Chereads / I Don't Care About Love / Chapter 18 - Ini Baru Awal

Chapter 18 - Ini Baru Awal

'Bruk'

Tubuhku terpental mundur, untungnya aku bisa meyeimbangkan badan sehingga tak berakhir jatuh di lantai. "Adaw!!!" teriakku sembari meringis kesakitan.

"Eh ... eh ... sorry sorry." Ucap lelaki yang bertabrakan denganku.

Saat aku menoleh ke arahnya, mataku menyipit, mengenali lelaki di hadapanku ini."Loh? Bimo?" ucap gue terkejut saat melihat kehadiran Bimo.

"Siapa ya?" tanyanya dengan memicingkan mata seolah mencoba mengingat, siapa aku?

Masa cewek secantik aku, bisa lupa sih?

Kupelototi dirinya dengan kesal, aku merasa tersinggung dengan pertanyaannya. "Lu mah lupa sama gue!" teriakku merajuk.

Dia tampak serius benar-benar kebingungan, namun sedetik kemudian dia tersenyum seolah mengingat sesuatu yang ia lupakan. "Oiya ... lu Yuna, sahabatnya Winda ya?"

"Gak! Gue Yuna, pembokatnya Winda ...," ketusku dengan meliriknya sinis. Dia diam sambil mengerutkan dahinya. "... yaiyalah sahabatnya Bim, Bim! Lo gimana sih? Pake tanya segala!" dengusku dengan jengkel. Aku menggaruk pelipisnya dengan wajah merasa tak enak. Aku segera mengganti topik agar tidak terlalu canggung. "Eh ... btw lu kok, gak pernah dateng lagi kalo kita ngumpul?" kutatap dirinya penasaran.

"Ehm ... Winda gak cerita? Gue udah putus sama Winda," lirihnya yang terlihat sedih.

Putus? Tapi, bukannya masih berhubungan, ya? Yaudah ah tanya aja.

Kami pun mengobrol singkat sembari berjalan beriringan. "Masa sih? Tapi keliatannya kalian masih pacaran, Winda gak ada cerita tuh kalo kalian putus."

"Di sana aja yuk? Lo gak sibuk kan?" ajak Bimo sambil menunjuk salah satu cafe yang ada di mall ini.

"Gak kok, gue lagi bosen aja dirumah. Pengen jalan-jalan."

Saat berada di cafe tersebut. Bimo langsung memesan minuman, sedangkan aku? Menunggu Bimo di tempat yang aku pilih. "Nih," ujarnya sambil menyodorkan chocolate float.

"Jadi, sebenarnya hubungan lo gimana sih sama Winda?"

"Yaaa gitu deh. HTS-an gitulah. Gimana ya ...? Rumit pokoknya," curhatnya dengan sendu.

"Lah kenapa gak balikan aja?"

Bimo menghela nafasnya. "Si Windanya belum mau balikan Yun, dia bilang kalo kita gini aja, ini lebih baik dari pada pacaran, kita suka berantem."

"Emang kalian kalo berantem masalah apa?" tanyaku semakin penasaran.

Bimo diam sejenak berpikir. "Biasalah, kayak gue lupa bilang mau kemana, gue lupa jemput dia, terus lupa bawa hp jadi gak bisa—"

"Lo serba lupa ya? Kacau banget otak lo kayaknya! Sama gue juga lo lupa! Jadi siapa yang lo ingat?" omelku dengan jengkel.

Bimo pun menyengir memamerkanderetan gigi putih nya. "Winda lah yang gue ingat. Iya gue kacaw, kacaw karna cinta Winda," ucapnya sembari tertawa sumbang.

"Duh lebay banget dah ni orang macam die nye aje yang punya cinta," ledekku.

Bimo pun terkekeh. "Eh ... sebagai sahabat, menurut lo Winda mau gak ya balikan lagi sama gue?" Dia mengganti topik, wajahnya terlihat serius bercampur menyedihkan.

