Chereads / Romantic Scandal / Chapter 3 - Tiga - Saling Mengejek

Chapter 3 - Tiga - Saling Mengejek

Puk... Puk...

Tepukan di pipi itu membuat tidur Rein terganggu. Dia menggeliat pelan dan mencoba kembali terlelap. Belum sampai dia berjalan ke arah mimpi, sebuah tepukan di pantat mendarat.

Puk!!

"Rein!!"

Rein mendengar suara tidak asing itu, suara mamanya. Perlahan dia membuka mata, emang benar ada mamanya. Bukannya beranjak, Rein malah kembali memejamkan mata karena rasa kantuk yang masih menderanya.

Tindakan Rein itu membuat Sarah—mama Rein—geleng-geleng tak percaya. Dia langsung menarik selimut yang menutupi tubuh Rein dan membuangnya ke lantai begitu saja. Setelah itu Sarah menggelitik pinggang Rein hingga anaknya itu bergerak kegelian.

"Ma. Ada apa, sih, gangguin aja? Masih pagi ini," gerutu Rein sambil beringsut ke ujung ranjang menghindari gelitikan mamanya.

"Masih pagi kamu bilang? Ini sudah jam satu siang, Rein."

Sarah naik ke ranjang dan menarik tangan Rein hingga anaknya itu terduduk. Dia menatap Rein yang sekarang duduk dengan kepala tertunduk itu. Sarah menebak kalau Rein masih memejamkan mata dan tidak mengacuhkannya. Sarah menarik napas panjang, lelah karena sulit membangunkan anak cantiknya itu.

"Rein. Kamu jadian sama Miko?"

Mata Rein perlahan terbuka mendengar nama pacar barunya disebut. Dia mengangkat wajah dan menatap mamanya sambil tersenyum. Tapi senyumnya mendadak pudar saat tidak melihat raut bahagia dari sang mama.

"Mama tahu dari gosip, kan?" tebaknya kemudian.

Sarah mengangguk. Dia memang berlangganan majalah gosip yang tebit setiap hari. Saat membaca headline dan ada nama anaknya, dia cukup tercenang. Terlebih digosip itu dikabarkan anaknya menjalin hubungan. Dia cukup kecewa karena mengetahui hal itu dari media, bukan dari mulut Rein sendiri. Makanya siang ini dia ke apartemen Rein untuk mencari tahu kebenaran berita itu.

"Gosip itu bener, Ma. Rein emang jadian sama Miko," jelas Rein.

Rein melihat seulas senyum terbit di bibir mamanya. Dia tak tahu apa yang membuat mamanya ke apartemen dan tiba-tiba menanyakan hubungannya dengan Miko hingga raut mamanya terlihat sedih itu.

"Mama sedih Rein. Kamu udah punya pacar tapi mama nggak tahu."

Mendengar ucapan mamanya, Rein merasa bersalah. Dari kecil dia memang terbiasa bercerita dengan mamanya. Tapi sejak dia sibuk dengan dunia aktrisnya, seolah ada sekat yang memisahkan mereka.

"Ma, maaf kalau mama ngerasa kayak gitu. Tapi kemarin itu nggak bisa diperdiksi, Ma. Miko tiba-tiba aja nembak Rein."

Sarah mengernyit. "Maksudnya tiba-tiba?"

Rein memundurkan tubuh hingga punggungnya bersandar di kepala ranjang. Satu tangannya menarik bantal lantas dia letakkan di atas pahanya. "Kemarin banyak reporter tanya hubungan Rein sama si Lean itu. Terus Miko yang jawab kalau udah pacaran sama Rein. Yah, ujungnya Miko nembak Rein."

Mata Sarah membulat mendengar cerita itu. "Artinya Miko nggak benar-benar pacar kamu?"

Tangan Rein bergerak ke kiri dan ke kanan. "Nggak gitu, Ma. Pas di mobil Miko nyatain perasaannya," jelasnya dengan pipi bersemu mengingat kejadian semalam. "Miko cinta sama Rein," lanjutnya dengan senyum lebar.

