Malam ini pengunjung mall tampak lebih ramai dari biasanya dikarenakan malam ini adalah malam yang ditunggu jutaan pasangan yang ada di Indonesia. Aku hanya bisa memandangi pasangan yang berlalu lalang di luar restoran mall yang aku kunjungi. Setelah acara surprise tersebut aku bersama sahabat dan juga salah satu pacar sahabatku yang merupakan mantanku memutuskan untuk makan di restoran yang hanya berada di mall ini.
"Yun, lu yang bayar kan?" Divo bertanya meminta kepastian karena sedang melihat menu dengan mata berbinar.
Aku mengacungkan satu jempol sambil tersenyum.
"Azekkkk, makan puas-puas. Sebelum kembali menjadi anak kost," girang Erno.
"Lah, bapake lu kan banyak uang No, napa menderita banget lu kayaknya disana?" tanya Marsha.
Erno memamerkan deretan gigi putihnya. "Hehe uang nya itu ... gue itu ... gue ... apa itu, gue ...."
"Gue apa?" todong ku, yang penasaran sekaligus yakin dia pasti melakukan hal yang tidak seharusnya.
"Gua beli buku lah," ucapnya cepat.
Dera mendelik kearah Erno. "Bohong lu, bohong! Pasti buat—"
Ucapan Dera langsung terputus saat Erno membekap mulutnya secara brutal. Dengan kesal Dera memukul tangan Erno yang membekapnya itu.
"Yang ... mulut aku sakit, dibekap Erno. Mana tangannya asin. Pukul dia Yang, pukul!" adu Dera ke Gadha saat tangan Erno tak lagi membekap mulutnya.
"Hmm", gumam Gadha sambil memperhatikan smartphonenya seolah tak perduli.
Aku tau, dan bukannya aku kepedean, tapi memang kenyataanya sebenarnya dari tadi Gadha merhatiin aku diam-diam, dan mereka gak ada yang sadar akan hal itu. Sekali lagi bukannya aku gede rasa (GR). Cuma aku selalu merasakaan jika ada orang yang memperhatikan aku dan perasaanku itu, selalu benar. Karena aku selalu membuktikannya dengan menangkap basahnya saat menatapku.
"Yang, denger gak sih?" Dera menatap Gadha dengan jengkel.
"Ha iya, apa Der?" tanya Gadha yang langsung tergagap.
"Ih tauk ah, sebel!"
"Yun, boleh pesen apa aja kan?" tanya Winda mengalihkan perhatian kami semua dari Dera dan Gadha, karena saat Dera berbicara dengan Gadha pandangan langsung tertuju padanya.
"Iya ... iya, pesen aja sepuas kalian," jawabku.
Setelah selesai makan bersama, kami pun berbincang-bincang tentang perkuliahan kami masing-masing. Walaupun aku, Winda, Divo, Dera dan Gadha satu kampus. Tapi sebenarnya kita berbeda jurusan. Sedangkan Erno satu jurusan sama Divo tapi berbeda kampus. Berbeda dengan Marsha dan Evna yang berbeda jurusan dan juga berbeda kampus dengan kami semua.
"So, siapa pacar lu sekarang Yun?" tanya Erno.
"Lu kepo banget deh No. Jangan-jangan lu mau gebet si Yuna?" celetuk Dera.
"Lah bukannya dulu lu udah mau gebet gue No? Sebelum gue lu gebet, kan udah gue tolak duluan." Aku tersenyum jahil.
"Iya, lu sih Yun! Jahat banget, sama gue!" Raut Erno berpura menjadi sedih.
"Sorry No, kalo kita bersatu, nanti lagu kebangsaan kita itu Marcell-Peri Cintaku. Gue mah ogah hahaha."
"Lu sih No! Pindah agama aja gih!" usul Winda.
"Langsung kena begal mak gue kali Win, sebelum gue pindah," ucap Erno yang langsung menolak ajakan gila itu.
Divo yang masih memainkan smartphone nya tiba-tiba berceletuk," lah ... lu kan jodoh gue, Yun! Gimana sih?" Divo pun memasang tampang pura-pura kesalnya.
Aku menepuk jidat seolah melupakan hal itu. "Lah iya! Gue lupa Div! Lu kan jodoh gue ya? Maafkan lah jodohmu ini, yayaya?" ucapku sambil menangkupkan kedua tangan seakan mengikuti alur drama yang sedang dibuat mereka spontan.
