Rein menunduk saat tatapannya bertemu dengan Tante Atika. Sedangkan Atika menatap Rein penuh amarah. Semalam dia melarang Rein untuk bertemu dengan Lean. Tapi nyatanya gadis itu tidak mengidahkan ucapannya. Dia curiga anak dari musuhnya itu mulai mendekati Lean. Jika sampai itu terjadi, Atika tidak akan terima.
Melihat maminya yang menatap Rein tajam, Lean menjadi tidak enak hati. Niat Rein hanya untuk menjenguk, bukan yang lain. Seketika Lean berdiri dari posisinya, menarik tangan maminya dan menuntunnya ke sofa. "Mi. Kenapa, sih? Jangan marah-marah gitu."
Atika menyentak tangan Lean. Dia lalu menatap Lean dan Rein bergantian. Atika merasa ada sesuatu yang disembunyikan dua anak itu. "Kembali ke topik. Apa maksud kalian nyatuin tadi?"
Diam-diam Rein melirik Lean. Dia memberi kode mata agar Lean yang menjawab pertanyaan itu. Lean yang mendapat kode itu mengangguk singkat.
"Mami salah denger. Lean sama Rein nggak ngomong gitu. Ya kan, Rein?"
Rein menatap Tante Atika sekilas, lantas memilih menunduk. "Iya, Tante."
Atika melipat kedua tangan di depan dada. Mana mungkin dia salah dengar seperti yang dituduhkan dua orang itu. "Kalian kira saya budek?"
"Lean nggak ngomong gitu, Mi."
"Terus apa, Lean?"
Lean menghela napas. Dia harus mencari alasan agar maminya tidak curiga. Lean lalu melirik Rein yang duduk diam itu. "Udah, ah, Mi. Jangan ngomongin itu. Nggak penting juga."
Rein tidak tahu harus berbicara apa. Dia takut karena sedari tadi tatapan Mami Lean terus tertuju kepadanya. Gue harus keluar, batinnya. Rein menghela napas panjang, perlahan dia menatap Lean dan Tante Atika bergantian. "Saya permisi dulu."
Rein berdiri dan menatap Lean yang ikut berdiri itu. Sedangkan Tante Atika duduk di tempatnya masih dengan menatap Rein.
"Gitu dong dari tadi sadar diri. Semalam, kan, saya sudah bilang. Jangan dekat-dekat! Masih aja keras kepala."
"Mi, apaan, sih?"
Lean kesal ke maminya yang berkata pedas itu. Dia lalu berjalan mendekat Rein dan mendapati ada ketakutan di mata itu. "Maafin omongan mami, ya. Jangan masukin ke hati."
Gimana nggak masukin ke hati, omongan Mami lo jahat! jerit hati Rein. Dia tidak membalas ucapan Lean dan memilih berjalan keluar dengan kaki sedikit menghentak.
Selepas kepergian Rein, Lean menatap maminya dengan pandangan lelah. Lean lalu duduk di tempat yang tadi di duduki Rein. Dia memijit pelipisnya, pusing merasakan kemarahan maminya yang tidak jelas itu. "Mi. Bisa nggak lebih sopan dikit ke Rein? Semalem dia juga, loh, yang bantuin Lean."
Atika mengernyit. Bagaimana bisa Lean tahu kalau Rein juga membantu? Pertanyaan itu berkelebat di benaknya. "Dia ngadu sama kamu?"
Lean menggeleng tegas. "Nggak. Sebelum Lean pingsan, Lean denger suara Rein."
Atika mengangkat bahu tak acuh. Baginya dia tetap tidak suka ke Sarah dan keluarganya, selamanya akan begitu. Tak lama Atika ingat dengan tujuannya ke mari. "Hari ini kamu banyak bikin mami marah, Lean!"
Lean menatap maminya. Dia menghela napas, lelah. Sekarang dia siap mendapat kemarahan maminya itu.
"Pertama kenapa kamu maksa pulang dari rumah sakit?"
"Mi. Mami tahu, kan, Lean nggak betah di sana. Lagian Lean juga udah enakan."
Atika menatap Lean dengan pandangan menyelidik. Tak lama dia menggeleng, wajah Lean masih terlihat pucat. Dan Atika yakin anaknya tidak baik-baik saja. "Mami sudah hafal tabiatmu. Kenapa susah, sih, di rumah sakit? Itu demi kesembuhanmu."