Melihat anaknya tersenyum itu, bibir Sarah ikutan tertarik ke atas. Dia mendekat ke Rein dan memeluknya. "Akhirnya anak mama punya pacar lagi. Dan yang pasti bukan Lean-Lean itu. Jangan sampai kamu sama dia."

Mendengar nama Lean disebut Rein melepas pelukan mamanya. Bibirnya mengerucut kala mengingat ucapan Lean saat di lift. Miko playboy!

"Loh, kok jadi cemberut gini?" tanya Sarah bingung melihat raut Rein berubah drastis.

"Inget ucapan Lean, Ma. Dia bilang Miko playboy. Miko emang playboy sih, tapi Rein yakin Miko bisa berubah. Sejak deket sama Rein, Miko nggak pernah kencan sama cewek lain. Dia juga nggak banyak ulah."

Sarah turun dari ranjang lalu bertolak pinggang. Dia ikutan kesal jika membahas anak dari musuh bebuyutannya itu. Dia lalu berjalan ke jendela kamar Rein dan membukanya lebar. Setelah itu Sarah berbalik dan menatap anaknya yang masih di atas ranjang itu. "Jangan diambil hati omongan Lean, Re. Mereka itu keturunan orang iri."

Rein mengangkat bahu. Dia sebenarnya juga enggan mengingat ucapan Lean. Tapi mau bagaimana lagi, dengan sendirinya memori itu berputar di otaknya.

"Rein, ke salon, yuk! Kamu nggak ada syuting, kan?" ajak Sarah enggan membahas Lean dan tidak ingin anaknya itu terlihat murung.

Pandangan Rein tertuju ke mamanya yang berdiri di depan pintu itu. Mendengar kata "salon" seolah ada angin segar hingga membuat Rein mengangguk antusias dengan senyum mengembang. "Siap, Ma! Udah lama juga Rein nggak ke salon. Rein pengen SPA biar relaks," ujarnya seraya turun dari ranjang.

"Cepetan! Mama tunggu!"

***

Rein dan Miko terlibat Cinlok.

"Mereka cinlok?"

Atika menoleh ke anaknya yang duduk di sebelahnya dan sedang bermain ponsel itu. Dia melihat bahu Lean tertarik ke atas lantas kembali turun. "Le, Mami tanya kamu, loh," geramnya atas respons Lean yang super cuek itu.

Seketika Lean menghentikan kegiatannya membuka Instagram. Dia menatap maminya lantas menggeleng. "Lean nggak tahu. Kan mami tahu sendiri Lean nggak pernah deket sama mereka."

"Iya, sih." Atika mengangguk pelan. Dia kembali membuka halaman tabloid yang disediakan pihak salon.

Sore ini dia ke salon untuk melakukan perawatan rambut, padahal seharusnya dia ke salon saat hari Senin, karena biasanya cukup sepi. Tapi pengecualian hari ini, dia sangat suntuk dan salon adalah pilihan tepat untuk wanita yang tinggal di kota metropolitan. Kali ini, Atika mengajak Lean sekalian, selagi anaknya itu tak ada manggung sore hari. Dia sangat beruntung, anak lelakinya itu tak sulit saat dia meminta untuk menemani ke salon.

Mata Atika bergerak membaca judul gosip di halaman berikutnya. Hingga matanya terbelalak dengan apa yang tertulis dengan tinta tebal itu. "Lean!! Apa-apaan ini?"

Lean yang masih bermain ponsel tersentak hingga ponselnya terjatuh ke lantai. Dia memungut ponsel terlebih dulu sebelum mencari tahu penyebab teriakan maminya barusan. "Apa sih, Mi?" tanyanya sambil mengusap ponsel ke kausnya.

"Baca ini, Lean!"

Lean bingung saat maminya menyodorkan tabloid itu ke depan wajahnya. Lantas dia mengernyit, bingung harus membaca yang mana. "Mi, Lean males baca yang begituan," jawabnya malas.

Atika menarik tabloid itu, lantas membaca apa yang membuatnya tadi berteriak. "Leander diduga kekasih gelap Lareina."