Divo beracting seolah-olah sedang berpura-pura berpikir. "Oke, apa sih yang gak buat jodoh gue!" dan berlanjut dengan mengedip sebelah matanya.
"Patah ... gue patah...!" teriak Erno sambil melirik Gadha. Bibirnya mencoba menahan tawa yang hendak di pecahkan saat itu juga.
"Apa yang patah?" tanya Evna polos.
"Tangan gue! Ya ... hati gue lah Na ... Na ...," kesal Erno.
•••
Sekarang jam dua belas malam kurang, akhirnya aku sampai juga di rumah. Sumpah dah, seharian aku ngabisin waktu sama mereka. Tapi, nih rumah kenapa sepi gini sih? Tumben. Mencoba tak perduli aku berjalan menuju kamar dengan letih. Aku pingin tidur secepatnya. Aku capek.
'Ceklek'
"PREETTT PRIIITTT PROOOT", bunyi terompet menggema seantero kamar.
'Selamat ulang tahun
Selamat ulang tahun
Selamat ulang tahun Yuuuuunaaa
Selamat ulang tahuuuunnn'
Mama dan Asha menyodorkan kue yang berbeda; yang mereka bawa di tangan mereka masing masing.
"Tiup lilin," perintah mama. "Make a wish jangan lupa," lanjutnya mengingatkan.
'Semoga mereka yang ada disini; di kamar gue, selalu berada disisi gue saat susah maupun senang. Semoga gue selalu bahagia dengan adanya mereka aamiin.' Doaku dalam hati.
Setelah make a wish. Aku langsung meniup lilin dan disaat yang bersamaan hiduplah lampu kamarku. Terlihat lah ada mama dan papa yang berada di hadapanku. Di belakang mama ada adik-adikku dan ada nenek aku juga yang ternyata belum tidur. Terakhir di sebelahku ada Asha, ada Rizty, Neni dan wait— itukan Dirga? Kenapa bisa di sini?
"DIRGA?" ucapku tak percaya.
"CIEEEE ...," sorak semua orang yang ada di kamarku.
Aku tak menghiraukan sorak-sorakan yang tak penting itu. Ntah mengapa aku berjalan ke arahnya lalu menarik Dirga keluar dari kamarku membawanya ke taman belakang.
Dirga menaikkan sebelah alisnya. "Lu kangen sama gue ya?" tanya Dirga sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya dengan PD.
Alhasil aku langsung memukul tangan Dirga dengan kesal. "Enak aja, gue kangen sama lu! MIMPI LU! Lu ngapain disini?"
Dirga memamerkan senyum manisnya. "Please be mine?" ucap Dirga sambil memegang tangan GUE.
WHAT?
Apaan sih ni orang? Main nembak nembak aja! Aku menatap Dirga dengan tajam. "Mine ... mine ... mine! Main, lu sono sendirian di puhun, tuh!" ucapku yang langsung meninggalkannya sendirian.
Setelah meninggalkan Dirga aku pun menghampiri sahabatku, lalu menatap tajam mereka satu persatu. Asha, Rizty dan Neni. Oiya Neni itu adalah sahabat Rizty tapi aku juga sering main sama dia. Yaudah, berarti dia sahabat aku juga! Oke? Sip, bye!
"Apaan?" tanya Asha yang asik memakan kue coklat yang ada diatas meja.
"Kenapa dia disini?" protesku dengan memasang wajah kesal.
"Lah, kenapa? Gak apa-apa dong!" ucap Asha santai yang masih asik memakan kue coklatnya.
Rizty dan Neni yang tengah sibuk bermain uno, seakan tak perduli. Ini apaan, lagi? Tengah malem, malah main uno bukannya pulang ni anak!
"Lu gak pada pulang?" tanyaku.
"Kita nginep di sini," jawab Rizty sedangkan Neni asik dengan pemikirannya; kartu yang mana yang harus dikeluarkannya agar bisa mengalahkan Rizty.
Tiba-tiba Dirga duduk di sampingku. "Lu gak pulang?" tanyaku dengan meliriknya sekilas.
"Nginep!" ucapnya santai dengan sibuk memainkan iPad yang berada ditangannya.
