Chereads / Romantic Scandal / Chapter 7 - Tujuh - Usapan Lembut

Chapter 7 - Tujuh - Usapan Lembut

"Mas Lean!"

Panggilan itu terdengar, tapi tidak ada respons sama sekali dari si pemilik nama.

"Mas Lean!" Masih tidak mendapatkan respons dari Lean.

"Sudah sampai, Mas!"

Lean tersentak mendengar ada yang memanggilnya itu. Dia mengucek mata sejenak lantas mengubah posisinya menjadi duduk. Dia menatap ke sekeliling lantas menatap ke sopir yang masih memperhatikannya itu. "Udah sampai, Pak? Udah lama?"

"Enggak kok, Mas."

"Makasih ya, Pak."

Lean menyampirkan ransel ke lengan kiri lantas turun dari mobil. Hari ini ada manggung di tiga kota di Jawa Timur. Sebenarnya Lean tak ingin langsung pulang malam ini juga. Namun, dia ingat besok pagi ada rapat dengan pihak manager. Daripada dia terlambat, lebih baik dia langsung pulang saja.

"Hoam." Sambil berjalan Lean menguap. Dia melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiri. Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Biasanya jam segini dia tak begitu mengantuk tapi pengecualian malam ini. Mungkin efek lelah.

Tring!

Lean masuk ke lift lalu menyandarkan kepala di sudut benda persegi panjang itu. Sambil menunggu benda persegi panjang itu membawanya ke lantai tujuan, dia memilih memejamkan mata sejenak.

Tring!

"Kenapa cepet banget!" Lean menggerutu karena baru saja memejamkan mata pintu lift telah terbuka.

Lean berjalan sambil menyeret kaki ke unitnya. Saat mendekati pintu apartemen, dia melihat seseorang yang berdiri bersandar di pintu dan tengah menunduk itu. Lean mengucek mata, berharap bukan Nana yang menunggunya.

Hingga beberapa menit kemudian Lean menyadari Reinlah yang berdiri. Seketika, dia ingat ada janji dengan gadis itu. Lean berjalan cepat mendekat dan berdiri di depan Rein. "Sorry, Rein. Gue lupa kalau ada janji."

Mendengar suara lelaki yang ditunggunya, Rein mengangkat wajah. Dia menatap Lean yang terlihat lelah dan sedikit tak fokus itu. "Lo dari mana aja, sih, susah banget dihubungi? Gue udah dua kali bolak-balik ke sini. Tapi lo nya ngilang," semburnya.

Rein menatap Lean sebal. Padahal siang tadi lelaki itu menyetujui untuk bertemu. Setelah itu, Lean tidak membalas pesannya. Rein kira, Lean ingat dengan janjinya. Tapi nyatanya lelaki itu malah tak bisa hubungi dan sepertinya lelaki itu baru saja datang.

"Sorry. Hari ini gue nggak fokus. Masuk yuk!" Sekali lagi Lean meminta maaf atas kesalahannya. Dia berjalan ke pintu apartemen dan menekan pin. Setelah itu Lean berjalan ke kamar, meletakkan tas slempangnya di bawah ranjang. Lean kemudian masuk kamar mandi untuk membasuh wajah lelahnya sebelum mengobrol dengan Rein.

Di ruang depan, Rein berjalan ke sofa. Dia duduk di sofa single dan menunggu Lean yang masuk entah ke mana itu. Sambil menunggu Rein membuka ponsel.

Miko: Jaga diri, Sayang.

Rein membaca pesan dari Miko. Sambil tersenyum Pacarnya itu meminta Rein agar hati-hati menghadapi Lean. Ya! Rein memang bilang kalau dia akan ke apartemen Lean.

"Rein!"

Saat sibuk dengan ponsel Rein mendengar suara Lean. Dia mendongak dan melihat Lean berjalan ke sofa sambil menyeret kaki. Pandangan Rein tertuju ke wajah Lean yang sedikit terlihat segar itu, tapi sama sekali tidak bisa menghilangkan kantung mata yang telah menghitam. "Langsung to the point aja ya, Le. Gue tahu lo udah capek."

Lean mengusap wajah beberapa kali. Entah kenapa dia tetap merasa ngantuk, padahal dia sudah membasuh wajahnya dengan air dingin. Biasanya cara seperti itu ampuh menghilangkan kantuk, yah meski hanya bertahan satu sampai dua jam.

"Jadi gimana? Lo setuju, kan?" tanya Lean yang sudah tahu ke mana arah pembicaraan.

