungkin Lean akan memarahi orang itu hingga kapok.
"Lo nggak salah sama sekali kok. Mami gue yang salah udah nuduh lo yang enggak-enggak," ucap Lean lembut.
"Huh..." Rein menarik napas panjang. Dia menoleh ke Lean, melihat seseorang yang menenangkannya membuat hatinya sedikit terobati. "Gue takut ketemu mami lo, Le."
Lean menarik tangan Rein dan menggenggamnya erat. "Ada gue yang bakal nengahi," jawabnya seperti sebuah janji.
Perlahan Rein mengangguk lalu membalas genggaman tangan Lean. "Le. Gue pengen damaiin orangtua kita lagi. Gue nggak mau di posisi kayak gini."
Mendengar kalimat itu, Lean tersenyum. Dia lalu mengangguk mantap. Tekad Lean untuk mempersatukan maminya dan mama Rein semakin besar. Terlebih dengan adanya Rein yang ikut dengan misinya. "Tentu. Kita harus damaiin orangtua kita," ucapnya mantap.
Rein mengalihkan pandang. Setelah duduk diam di area kolam renang, dia ingin mengubah keadaaan. Karena ulah egois mamanya dan mami Lean, Rein jadi kena imbasnya.
"Sekarang lo tenang ya. Gue ada di sisi lo."
Perlahan Lean memeluk tubuh Rein dari samping. Tindakan Lean mendapat respons positif dari Rein. Gadis itu menyandarkan kepalanya di dada Lean dan memeluk lengan Lean erat.
"Gue masih takut ketemu mami, lo," bisik Rein.
Perlahan Lean menunduk dan mendapati Rein menatap depan dengan pandangan kosong. Dalam hati Lean bersyukur bisa menemukan Rein. Jika tidak entah sampai kapan Rein akan duduk dengan pandangan kosong, seperti ini.
"Tenang. Gue bakal ada di sebelah lo," jawab Lean dan diakhiri dengan sebuah kecupan di puncak kepala Rein.
Cukup lama Rein dan Lean bertahan di posisi itu, hingga mereka mendengar suara orang di belakang mereka. Perlahan Lean dan Rein melepaskan diri. Mereka menoleh dan mendapati Ovi dan beberapa kru sedang berdiri.
"Rein. Gue kira lo ngilang ke mana," kata Ovi setelah berdiri di sebelah Rein.
Rein berdiri dan memaksakan seluas senyum untuk asistennya itu. "Gue nggak apa-apa kok."
Diam-diam Lean tersenyum mendapati Rein yang sedikit lebih baik dari sebelumnya itu. Lean beranjak dari posisinya lalu berjalan mendekati beberapa kru. "Kalau syutingnya di-pending besok gimana?" tanyanya.
"Kenapa di-pending? Ada masalah?"
Pertanyaan itu terdengar di telinga Rein. Dia lalu menatap Lean dengan tatapan menyelidik. Sedangkan yang ditatap tampak menggaruk tengkuk. "Nggak ada kok. Lanjut syuting lagi aja," ucapnya sambil berjalan mendekati Lean.
Lean menatap Rein dengan pandangan menilai, yang dijawab gadis itu dengan anggukan mantap. "Gue udah baikan, Le. Makasih ya."
Mendengar kalimat itu Lean senang bukan main. Dia menyentuh puncak kepala Rein dan mengusapnya pelan. "Sama-sama," jawabnya. "Kita syuting lagi, Guys!!" teriaknya beberapa kru.
Di sebelah Lean, Rein menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. Saat sedang sedih seperti ini Rein terbuai dengan sikap Lean. Sisi lain yang baru Lean perlihatkan. Dia menyesal pernah memandang lelaki itu sebelah mata.