Aku melotot ganas ke arah Dirga siap mencakarnya. "Gak boleh, pulang lu!" usirku dengan kejam.
Tiba-tiba ada sebuah bantal yang mengenai kepalaku dengan keras. Siapa sih ni yang ngelempar? Aku pun mencari asal muasal masalah. Ternyata si Ashiong.
"Biarin aja kali Yun, kasian udah malem. Nyokap lu ngijinin kok. Tidur di kamar tamu aja, tadi nyokap lu bilang," bela Asha.
Aku berdiri sambil berkacak pinggang menatap Asha. "Lu mah nyebelin ah, gak asik! Gue bete! Gue mau tidur aja, Bhay!" Aku kesal mendengar pembelaannya aku pun berjalan menuju kamar dengan kesal.
"Ngambek ... ngambek!" ledek Asha.
"Kejar Dir," perintah Asha.
Dirga yang tadinya duduk di kursi tiba-tiba menyusul dan berdiri di hadapanku. Pengen banget rasanya aku tonjok ini anak! Kerjain aja kali, ya?
Aku tersenyum manis, semanis-manisnya sampai ngebuat yang ngeliat pun aku yakin akan diabetes. "Dirga?" panggilku dengan suara lembut.
Dirga menganggukkan kepalanya, dengan senyuman yang ikut tersungging di bibirnya.
"Gua laper Dir. Beliin gue bakso dong," pintaku dengan bibir yang dimonyongin imut untuk menggodanya.
"Bakso? Bukannya lu lagi program diet?" ingatnya.
Skak-mat! Tau dari mana ini anak? Elah! Kan aku niatnya mau ngerjain dia supaya out dari rumah, aish!
"Gua laper banget Dir. Belum makan. Gua pengen bakso," lirihku agar Dirga luluh.
"Bukannya lu tadi makan-makan, neraktir sahabat lu?" tanyanya lagi.
Ah kampret! Siapa sih, yang ngasih tau ni anak? Nyebelin!
"Gua gak makan dir, gak nafsu tadi gue." Aku berbohong karena masih berusaha merayunya.
Dirga menghela nafasnya, seolah menyerah dan akan menuruti semua keinginanku. Melihat itu membuatku langsung mengulum senyum agar tak ketahuan sedang mengerjainya.
"Gue tau, lo pasti bohong kan? Udah, makan buah aja deh lu, buat ganjal perut. Sekarang udah malem, nanti lu bakal gagal diet kalo makan bakso yang banyak lemaknya itu."
Sialan! Kirain udah luluh. Lagian, ini anak kenapa sih? Dimana-mana cowok itu ya, kalo ceweknya diet ya marah. Bukannya nyetujiin diet gini. Ah bete! Akukan mau ngerjain dia, biar dia gak keliatan di mata gua sejenak.
"Lu aneh deh. Dimana-mana cowok itu gak setuju kalau ceweknya diet, nah lo malah setuju. Terus pake nyaranin gue makan buah. Guekan pengen bakso, Dir! Bukan buah," rutukku sebal.
Dirga hanya diam cengo dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Dir lu kenapa cengo gitu kek ikan koi," tanyaku.
"Lu tadi bilang apa?" tanyanya dengan ekspresi yang— uh ... gak banget.
"Apaa?" tanyaku balik.
"Lo nerima gue?"
"Nerima apaan sih Dir?" tanya aku kesal. Ni orang minta ditendang mulutnya, biar lancar ngomong.
Dirga memegang bahuku dengan lembut. "Lu bilang, kalo lu cewek gue Sya."
"Gue gak ada bilang gitu!"
"Ada! Lu bilang 'Dimana mana kalau cowok itu gak setuju kalau ceweknya diet nah lo malah setuju'—"
"Arggh ... SHIT! GUE SALAH NGOMONG!"
•••
Diriku saja tak mampu mengobati luka ini
Apa lagi dirimu yang ingin menghapusnya
Hatiku saja tak mampu kususun kembali
Apalagi dirimu yang ingin menempatinya
Cobalah tuk mendekat
Tapi jangan pernah kau coba tuk memiliki
Cobalah tuk mencinta
Tapi jangan pernah kau coba pinta tuk kembali dicintai
-Yuna Resya Tirka
•••