Rein memejamkan mata sejenak. Dia sedang meyakinkan dirinya sendiri. Jujur saja, dari tadi dia masih bimbang. Dia takut semakin memperkeruh suasana. Tak lama, Rein membuka mata, menatap Lean lantas mengangguk mantap. "Gue setuju, Le. Apapun risikonya. Daripada nggak sama sekali."

Melihat keseriusan Rein, Lean tersenyum. Lean senang akhirnya dia punya partner untuk mendamaikan mama-mama yang masih saja bertengkar itu. "Oke. Lo udah cari tahu kenapa nyokap lo benci nyokap gue?"

"Itu yang belum gue lakuin. Gue bingung, Le. Gue takut ketahuan mama kalau lagi ngorek informasi."

"Santai aja, Rein. Nggak terlalu cecar mama lo. Lo cukup pura-pura curhat terus minta mama lo biar cerita masa mudanya."

Mendengar saran Lean, Rein tersenyum cerah. Sebelumnya dia tak memikirkan sampai ke arah sana. Dia terlanjur takut ketahuan mamanya. "Oke deh. Mungkin minggu depan."

"Lama banget, Rein nunggu minggu depan. Besok emang nggak bisa?" tanya Lean heran.

"Mama gue lagi di SG sama temennya. Lusa baru balik. Tapi lusa gue ada acara di luar kota. Baru bisa minggu depan!"

Lean menghela napas lelah. Mendengar penjelasan Rein dia maklum meski dia tidak bisa sesabar itu. Mama Rein memang sosok sosialita yang suka plestir dengan teman sosialita lainnya, sama seperti Mami Lean.

"Kalau lo sendiri? Lo udah cari tahu ke mami lo?" Rein menatap Lean dengan pandangan menyelidik.

"Belum juga. Gue baru balik, Rein. Besok gue mau ketemu mami."

"Terus kalau kita udah sama-sama tahu alasan kenapa mama kita berantem apa yang kita lakuin?"

Lean mengusap wajah. Untuk sekarang dia tak tahu apa yang harus direncanakan. Ditambah dengan kantuknya yang mulai mendera. Lean menggeleng pelan membuat Rein menghela napas panjang.

"Ya udah deh gue balik aja. Lo keliatan ngantuk banget." Rein beranjak dari tempatnya. Dia berjalan melewati sebelah kursi Lean dan menyempatkan diri mengacak rambut lelaki itu. Tapi dengan cepat, Lean menarik tangan Rein mengenggam tangan itu. Lalu dia mendongak menatap Rein dengan mata setengah watt-nya.

"Le!!" panggil Rein sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Lean.

"Makasih, ya. Sorry kalau udah bikin lo nunggu. Besok kalau ada kabar, gue langsung ngasih tahu lo."

"Oke." Rein mengangguk melepas genggaman tangan Lean lantas keluar dari apartemen lelaki itu. Selepas kepergian Rein, Lean masuk ke kamar. Untuk pertama kalinya, tak ada perdebatan antara mereka.

Diam-diam Lean tersenyum, entah kenapa dia senang saat Rein mengusap rambutnya tadi. Sederhana memang, tapi itu artinya mereka tidak lagi berdebat seperti sebelum-sebelumnya.

Senyum Lean semakin lebar saat ingat misi rahasianya dengan Rein. Dia berharap keluarganya dan keluarga Rein berdamai. Dia juga penasaran, bagaimana maminya dulu dengan Mama Rein. Pasti seru jika semuanya berteman.

"Semoga semuanya lancar, Rein," gumam Lean sambil memejamkan mata.

***

"Terima kasih untuk malam ini! Sampai jumpa!"

Lean melambaikan tangan ke para penonton. Setelah itu dia berjalan ke backstage dengan tangan kanan membawa gitar. Perlahan Lean menuruni tangga panggung. Saat kakinya menapak di tanah, tubuhnya terdorong ke samping. Lean berusaha menyeimbangkan tubuhnya dengan susah payah.

"Aaaa!!!! Lean!!! Bagus banget tadi nyanyinya."

Suara melengking Nana menyambut gendang telinga Lean. Perlahan Lean melepas pelukan dan menjauh dari gadis itu. "Na, bisa nggak jangan ngagetin?"

"Hehe!"

Lean geleng-geleng lalu melanjutkan langkah. Dia berjalan ke tenda yang disediakan khusus untuknya itu. Dia meletakkan gitar di atas kursi lantas menyambar ponselnya.

"Lean!! Kenapa gue ditinggal, sih!!"

