Rein berjalan ke lokasi syuting dengan beberapa rol yang menempel di rambut. Dia berjalan dengan membawa tas besar di tangan kiri. Ovi—asistennya—selama seminggu ini izin pulang kampung, jadilah Rein ke lokasi syuting sendiri dan membawa barangnya sendiri.
"Asisten lo belum masuk?"
Pertanyaan itu Rein dapat setelah masuk ke ruang make up. Dia melihat Oliv yang duduk di depan meja rias sambil bermain ponsel itu. Rein berjalan mendekat dan meletakkan tas beratnya di bawah meja rias.
"Tahu, tuh! Gue kasih libur malah nggak balik-balik," keluh Rein. Dia lalu mengintip ke ponsel Oliv yang langsung dijauhkan oleh sahabatnya itu.
"Apaan, sih, lo ngintip-ngintip."
"Ya elah pelit amat! Habis kayaknya lagi seru gitu."
Rein menyandarkan tubuh di kursi rias dan menatap rol yang masih belum dia lepas. Dia merapikan salah satu rol saat melihat rol itu hampir melorot.
"Lean pacaran sama Nana, ya? Anak dokter terkenal itu."
Mendengar nama Lean disebut, gerakan Rein terhenti. Dia menoleh ke Oliv yang masih memperhatikan ponsel itu. Rein mengangkat bahu acuh tak acuh lantas kembali membenarkan posisi rolnya.
"Rein!! Emang bener mereka pacaran?"
"Ah!!!" Rein berteriak saat tangannya ditarik Oliv dan itu berimbas rolnya ikut tertarik. Rein melotot ke Oliv yang dibalas gadis itu dengan cengiran khasnya.
"Habis lo nggak nanggepin pertanyaan gue," bela Oliv.
"Gue kira lo malah ngomong sendiri."
Perlahan Oliv memutar tubuh. Dia menarik kedua bahu Rein hingga menatapnya. "Gue tanya sama lo. Emang Lean pacaran, ya, sama Nana?"
Satu alis Rein terangkat. Aneh saja kenapa Oliv bertanya seperti itu kepadanya. Pertama dia bukan teman dekat atau keluarga Lean. Kedua dia bukan reporter atau pembawa gosip yang tahu tentang kehidupan para artis.
"Yaelah malah diem."
Puk!
Rein berjingkat merasakan tepukan cukup kencang di lengan. Dia melotot ke Oliv yang lagi-lagi membuatnya kesal itu. Rein perlahan mendekat ke Oliv dan menangkup kedua sisi kepala sahabatnya itu. "Gue nggak tahu. Ngapain lo tanya gue, Oneng?"
Oliv cemberut mendengar panggilan "oneng" dari Rein. Dulu dia pernah memerankan wanita bernama Oneng. Rein yang baru tahu hal itu mentertawakan Oliv habis-habisan, dan menjadikan panggilan itu jika Oliv sangat menyebalkan.
"Ya siapa tahu lo kenal. Kalian kan satu gedung apartemen."
"Hahaha." Rein beranjak dengan tawa lebarnya. Oliv hari ini sedikit aneh, menurutnya.
Saat hendak mencapai pintu, Rein menoleh ke Oliv yang masih menatapnya itu. "Emang gue harus tahu tentang Lean?" tanyanya. "Enggak, kan? Jadi jangan tanya gue, ya."
"Kirain lo tahu. Siapa tahu gara-gara gosip itu kalian jadi dekat."
Rein memilih keluar ruang make up, tidak mendengarkan ucapan Oliv lebih lanjut. Dia berjalan menuju ruang tengah tempat di mana dijadikan lokasi syuting hari ini. Dari kejauhan Rein mendengar suara pacarnya sedang berbincang. Seketika dia mempercepat langkah dan berdiri di belakang kru.
Senyum Rein mengembang melihat Miko yang beradu akting dengan Nesya—pemeran utama. Tak lama senyumnya pudar melihat Miko dan Nesya berpelukan. Ada sebagian hati Rein yang tak terima melihat Miko seperti itu. Tapi dia harus profesional bukan?
Rein menarik napas panjang. Beginilah risikonya memiliki pacar yang bekerja di dunia entertain, harus siap melihat beradu peran dengan yang lainnya. Di sinetron yang dibintangi Rein, dia berperan sebagai sahabat Miko yang posesif dan antagonis.
"Kok ngelamun?"
Pertanyaan itu membuat Rein tersentak. Dia menoleh dan mendapati Miko berdiri di sebelahnya. Rein menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sejak kapan take selesai dan sejak kapan Miko berdiri di sebelahnya?
"Hei, kenapa sih?"
Miko mulai khawatir mendapati Rein hanya diam dan bingung sendiri itu. Dia menarik Rein menjauh dari keramaian menuju ke halaman samping.