Kedua tangan Lean kembali memijit pelipis. Kepalanya mulai terasa pening, ditambah kemarahan maminya, semakin membuat pusing. "Mami, kan, udah hafal tabiat Lean. Jadi mami nggak perlu marah-marah!"
Melihat Lean yang tidak begitu memperhatikannya, Atika menghela napas lelah. Dia hanya ingin anaknya itu dirawat maksimal di rumah sakit. Dia hanya tidak ingin melihat Lean berbaring lemas. Tapi entahlah kekhawatirannya tidak bisa dimengerti oleh anak semata wayangnya itu. "Terus kenapa Rein ada di sini? Ditambah ucapan yang tadi. Maksudmu nyatuin apa, Lean?"
Seketika Lean menegakkan tubuh. Sial! Dia belum mempunyai alasan untuk menjawab pertanyaan itu. Lean menatap maminya sambil menahan senyuman. "Bukan apa-apa, Mi."
Atika mendengus mendapati Lean tidak kunjung menjawab jujur itu. "Kalian pacaran?"
"Kenapa mami tanya gitu?"
"Terus apa arti nyatuin mama kita? Kalian seolah pacaran dan ingin mendapat restu."
Sudut bibir Lean tertarik ke atas, ingin mentertawakan dugaan maminya itu. Dia tidak menyangka maminya berpikiran seperti itu. Tapi hal itu cukup membantunya, dia tidak perlu mencari alasan lain untuk menjelaskan. Lean memilih bungkam, membuat Atika semakin bertanya-tanya.
"Jadi benar kamu pacaran?" Atika menatap Lean tak percaya. Kebungkaman Lean mengartikan kata 'ya' bagi Atika. "Apa nggak ada cewek lain, Lean?"
Lean mengangkat bahu seolah tidak peduli. Dalam hati dia ingin tertawa melihat kehebohan maminya itu. Biarlah maminya beranggapan seperti itu, daripada semua yang Lean rencanakan gagal.
"Jelaskan ke mami, Lean!!"
"Baby Lean!!"
Sontak Lean menoleh dan mendapati Nana berdiri dengan keranjang buah di tangan. Lean mendesah lega, untuk pertama kalinya dia mensyukuri kedatangan Nana. Karena dengan begitu, dia tidak dicecar pertanyaan lagi oleh maminya.
"Lain kali aja ya, Mi dibahas," pinta Lean dengan senyum lega. Sedangkan Atika semakin sebal karena tidak kunjung mendapat penjelasan.
"Baby Lean. Kamu kenapa maksa pulang, sih? Kan masih sakit!" Nana menyentuh kening Lean memastikan keadaan lelaki itu.
"Gue baik-baik aja, Na." Lean berusaha menjauhkan wajah tapi tangan Nana terus menyentuh wajahnya.
"Ih, tapi badannya masih anget, Sayang."
"Gue baik-baik aja. Lo nggak usah khawatir."
Melihat dua orang itu sibuk sendiri, Atika menghela napas berat. Dia akan mencari tahu sendiri apa yang disembunyikan Lean dan Rein.
***
Tin. Tin.
Rein menekan klakson tidak sabaran. Tak lama gerbang putih di depannya terbuka. Dia melajukan mobil ke halaman, memakirkan mobilnya asal lantas keluar. Dia berjalan riang ke rumah dua lantai di depannya itu.
Pagi hari Rein mendapat telepon dari mamanya agar datang ke rumah. Dia panik mendapat telepon itu, karena seingatnya mamanya baru pulang liburan tiga hari lagi. Rein hanya takut terjadi sesuatu dengan mamanya itu.
"Papa!!" teriak Rein kencang saat melihat papanya keluar dari dapur dengan mug di tangan.
Rein mendekati papanya dan memeluknya erat. Dia merindukan papanya yang lebih sering di Kalimantan mengurus perusahaan batu bara itu, dari pada di Jakarta.
"Rein. Pelan-pelan. Nanti kopi papa kena tanganmu."
Mendengar ucapan papanya seketika Rein melepas pelukan itu. Dia tidak ingin ketumpahan kopi dan berujung luka di lengannya. Rein lalu menatap papanya yang terlihat segar itu. "Papa baik-baik aja, kan?"
"Baik. Kamu juga, kan?" jawab Papa Rein yang langsung dijawab anggukan oleh anaknya. "Ke atas sana. Kamu udah ditunggu mamamu."
