Rein duduk bersandar di sofa dengan ponsel di genggaman. Dia sedang mencari artikel terbaru tentang Lean. Tapi sejak sepuluh menit yang lalu Rein berselancar, dia tidak mendapat artikel terbaru apapun.
"Masih nyari tahu tentang Lean?"
Perlahan Rein menoleh, menatap Miko yang duduk dengan sebotol cola di tangan kirinya itu. Rein mendekat ke Miko dan menyandarkan kepala di lengan lelaki itu. "Gimana, ya, kabar Lean?"
Ada sebagian hati Miko yang teriris mendengar pertanyaan itu. Dia tahu, semalam Rein membantu Lean saat lelaki itu pingsan. Bahkan Rein sempat menunggu Lean hingga beberapa jam. Wajar, kan, kalau Miko cemburu? Tapi dia juga tidak bisa menyalakan tindakan Rein. Gadis itu semalam ada di lokasi dan sudah sewajarnya menolong seseorang yang kesusahan, meskipun itu Lean. "Kalau kita nanti ke sana gimana?"
Mendengar ajakan itu, Rein tersenyum lebar lalu mengangguk antusias. Sejak tadi dia terus kepikiran Lean. Jangan berpikir aneh, dia hanya penasaran dan kasihan. Apalagi Rein melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Lean limbung dengan wajah pucat pasi.
"Sekarang udah dong jangan mikirin dia terus. Kan, aku cemburu."
Rein tersenyum, tidak menyangka Miko bisa cemburu, bahkan mengungkapkan secara gamblang. Selama ini Reinlah yang banyak cemburu saat melihat Miko beradegan dengan lawan mainnya.
"Masa cemburu? Seorang Miko bisa cemburu?"
Miko gemas melihat Rein yang menggodanya itu. Dia mendekat dan mencium puncak kepala Rein. "Iyalah aku cemburu. Emang salah cemburu ke pacar sendiri?"
"Ya enggak. Tapi aku seneng kamu cemburu."
"Kok malah seneng?"
Rein semakin menempel ke Miko dan kedua tangannya memeluk lelaki itu erat. Rein bersandar manja di dada Miko, mendengar degup jantung lelaki itu yang berpacu dengan kencang. "Itu artinya kamu cinta sama aku."
Miko tersenyum, meletakkan cola di meja sebelah sofa lantas membalas pelukan Rein. "Ya cintalah. Masa nggak cinta sama kamu."
"Hihihi..." Rein terkikik lalu mendongak. Dia mendapati Miko yang menatapnya penuh kelembutan itu. Rein menghela napas panjang. Sulit dia sangka jika playboy semacam Miko bisa jatuh cinta.
"Kenapa natap aku kayak gitu?" tanya Miko sambil menjawil hidung Rein gemas.
"Nggak apa-apa. Ternyata playboy kayak kamu bisa jatuh cinta, ya."
Miko pura-pura cemberut mendengar penuturan itu Orang bilang, dia adalah playboy. Tapi baginya dia tidak seperti itu. Selama ini dia mengencani banyak wanita untuk mencari wanita yang tepat. Dan menurut Miko untuk sekarang wanita yang tepat adalah Rein. "Memang nggak boleh, ya, playboy jatuh cinta? Kalau nggak boleh kapan playboy tobatnya?"
"Hahaha." Rein terbahak mendengar ucapan Miko yang ada benarnya itu.
Kebanyakan para playboy tobat karena merasakan jatuh cinta dan akhirnya memilih setia. Rein melepas pelukannya lalu mengubah posisi duduknya hingga menatap Miko dari samping. "Aku seneng, deh, kalau kamu ngerasaain cemburu. Sama kayak aku."
Satu alis Miko terangkat tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Rein. "Kamu sekarang cemburu? Mencemburui apa, Rein?"
Mata Rein terpejam, bingung harus berkata jujur atau bohong. Masih ingat jelas saat Miko memintanya untuk mengetahui batas profesionalitas. Tidak lama Rein menatap Miko dengan seulas senyum.
"Ngeliat kamu ditatap wanita lain. Pengen aku colok matanya." Akhirnya Rein memutuskan berbohong. Dia takut mendapat respons yang sama dari Miko.
"Pacarku sadis, ih, kalau cemburu."
Miko bergeser pura-pura takut kepada. Tindakannya itu membuat lengannya ditarik oleh Rein dan mendapat teriakan kencang dari wanita itu.
"MIKO!!!"
"Hahaha." Miko terbahak karena berhasil mengerjai Rein. Sedangkan Rein cemberut karena godaan itu.
"Kalian kayak anak kecil, deh."
Miko dan Rein menoleh ke sumber suara. Di dekat pintu Pak Produser bertolak pinggang sambil geleng-geleng. Tidakan itu membuat Rein dan Miko terkekeh kecil.
"Miko bentar lagi take."
"Siap pak, Bos!"
Setelah itu Miko menatap Rein, dengan gerakan cepat, dia mencium pipi pacarnya itu. Membuat Rein seketika menoleh dengan senyum malu-malunya.
"Aku kerja dulu ya, Sayang. Sepulang kerja baru kita jenguk Lean."
Rein mengangguk mengiyakan. Selepas kegerian Miko, Rein menangkup kedua pipi dengan tangan. Dia masih kaget dengan tindakan Miko barusan.
***
Lean berjalan sambil dipegangi Stevia—kakaknya. Dia merasa dirinya sakit parah sampai harus dipegangi seperti ini. Padahal dia hanya kelelahan saja. "Kak. Lean bisa jalan sendiri."
"Nggak menerima penolakan, Lean!!"
Mendengar jawaban kakaknya Lean mendengus. Sifat kakaknya itu sangat mirip dengan maminya. Akhirnya Lean diam saja saat kakaknya itu menuntun hingga sampai di apartemen.