"Mik, ngapain ke sini?" tanya Rein bingung.
Pundak Rein ditekan oleh Miko hingga dia terduduk di kursi taman. Rein menoleh saat Miko duduk di sebelahnya. Miko menatap Rein yang terlihat lucu dengan beberapa rol yang masih menempel di atas kepala. Tangan Miko lalu terangkat ke pipi Rein dan mencubitnya gemas.
"Aww!!! Apaan sih, Mik!!" Rein menjauhkan tangan Miko dari pipinya berganti mengusap pipinya yang panas karena cubitan itu.
"Kenapa, sih, dari tadi bengong terus?"
Miko tadi sempat melihat kedatangan Rein. Terlihat jelas raut Rein berubah sendu saat melihatnya beradegan dengan Nesya. Miko tahu, pacarnya ini pasti cemburu. "Rein, aku mau ngasih tahu kamu."
Satu alis Rein terangkat. Telinganya belum terbiasa mendengar Miko menggunakan aku-kamu bukan lagi lo-gue seperti biasanya.
"Kamu tahu, kan, kerjaan kita kayak gimana? Aku minta kita profesional kalau lagi kerja. Aku tahu kamu tadi cemburu."
Ucapan Miko membuat Rein mengalihkan pandang. Dia tak menyangka Miko tahu dia sempat merasakan cemburu. Entah kenapa Rein tak suka, apalagi dengan ucapan Miko barusan yang mengingatkan pekerjaan mereka. Kalau yang namanya cemburu, nggak akan tahu batas profesionalitas.
"Aku balik syuting lagi ya." Miko berdiri sambil memperhatikan Rein yang mendongak dengan tatapan yang sulit dia artikan. Miko tersenyum lembut, tak lama dia menunduk dan mencium pipi Rein. "Jangan bengong ya, aku nggak suka."
Rein diam saja, hingga Miko berjalan menjauh meninggalkannya. Selepas kepergian Miko, Rein menyandarkan tubuh. Apa dia sanggup melihat Miko bermesraan dengan wanita lain sekalipun itu hanya sekedar peran? Sayangnya Rein bukan tipe wanita seperti itu. Dia memang tipe posesif dan pencemburu.
"Ahhh!!!"
Lama-lama Rein pusing sendiri. Akhirnya dia berdiri dan berjalan masuk. Dia kembali ke ruang make up, tak lagi ke ruang tengah. Bisa-bisa dia kembali cemburu atau lebih parahnya dia akan mengacaukan proses syuting. Tidak! Dia masih memiliki kewarasan untuk tak melakukan tindakan aneh itu.
***
Bisa dibilang hari ini adalah hari menyebalkan bagi Lean sejak dia terjun ke dunia entertain. Dari pagi sampai malam dia terus dibuntuti pemburu berita. Lean sampai meminta bantuan security agar tak ada yang bertindak lebih demi bisa wawancara dengannya. Belum lagi Nana yang terus menghubunginya, tapi tak pernah dia tanggapi.
"Shit!!"
Lean memaki kala ingat dengan hari melelahkan ini. Sebenarnya dia paling tidak suka kehidupan pribadinya menjadi perbincangan. Namun ini resiko bukan? Lean hanya bisa berusaha agar kehidupan pribadinya tak banyak terekspose.
Sekarang dia sedikit lega karena telah gedung apartemen dengan penjagaan super ketat itu. Tidak ada lagi para reporter yang terus mengejarnya. Dia bisa santai dan bisa berbelanja kebutuhan tanpa gangguan, seperti sekarang.
Kedua tangan Lean mendorong troli belanjaan. Besok dia tidak ada jadwal manggung. Dia berencana akan berdiam diri di apartemen. Untuk rencananya itu, dia menyempatkan diri berbelanja di supermarket yang masih satu gedung dengan apartemennya.
Drtt!!
Ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar. Dia merogoh dengan tangan kanan dan melihat panggilan masuk itu. Lean mendengus melihat nama Nana menghiasi layar ponselnya. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku tanpa menjawab panggilan itu.
"Aku nggak marah, Sayang. Beneran, deh."
Suara itu membuat Lean menghentikan langkah. Dia menoleh ke sumber suara dan melihat gadis dengan rambut dicepol ke atas berdiri membelakanginya.
"Beneran, Sayang. Aku nggak marah. Aku tahu kok kerjaan kita kayak gimana."
Perlahan Lean mendekati gadis itu. Dia berdiri beberapa langkah agar bisa mendengar lebih jelas percakapan gadis itu dengan seseorang di sana.
"Aku juga mencintaimu."
"Hemmp!!" Lean membekap mulut. Dia ingin tertawa kencang mendengar gadis di depannya itu berbicara cinta dengan nada manja. Rein lalu berbalik dan tawa Lean seketika pecah. "Hahaha!!!"