"Na!! Bisa jangan teriak?" Lean menatap Nana dengan pandangan lelah.

Sejak semalam hingga malam ini, Lean merasa tidak enak badan. Badannya terasa lemas. Aktivitas yang ingin dia lakukan hanyalah tidur. Tapi dia tahu jadwalnya cukup padat dan dia harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya.

"Maaf, ya. Lo capek?" Nana menarik kursi kosong mendekat ke Lean. Dia mendorong pundak Lean meminta agar lelaki itu duduk di kursi. Setelah itu Nana berbalik ke punggung Lean dan memijit pundak lelaki yang malam ini terlihat lelah itu.

"Na! Apa-apaan sih? Nggak usah!" Lean bergerak, tidak nyaman karena Nana tiba-tiba memijitnya itu.

"Nggak apa-apa, Lean."

Lean seketika berdiri, mulai risih dengan tangan Nana. Bukannya Lean tak berterima kasih karena inisiatif gadis itu, tapi saat ini Lean sedang lelah dan tidak ingin diganggu.

"Lean!!"

Lean dan Nana sontak menoleh ke sumber suara. Lean menatap maminya yang berajalan mendekat hingga berdiri di depannya itu. "Pulang yuk, Mi. Lean capek banget," ajaknya.

"Halo, Tante," sapa Nana ke Mami Lean. Tak lupa wanita itu bercipika-cipiki.

Lean melirik kejadian itu sekilas. Dia mengambil tas dan gitarnya lalu keluar dari tenda. Sambil berjalan Lean memijit tengkuknya yang semakin terasa berat.

"Kamu kenapa, Le? Sakit?"

Lean mendengar suara maminya. Dia menoleh lantas mengangguk. "Kayaknya, Mi. Badan Lean kayak remuk. Oh ya mobil mami parkir di mana?"

"Sebelah kiri."

Seketika Lean berjalan ke arah kiri. Dari kejauhan dia melihat mobil putih maminya. Lama kelamaan, Lean merasa pandangannya menjadi buram. Dia mengucek mata beberapa kali. Bukannya pandangannya kembali jernih, tapi tambah semakin buram.

"Le. Setelah ini kamu langsung istirahat, ya. Jangan ngurus kerjaan lagi."

Lean hanya diam mendengarkan. Sebenarnya dia ingin menemui Rein dan membahas misi mereka. Tadi dia seperti melihat Rein tidak jauh dari tempatnya manggung. Mumpung dekat Lean ingin menghampiri. Tapi kondisi tubuhnya malah seperti ini. Kepalanya terasa semakin berat hingga beberapa kali dia harus menyangga kepalanya dnegan tangan.

"Lean! Kamu kenapa?" Atika menyentuh pundak anaknya itu.

Lean tak bisa lagi menyeimbangkan tubuhnya. Satu tangannya memegang pundak maminya bermaksud mencari pegangan. Tapi tenaga maminya tidak sekuat itu.

"Tante, Nana ikut ke apartemen Lean, ya." Nana masih saja berusaha agar bersama Lean.

BERISIK!! jerit hati Lean. Dia ingin orang-orangnya di sekitarnya diam agar kepalanya tidak semakin pusing. Lelaki itu memajamkan mata dan tubuhnya menghuyung. Seketika terdiam dan mencoba tetap berdiri tegak, tapi tidak bisa.

"Ya ampun, Lean!! Tolong!!!"

Mata Lean terpejam dan dentuman itu semakin menyiksanya. Dia sudah tak kuat lagi memaksakan tubuhnya untuk berjalan sampai ke mobil. Dia berpegangan ke maminya, yang jelas semakin tak kuat menahan berat tubuhnya itu.

"Tolong!!!"

Nana yang melihat Lean hampir limbung langsung menutup mulut. "Lean!! Lo kenapa, Sayang? Lean!!"

Samar-samar Lean mendengar maminya berteriak disusul suara histeris Nana. Tak lama dia mendengar suara langkah kaki mendekat.

"Lean kenapa, Tante?"

"Hah! Kenapa harus kamu yang nolongin saya?"

"Sini Tante, saya bantu!"

"Inget, ya! Saya terpaksa nerima bantuan kamu!"

Lean menggeram. Rasanya dia ingin melerai perdebatan itu, tapi kepalanya terasa semakin berat dan tubuhnya semakin melemah.

"YA AMPUN BABY LEAN!!"

Lean masih sempat mendengar teriakan melengking itu. Dia tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya. Lalu kegelapan itu dengan cepat menghampirinya.