"Ah. Apartemen gue!!"
Lean langsung berbaring di sofa panjang. Dia rindu dengan apartemen yang dia beli dari hasil jerih payahnya sendiri. Lean lantas menoleh ke kakaknya yang tidak mengeluarkan suara itu. Sedangkan kakaknya berdiri di depan pintu sambil melipat tangan di depan dada. Percis seperti maminya.
"Apaan sih, Kak. Lo kok natap gue kayak gitu?"
Stevia berjalan mendekat, lalu memukul lengan Lean. Hingga Lean mengaduh dan bergerak menjauh.
"Wah, baru beberapa menit sampai udah ada kekerasan," keluh Lean sebal.
"Lo itu bandel! Udah tahu masih sakit maksa pulang. Tunggu aja bentar lagi mami dateng terus ngamuk-ngamuk."
Lean bangkit dari posisinya lalu menyandarkan kepala di kepala sofa. Dia merasa tubuhnya masih lemas, tapi dia enggan berlama-lama di rumah sakit. Sebenarnya dia juga hanya kelelahan. "Gue males di rumah sakit. Kayak orang sakit."
"Emang lo sakit, bodoh!!"
Lean meringis mendengar ucapan kakaknya itu. Yah begitulah Stevia kakaknya yang berjarak enam tahun dengannya. Selalu mengatai Lean bodoh saat lelaki itu tidak menurut.
"Gue balik dulu. Gue ada meeting. Bentar lagi mami ke sini." Setelah mengucapkan itu Stevia pergi meninggalkan Lean sendirian di apartemen.
Lean mengusap wajah lelahnya. Dia sangat benci rumah sakit, dimana gerak-geriknya selalu terbatas, padahal Lean tidak betah berdiam diri.
Tet!!!
Suara bel itu membuat Lean menoleh ke arah pintu. Dia mengernyit dalam. Masa itu Mami?
Tet!!! Bel apartemen kembali berbunyi.
Perlahan Lean beranjak, berjalan pelan ke pintu dan membukanya dengan perlahan. Saat melihat tamu yang datang, bibirnya membentuk sebuah senyuman. "Masuk yuk, Rein!"
Lean menggandeng tangan Rein dan mengajak wanita itu duduk di sofa. Sekarang Lean menatap Rein yang sedang mengamati wajahnya itu. "Kenapa, Rein?"
"Kok lo udah pulang, sih?"
Tadi Rein ke rumah sakit sendiri, karena Miko ternyata ada lembur. Sesampainya di rumah sakit, Rein mendapat informasi dari resepsionis jika Lean telah pulang. Awalnya Rein ingin menjenguk Lean ke rumah lelaki itu tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut bertemu dengan Mami Lean yang selalu mengibarkan bendera perang kepadanya. Lalu Rein memutuskan untuk coba-coba ke apartemen Lean.
"Gue maksa pulang. Males di rumah sakit."
Lean menyandarkan kepala di sofa saat kepalanya terasa berat. Dia lalu menatap Rein dari samping. "Kok lo tahu gue ada di sini?"
Rein memutar hingga menghadap Lean. "Gue tadi ke rumah sakit. Tapi katanya lo udah pulang. Ya udah gue ke sini."
Tak lama Lean ingat dengan kejadian semalam, sebelum dia jatuh pingsan. "Kemarin lo, ya, yang nolongin gue?"
Rein mengangguk samar. "Bukan cuma gue, sih. Ada Pak Satpam sama Nana," jawabnya jujur.
"Gue udah tebak kalau suara yang semalem itu suara lo!"
"Suara yang mana?"
"Suara yang paling panik."
Seketika Rein melotot. Semalam dia memang panik, tapi masih lebih panik Mami Lean. Rein menggeleng, tidak terima dengan ucapan lelaki itu. "Gue nggak panik. Mami lo yang panik."
Lean tersenyum menggoda. Dia ingat betul saat Rein ngotot membantu maminya. Tangan Lean lalu terulur ke arah pipi Rein dan menekan pipi itu dengan jari telunjuk. "Mengakulah, Sayang. Kamu khawatir, kan?"
"Lean apaan, sih!"
Rein menepis tangan Lean yang semakin gencar menusuk pipinya itu. Tidak tahan dengan godaan itu, Rein beranjak dan pindah ke sofa di hadapan Lean. "Gak usah godain gue. Nih, gue bawa jeruk buat lo!"
Lean menatap sekeranjang jeruk yang di bawa oleh Rein itu. Perhatiannya lantas kembali tertuju ke Rein. Lagi-lagi dia tersenyum menggoda. "Kok lo tahu tahu gue suka jaruk? Lo stalking gue?"
"Lean apaan sih lo!!"
Rein menyesal dari tadi mengkhawatirkan Lean. Dia juga menyesal tadi membawakan jeruk. Harusnya dia tadi membawa racun saja.
"Oh, ya, gimana soal mama lo? Apa ada cerita baru?" tanya Lean mengalihkan pembicaraan. Dia melihat raut wajah Rein tidak bersahabat, daripada dirinya kena amuk, lebih baik mengalihkan pembicaraan.
"Kan, gue udah bilang mama gue baru balik minggu depan."
Lean menepuk kening, lupa dengan ucapan Rein tempo hari. "Gue lupa. Ini karena gue udah nggak sabar nyatuin mama kita."
"Nyatuin gimana, Lean?"
Rein dan Lean menoleh ke sumber suara. Mereka terkesiap melihat siapa yang berdiri di depan pintu sambil bertolak pinggang itu. Rein dan Lean lantas bertatapan, mereka sama-sama bingung harus menjelaskan bagaimana.