Rein mengangguk, hampir lupa kedatangannya ke mari untuk menemui mamanya. "Kenapa ya, Pa, mama kok pengen ketemu Rein?"
"Memang salah mama pengen ketemu kamu?"
Rein menggeleng pelan. "Bukan gitu, Pa. Rein ngerasa ada yang aneh."
"Anggap saja kamu mau dapat oleh-oleh. Udah sana! Mamamu di balkon."
Ucapan papanya tidak membuat Rein tenang. Dia lalu berbalik dengan langkah lemah. Dia tetap yakin kalau ada sesuatu yang tidak beres. Akhirnya Rein sampai di balkon. Dia melihat mamanya itu duduk di kursi malas. Perlahan Rein mendekat dan duduk di sebelah mamanya. "Ada apa, Ma?" tanyanya to the point..
Sarah menoleh ke Rein, mendapati raut cemas bercampur takut dari anaknya itu. "Kamu semalem dari apartemen Lean?"
Tubuh Rein menegang. Bagaimana bisa mamanya tahu? Rein lalu menatap mamanya bingung.
Melihat tatapan seperti itu Sarah melanjutkan kalimatnya. "Mama tahu dari Atika. Dia telepon mama."
Rein terdiam, masih kaget dengan apa yang diucapkan mamanya itu. Dia merasa aneh, karena mamanya dan mami Lean tidak pernah akur, tapi kenapa saling menyimpan kontak satu sama lain? Rein merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Bener kamu dari apartemen Lean?"
Pertanyaan itu membuat pikiran Rein terputus. Dia menoleh lantas mengangguk pelan. "Iya, Ma. Lean sakit. Rein cuma jenguk."
"Ngapain kamu jenguk dia? Dia nggak butuh kamu jenguk."
"Ma. Lean pingsan di depan mata kepala Rein. Apa Rein salah kalau jenguk Lean?"
"Salah, Rein. Kamu tahu, kan, Lean siapa?"
"Anak musuh mama." Rein menjawab dengan cepat. Dia kecewa karena mamanya menjadi jahat jika berhubungan dengan Tante Atika. "Sebenarnya apa yang terjadi antara Mama sama tante Atika?" tanyanya cepat.
Sarah menoleh ke anak sekilas. Sebelum dia menatap langit dengan pandangan menerawang. "Atika itu penghianat."
"Penghianat gimana maksudnya?" tanya Rein antusias. Dia ingin tahu apa yang membuat mamanya benci dengan Mami Lean. Setelah itu, Rein bisa merencanakan sesuatu untuk mendamaikan keduanya.
Sarah beranjak dari posisinya. "Mama males ngomongin itu, Rein. Inget ucapan Mama. Jangan dekat-dekat dengan keluarga penghianat itu." Setelah mengucapkan kalimat seperti itu Sarah memilih masuk.
Rein menoleh ke arah kepergian mamanya. Sedikit demi sedikit dia tahu alasan kebencian mamanya. Rein harus membicarakan ini dengan Lean.
Drtt!!
Ponsel di saku Rein tiba-tiba bergetar. Dia merogoh saku dan melihat nama yang muncul, Lean. "Panjang umur, nih, anak."
Rein menggeser warna hijau lalu meletakkan ponsel di sebelah telinga. "Halo, Le."
"Rein. Lo nggak apa-apa, kan?"
Rein tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Lean. "Nggak apa-apa gimana?"
"Soal yang semalem."
Rein menghela napas lelah. Jujur saja dia masih marah ke mami Lean. Tapi dia tidak ingin memendam itu. "Nggak apa-apa kok santai aja."
"Syukurlah."
"Oh, ya, Le. Gue dapat sedikit cerita dari mama gue. Gue pengen ngasih tahu lo."
"Cerita? Gimana kalau nanti lo ke tempat gue?"
Rein terdiam, takut bertemu Tante Atika dan membuatnya mendapat ucapan pedas itu. "Gue masih takut, Le."
"Tenang. Nanti gue kabari kalau mami gue udah nggak di apartemen."
"Oke." Setelah mengucapkan itu Rein memutuskan terlebih dahulu. Dia kembali terdiam, memikirkan ucapan mamamya barusan. Dia ingin cepat-cepat mengetahui semuanya agar mamanya tidak terus-terusan diliputi kebencian.