Di depannya, Rein menatap Lean dengan sebal. Dia yakin Lean pasti nguping. Ah salahkan dirinya yang terlalu asyik mengobrol dengan Miko. Rein maju selangkah dengan tangan terlipat di depan dada. "Ngapain lo ketawa? Lo nguping, kan!!!"
Lean menghentikan tawa. Dia menatap Rein yang menatapnya sambil melotot itu. Tawanya kembali muncul kala ingat dengan nada manja Rein barusan. "Gue nggak nguping. Gak sengaja denger," bohongnya.
"Gue nggak percaya sama lo!!" jawab Rein ketus. Dia berbalik, membungkuk mengambil keranjang belanjaan lantas meninggalkan Lean.
Melihat Rein buru-buru pergi, Lean mendorong trolinya dan mengejar langkah gadis itu. Sungguh, dia tidak ada niatan mentertawakan Rein. Hanya saja menurut Lean, nada manja Rein tadi begitu lucu. "Rein!! Lo marah? Gue nggak sengaja ngetawain."
Rein melengos mendapati Lean berdiri di sebelahnya itu. Ucapan Lean tak berpengaruh baginya. Dia merasa Lean menguping dan lebih parahnya mentertawakannya. Kenapa sih dia harus bertemu dengan Lean? Memang sih beberapa artis yang tinggal di apartemen ini sering berbelanja saat malam hari, lebih nyaman menurut mereka. Parahnya Rein juga lupa kalau Lean juga sering berbelanja saat malam.
"Rein. Lo ngambek, ya? Maaf."
Ucapan Lean membuat Rein menoleh dengan satu alis terangkat. "Lo minta maaf? Apa gue nggak salah denger?"
Lean mengangguk antusias. "Gue kan orangnya baik. Jadi gue minta maaf."
"Nggak nyambung."
Rein melanjutkan langkah menuju kasir. Dia lupa apa saja yang harus dia beli karena kehadiran Lean. Lagipula, mana mau dia berlama-lama di supermarket kalau ada Lean.
Di belakangnya Lean segera ke kasir yang lain sambil sekali-sekali menatap Rein. Entah kenapa dia merasa keterlaluan. Dia tak ingin orang lain menganggu privasinya tapi dia sendiri mengganggu privasi Rein dengan cara menguping.
Tidak lama kemudian, Rein keluar lebih dahulu dari supermarket. Dia baru sadar hanya mengambil dua kotak susu tanpa makanan lainnya. Seketika Rein menyentuh perut. Niat awal ingin membeli beberapa bahan untuk makan malam, ternyata gagal. "Mau cari di luar itu gue males," gerutunya.
Lean keluar dengan dua kantong belanjaan. Dia berlari mencari Rein yang mungkin masih tak jauh itu. Dugaannya benar, dia melihat Rein berdiri di depan lift dengan kedua tangan terlipat di depan perut. Dengan cepat Lean berlari mendekat.
Kruyuk!
"Laper!!!" gerutu Rein.
Diam-diam Lean tersenyum menatap Rein. "Laper, ya? Mau makan?"
"Gue maunya makan orang!" Rein memutar bola matanya malas.
"Lo makan gue aja. Gue mau kok."
Rein melotot. Dia tahu apa arti 'makan; yang diucapkan Lean. Seketika Rein melengos daripada melanjutkan percakapan absrud itu.
"Duh!" Rein menggeram merasakan perutnya kembali berbuat ulah.
Lean mengamati Rein yang terlihat kesal itu. Tapi dia juga melihat ada raut lelah di wajah Rein. Lean seketika menarik tangan Rein dan menariknya menjauh dari lift.
"Lean!!! Apa-apaan, sih, lo!!" Satu tangan Rein yang bebas memukul lengan Lean. Dia semakin sebal ke Lean, terlebih dia dalam keadaan lapar.
"Masuk!!" perintah Lean sesampainya di samping mobil.
"Nggak mau!!!" Rein berteriak kencang.
Lean membuka pintu lantas menggendong Rein masuk. Kedua tangannya menyentuh pundak Rein saat gadis itu hendak menerobos keluar. "Rein, nurut sama gue!"
Rein terdiam mendengar perintah itu. Dia menatap Lean yang menyentuh bahunya dan mengusapnya dengan ibu jari. Tindakan Lean yang cukup lembut itu membuat Rein menghentikan aksinya lalu menatap Lean dalam. "Lo mau ngapain, Le?"
"Lo laper. Kita cari makan."
Entah kenapa jawaban Lean membuat Rein tersenyum. Ternyata lelaki itu cukup peka, tapi cara lelaki itu salah. Tapi tetap saja Rein masih kesal karena tindakan lelaki itu.
Sedangkan Lean bergegas ke pintu penumpang lalu melajukan mobil dengan kecepatan sedang.