Rein mengetukkan kelima jarinya di atas meja, sedangkan satu tangannya menyangga dagu dengan tatapan tertuju ke arah pintu. Sudah lebih dari lima belas menit, orang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Lama-lama Rein bosan menunggu.
"Coba telepon lagi, Rein."
Seketika Rein menoleh, menatap Miko yang duduk di depannya itu. "Dari tadi nggak diangkat."
"Mungkin masih di jalan."
Rein manggut-manggut. Siang ini ada janji dengan Lean. Sebenarnya sudah dua hari yang lalu janji mereka bertemu, tapi Lean memberi tahu jika maminya selalu ada di apartemen. Hal itu membuat janji mereka bertemu tertunda. Lalu hari ini, Rein mendapat pesan dari Lean untuk bertemu. Rein pun menyanggupi dan meminta Lean datang ke kafe sebelah tempat lokasi syuting.
Kondisi Lean sudah membaik. Rein tadi sempat melihat lelaki itu manggung di salah satu stasiun tv.
"Sorry."
Rein dan Miko mendongak ke sumber suara. Di sana Lean berdiri dengan jaket hitam yang melekat pas di tubuhnya. Rein melotot saat perhatiannya tertuju ke gadis di sebelah Lean, Nana.
"Le!"
Lean yang tahu Rein hendak protes memberi kode lewat kedipan mata. Dia lalu menoleh sekilas ke Nana. Sebenarnya Lean ingin pergi sendiri, tapi maminya yang sedang protektif itu selalu mengikuti ke manapun dia pergi.
Awalnya Lean tidak tahu cara kabur dari maminya. Hingga Nana datang ke lokasi syuting dan mengajak pergi. Lean memanfaatkan itu, dengan tambahan permohonan ke maminya. Ya, Lean harus memohon ke maminya agar tidak mengganggu acara makan siang dengan Nana. Mami Lean yang tidak tahu ada rencana tersembunyipun mengizinkan, dan menganggap Lean ingin berduaan dengan Nana.
"Duduk sini!"
Lean menatap Miko yang memintanya mendekat itu. Lean mengangguk lalu duduk di sebelah Miko. Sedangkan Nana, mau tidak mau duduk di sebelah Rein.
Bersebelahan dengan Nana, membuat Rein mendengus ke Lean. Tapi Lean hanya menanggapi dengan mengangkat bahu.
Tatapan Lean tertuju ke Nana yang terlihat tidak nyaman duduk di sebelah Rein itu. Seulas senyum seketika terbit di bibir Lean. Dia menggapai milkshake yang ada di depan Rein sambil menatap Nana. Rein yang melihat itu menarik gelas milkshake-nya, tidak ingin berbagi minuman dengan Lean.
Lean tersenyum penuh arti. Dia menarik gelas milkshake itu dengan kencang hingga sebagian isinya tumpah ke rok Nana.
"Kalian apa-apaan, sih!!" Nana menatap Rein dan Lean bergantian. Sedangkan yang ditatap hanya diam saja. Nana menunduk, melihat rok berwarna kuningnya yang ternodai oleh warna cokelat.
"Na. Lo bawa ganti, kan, di mobil?" tanya Lean sok khawatir.
Lean tadi memang menggunakan mobil Nana. Karena maminya masih menyita kunci mobilnya. Karena beranggapan Lean belum kuat membawa mobil pasca sakit. Segitu protektifnya mami Lean.
"Bawa. Gue ganti baju dulu." Nana beranjak dari posisinya lalu keluar dengan kaki sedikit menghentak.
"Itu kerjaan kalian?" Miko menatap Lean dan Rein curiga.
Rein yang ditatap seperti itu menggeleng tegas. Tindakan tadi murni karena dia tidak ingin berbagi minuman.
Berbeda dengan Lean, dia tersenyum miring ke Miko. "Biar, tuh, cewek pergi."
"Lagian ngapain lo ngajak dia!" sungut Rein.
"Cuma dia alesan gue bisa bebas dari mami. Heran, deh, mami ngikutin gue mulu."