"Oh!"

Mendengar jawaban Lean yang super singkat itu, Atika menoleh. Dia sempat merintih saat rambutnya yang sedang ditata menjadi tertarik. Atika memperhatikan Lean yang kembali bermain ponsel seolah tidak terusik dengan judul berita tadi. "Jawabanmu cuma "oh"? Ini penghinaan, Lean. Bagaimana bisa kamu dibilang kekasih gelap Rein. Mami nggak terima. Mami harus klarifikasi ke media. Enak aja anak mami dibilang kekasih gelap."

"Mi.. Udah. Malu tahu dilihatin yang lain." Akhirnya Lean buka suara setelah mendengar ocehan panjang maminya itu. Dia mengedarkan pandang ke penjuru salon dan melihat beberapa pengunjung menatapnya dan maminya.

"Mi, itukan cuma gosip. Kenyataannya kan nggak gitu," bisik Lean menenangkan.

Atika menggeleng tegas. Kenyataannya memang tak seperti di tabloid, tapi musuh bebuyutannya pasti akan suka dengan gosip buruk ini. "Mami nggak terima. Apalagi kalau penyihir Sarah itu tahu!"

"Aku udah tahu."

Suara itu membuat Lean dan Atika menoleh. Mereka tersentak melihat Rein dan Sarah berdiri di pintu penghubung ruang SPA. Atika seketika berdiri, raut wajahnya terlihat kesal melihat senyum mengejek Sarah.

"Itukan penilaian orang tentang anakmu. Itu artinya orang menilai anakmu kekasih gelap Rein," kata Sarah dengan senyum kemenangan.

"Mama." Di sebelah Sarah, Rein berbisik. Dia merasa sebentar lagi akan ada adu mulut antara mamanya dan Mami Lean. Rein paling anti membuat kekacauan di tempat umum. Seharusnya dia tadi mencegah mamanya keluar saat terdengar suara Atika yang cukup kencang itu.

"Itu hanya karangan orang media. Orang lain nggak pernah menilai Lean seperti itu," jawab Atika tidak terima.

Lean menarik maminya hingga kembali duduk. Dia memberi kode ke penata rambut maminya agar kembali melanjutkan tugas. Setelah itu Lean menoleh ke Sarah dan Rein. "Tante sudah selesai? Bisa Tante meninggalkan tempat ini sebelum suasana makin kacau?" pintanya lembut.

Sarah mendengus. Baginya ucapan Lean adalah sebuah pengusiran. Sarah berjalan ke bagian kasir dan membayar biaya perawatannya. Setelah itu Sarah buru-buru keluar salon dengan kaki menghentak.

Sedangkan Rein masih berdiri di posisinya. Dia cukup tercenang melihat mamanya yang menuruti ucapan Lean tanpa menjawab ucapan lelaki itu. Pandangan Rein lalu tertuju ke Lean. Dari sekian banyak salon, kenapa dia harus satu salon dengan Mami Lean? Dan dari tujuh hari, kenapa hari ini dirinya bisa barengan dengan Mami Lean? Sungguh kebetulan yang tidak menguntungkan.

"Lo masih mau di sini? Sini gabung sama gue," kata Lean saat melihat belum ada tanda-tanda kepergian Rein.

Rein tersentak sadar. Dia langsung melengos lantas berjalan keluar salon.

"Ya gitu pergi dari sini. Bikin rusuh aja." Samar-samar Rein mendengar ucapan Tante Atika. Rein diam saja dan berjalan cepat mencari keberadaan mamanya.

Sedangkan di dalam salon, Lean mengembuskan napas lega. Dia kembali duduk sambil melirik maminya yang masih terlihat kesal itu. Lean baru tahu kalau Rein dan sang mama ke salon langganan maminya juga. Memang salon ini sering didatangi kalangan artis, hanya saja kenapa rasanya dunia ini begitu sempit. Setelah adanya gosip itu Lean menyadari lebih sering bertemu dengan Rein.

***

Pukul sebelas malam Lean baru selesai manggung di Moon Television. Dia berjalan seorang diri keluar dari gedung pertelevisian itu. Sambil berjalan Lean bersenandung sambil sekali-sekali melambaikan tangan ketika berpapasan dengan beberapa kru.

"Lean!!"

Lean hendak berbalik, tapi sebuah pelukan lebih dulu mendarat di tubuhnya. Hidungnya mulai mencium aroma prafum yang menyengat itu. Lantas dia menoleh dan melihat Nanalah yang memeluk. "Na. Apasih! Lepas!"

Bukannya melepas, pelukan Nana malah mengerat. Lean menarik napas panjang. Dia harus ekstra sabar jika menghadapi Nana. "Na, lepas ya," pinta Lean lebih lembut.

Usaha Lean membuahkan hasil, karena Nana perlahan melepas pelukannya. Berganti melingkarkan kedua lengannya di lengan Lean. "Pulang bareng, yuk!" ajaknya dengan manja.

Lean menatap Nana lelah. Dia sebenarnya ingin segera pulang dan bergelung di bawah selimut. Ingin menolak ajakan Nana, tapi dia yakin gadis itu tidak akan begitu saja menyerah. Setiap hari Nana hampir selalu hadir di acara yang dia datangi. Gadis itu bak stalker yang selalu membuntutinya.

"Emang lo nggak dianter sopir?" Perlahan Lean berjalan dengan Nana yang masih setia di sampingnya itu. Lean melirik Nana saat merasakan kepala gadis itu bersandar di lengannya.

"Sopir gue libur. Gue nggak boleh, ya, pulang bareng lo?" tanya Nana sambil mendongak menatap Lean.

Lean membuang muka. Jika seperti ini mau tidak mau dia akan mengantar Nana. Lean kasihan jika ada wanita yang pulang sendiri saat malam hari. "Oke deh gue anter," putusnya setengah terpaksa.

"Yeee. Makasih ya, Lean."

Cup!

Sebuah kecupan mendarat di pipi Lean. Sontak Lean menoleh dan menatap Nana dengan raut kesal. Sedangkan yang ditatap malah tersenyum lebar. Kebiasaan Nana memang seperti itu. Selalu bertindak spontan dan sesuka hati tanpa melihat situasi dan kondisi.

"Lean!! Apa ini pacar barumu?"

"Shit!" Lean menoleh dan mengumpat saat mendapati beberapa reporter beberapa langkah di belakangnya. Dia yakin, reporter itu pasti sudah merekam saat Nana mencium pipinya. Ah! Sepertinya gosip baru akan muncul lagi. Dia lupa sedang menjadi bulan-bulanan media karena gosipnya dengan Rein.

"Iya kami pacaran," jawab Nana tanpa pikir panjang. Bahkan dia langsung tersenyum ke kamera menunjukkan kebahagiaannya.

Mata Lean membulat mendengar jawaban itu. Dia buru-buru menarik pundak Nana dan mengajaknya menjauh. "Na. Apa-apaan sih lo!" makinya sambil menarik Nana menjauh dari kejaran reporter.

"Emang gue salah? Kita akhir-akhir ini deket, Lean." Nana mengeratkan pelukannya dan berlayut manja di lengan Lean. Dia sangat menyayangi Lean, lelaki yang gencar dia dekati selama beberapa bulan terakhir. Pertama kali bertemu Lean saat lelaki itu kontrol kesehatan di ruangan papanya. Tanpa buang waktu, Nana mulai mengajak kenalan. Ayolah, siapa yang tidak mau berkenalan dengan seorang artis. Sayangnya, lama-lama Nana mulai menaruh hati Lean dan tertekad akan mengejar lelaki itu.

"Deket bukan berarti pacaran, kan?" tanya Lean lelah.

Lean melihat raut kesedihan Nana. Dia buru-buru mengalihkan pandang daripada sisi ibanya muncul dan berujung membujuk Nana agar tidak menangis. Dia kemudian berjalan menuju mobil. Untuk sekarang, dia harus menghindar dari kejaran reporter. Soal Nana yang ngambek biarlah urusan nanti.