Rein menahan tawa. Sebenarnya Lean itu berusia berapa sampai harus diikuti maminya?
Melihat tawa tertahan itu Lean melotot. "Udah deh jangan ketawa. Langsung ke inti aja sebelum, tuh, cewek balik."
Rein mencoba menghilangkan tawanya. Benar apa yang dikatakan Lean, dia harus menyelesaikan ini semua. "Jadi mama gue... ."
"... tunggu! Ngapain lo masih di sini?" tanya Lean ke Miko.
"Miko udah tahu semuanya, Le," jawab Rein yang diperkuat oleh anggukan Miko.
"Tetep aja Miko nggak termasuk dalam rencana kita. Mik, lo pergi duluan, deh!!"
Miko tidak terima. Bagaimana mungkin dia membiarkan pacarnya hanya berduaan dengan Lean? Miko menoleh Rein meminta persetujuan. Apa yang diharapkan Miko tidak terkabulkan. Rein malah mengangguk yang artinya memilih Miko pergi.
"Oke. Gue pergi. Tapi gue duduk di pojok dan nggak niat denger omongan kalian." Setelah mengucapkan itu Miko berajak, berjalan ke meja paling pojok dengan wajah memerah padam.
Selepas kepergian pacar Rein, Lean duduk di tempat Miko. Sekarang, Lean berhadapan dengan Rein. Tatapan Lean menyirat agar Rein membuka pembicaraan.
"To the point aja ya, Le. Waktu itu mama gue cuma cerita kalau mami lo penghianat," kata Rein dengan sedikit memelankan suaranya di kalimat terakhir.
Lean mengernyit. Kemarin dia mencari tahu tentang maminya dan jawaban maminya sama dengan ucapan Rein. "Mami gue juga bilang kalau mama lo penghianat."
Rein tersentak kaget lalu sebenarnya penghianat di sini siapa? Dia menatap Lean serius. "Kayaknya ada yang miss com."
Lean mengangguk mantap. Dia yakin ada kesalahpahaman, atau mungkin beda persepsi. "Iya, Rein. Terus gimana, nih? Nemuin mama kita biar duduk berdua? Biar perkara selesai!"
Mendengar kalimat itu, Rein terdiam. Dia sedang memikirkan kemungkinan yang terjadi dari rencana Lean. Beberapa detik kemudian Rein menggeleng, tanda tidak setuju. "Jangan, Le. Kalau mereka nggak bisa nyelesaiin malah makin parah. Lo tahu kan kita hidup dengan banyak paparazi? Nggak menutup kemungkinan mereka ada waktu kita nemuin mama kita."
Lean mengetukkan jari telunjuk di dagu. Benar juga apa yang dikatakan Rein. Lean lalu menatap Rein saksama. "Terus gimana? Lo ada ide?"
Rein mengangkat bahu pelan. Tak lama dia ingat sesuatu. "Lo ngerasa aneh nggak, masa mami lo telepon mama gue. Mereka, kan, musuhan kenapa nyimpen kontak masing-masing?"
Satu alis Lean terangkat. Dia tidak tahu menahau soal maminya yang menelepon mama Rein. "Mami telepon mama lo? Kapan? Mami gue ngomong apa?"
Rein memutar bola matanya jengah. Bukan ini yang dia harapkan kalimat yang keluar dari mulut Lean. "Waktu pagi-pagi lo telepon gue. Itu gue habis dimarahin mama. Gara-gara mami lo telepon dan ngasih tahu mama kalau gue habis di apartemen lo."
Tatapan Lean teralihkan ke arah pintu. Dia tidak pernah tahu kalau maminya sampai berbuat seperti itu. Tidak lama perhatian Lean tertuju ke Rein. "Mungkin mami gue tanya ke temennya tentang kontak mama lo."
Rein menggeleng. "Gue yakin mereka berdua masih nyimpen kontak satu sama lain."
"Hmm.. bisa jadi,sih. Terus gimana? Gue yakin kalau mereka sebenernya nggak ada niat musuhan."
Rein mengurut pangkal hidungnya. Dia memejamkan mata, memikirkan strategi untuk mendamaikan maminya. "Minggu depan gue sama mama mau ke Batu. Lo minggu depan ada waktu senggang? Kalau ada lo sama mami lo nyusul. Gue rasa di sana lebih aman dan nggak banyak paparazi."
Seketika Lean mengangguk antusias. "Gue usahain. Gue berencana ngetes mereka."
"Ngetes gimana?"
Ibu jari Lean bergerak memberi kode agar Rein mendekat. Rein yang mengerti kode itu memajukan tubuh. Dia memiringkan kepalanya, agar telinganya tepat di depan Lean. Lalu Lean membisikkan sesuatu di telinga Rein.
Setelah saling berbisik, Rein menoleh menatap Lean dengan senyum puas. "Oke deal. Gue setuju."
Lean tersenyum puas. Dia menatap wajah Rein yang masih dekat dengan wajahnya itu. Tangan Lean terangkat lalu menjawil hidung Rein gemas. "Siap jalanin strategi kita."
Cekrek!
Kilatan blitz mengenai wajah mereka, dengan cepat Rein dan Lean saling berjauhan. Mereka menoleh ke sumber kilatan dan melihat lelaki yang mereka tebak reporter tengah mengabadikan momen berusan. Lalu di belakang lelaki itu ada Nana yang menatap dengan sorot tajam.
"Sialan!" maki Rein kencang. "Perbuatan pacar lo pasti, ya?"
"Keputusan kita buat nyatuin mama di kota orang memang tepat Rein. Belum apa-apa udah ada yang moto. Ya udah gue pergi dulu," ucap Lean lirih. Setelah itu dia buru-buru keluar dari kafe.
Sedangkan Rein masih duduk di posisinya. Jika sudah tertangkap kamera seperti ini mau tidak mau dia harus mempersiapkan diri mendapat amukan mamanya. Lagi.
***
Dugaan Rein terbukti. Esok harinya muncul gosip tentang dirinya dan Lean. Dugaan yang lain juga benar. Sekarang mama Rein bertolak pinggang memarahi anaknya.
"Kamu kenapa seneng banget, sih, bikin gosip sama Lean itu? Bikin gosip yang bermutu kali, Rein. Kamu tunangan sama Miko, kek. Atau kamu menangin penghargaan. Bukan gosip kayak gini!"
Telinga Rein rasanya berdengung karena terlalu banyak mendapat omelan mamanya. Daritadi dia hanya manggut-manggut menerima amukan mamanya, berharap kemarahan itu cepat sirna seperti sebelum-sebelumnya. Tapi sepertinya berbeda dengan hari ini.
"Rein!! Kamu dengerin mama, kan!!"
Rein mendongak lalu mengangguk dengan tampang polos. "Ma, udah deh jangan marah-marah. Rein udah dapet izin cuti buat liburan. Kita tinggal beli tiket sama booking hotel."
Ucapan Rein membuat emosi Sarah sedikit reda. Sarah lalu mendekati Rein. "Kamu atur semuanya. Mama terima jadi."
Rein mengangkat ibu jarinya, tanda dia menyanggupi perintah mamanya. Setelah tidak mendengar suara bernada keras dari mamanya, Rein mengambil ponsel di atas meja. Dia membuka Whatsapp, lalu menekan chat teratas. Leander.
Leander: Lo pasti udah nebak kalau gosip kita bakal muncul pagi ini.
Leander: Gue juga udah nebak. Ketemu paparazi besoknya gosip kita muncul.
Leander: Hidup kita gini banget ya, Rein.
Leander: Btw lo udah dimarahin mama lo? Kalau gue sekarang lagi marahin nih. Gue berasa anak kecil. Padahal umur gue udah pertengahan kepala dua.
Membaca pesan dari itu, Rein tersenyum simpul. Dia lalu mengetikkan pesan balasan.
Lareina: Sama. Gue baru saja kena marah.
Setelah mengirim pesan, Rein menekan tombol power, membuat layar ponsel itu menjadi gelap. Rein lalu menoleh ke mamanya yang sudah membaca tabloid. Dia tersenyum penuh arti, tidak sabar menjalankan rencananya.