"Maulah, dia 'kan cinta sama lo."

"Yakin lo?"

"Yakinlah!"

"Kok gue gak yakin ya? Gue takut aja dia bakal berpaling."

Aku mendapatkan sebuah ide, dengan tersenyum aku berkata, "Lo, mau gue bantuin gak balikan sama Winda?" Bimo terlihat terkejut, wajahnya langsung berseri senang. "Tapi ada syaratnya," ucapku sebelum dia keburu senang.

"Apa?" tanyanya cepat.

"Ajak Dera ya?" pintaku.

"Terserah deh, yang penting gue balikan," jawabnya dengan bibir yang tertarik senyum

Aku langsung mengambil handphone yang ada di tas, aku hendak menghubungi Dera.

"Assalamualaikum," salamku ke Dera.

"Walaikumsalam Yun, ada apa?" jawab Dera diujung telepon.

"Lo lagi dimana? Bisa ke cafe D'Qios gak?" tanyaku.

"Lagi dijalan sama Gadha. Oke gue kesana ya," ucapnya yang langsung menerima ajakkanku.

"Oke gue tunggu."

Aku meletakkan handphone diatas meja dan menatap Bimo dengan tersenyum.

"Gimana?" tanya Bimo.

"Lagi otw kesini."

Sembari menunggu Dera, aku dan Bimo ngalor ngidul cerita-cerita tentang kehidupan kami masing-masing.

"Eh sorry lama ya gue?" tanya Dera yang muncul sendirian.

Aku bercipika-cipiki dengan Dera. Setelah itu Dera bersalaman dengan Bimo. Setelah itu Dera langsung duduk disebelahku. "Ada apa nih?" tanya Dera.

Aku menyuruh Bimo untuk menjelaskan yang apa yang kami rencanakan sebelumnya.

"Gue mau minta bantuan kalian. Bantuin gue untuk buat Winda mau balikan sama gue," jelas Bimo.

"Oke kita bisa bantu kok," ucap Dera.

"Aha ... gua punya ide. Kita booking aja tempat sepupu lo itu Der. Cafenya kan ada kolam renang, nanti kita bisa buat romantis dengan lilin-lilin gitu dipinggir kolam," ucapku bersemangat.

"Owh yaya, boleh juga. Emang lo mau tanggal berapa Bim?" tanya Dera.

"Tanggal satu desember aja. Kami kan dulu jadian tanggal satu," ucapnya.

"Oke tanggal satu ya? Fix?" tanyaku memperjelas.

"FIX!" ucap Bimo semangat.

"Eh gak ajak sahabat kita yang lain?" tanya Dera.

"Nanti aja Der. Gue yang atur mereka. Lo atur tempat aja ya?" ucapku ke Dera.

"Oke."

Bimo melihat jam tangannya. "Ya ampun gue lupa ada janji. Gue duluan ya?" Ia langsung berdiri pamit.

"Bye!" teriakku sambil melambaikan tangan pada Bimo yang terlihat terburu-buru.

Setelah Bimo pergi Dera bertanya, "Lo kok bisa ketemu sama Bimo yun?"

"Kebetulan aja tadi. Kasian gue sama dia. Pengen balikan tapi temen lu tuh si Winda banyak alasan. Padahal masih cinta ya kan?"

"Iya si Winda mah gengsi padahal cinta. Eh lu bawa mobil?"

"Gak, gua naik taxi tadi kesini males pake mobil," jawabku berbohong karena hendak melakukan sesuatu.

"Yaudah bareng aja sama gua Gadha," tawarnya tanpa ragu.

Aku bersikap terkejut dengan berkata, "Loh ... ada Gadha? Bukannya lu sendiri?" tanyaku

Dera menjitak kepalaku pelan.

Kampret ni anak jitak jitak.

"Eh odong gua kan bilang kalo lagi sama dia," jelasnya.

Gue terkekeh pelan. "Oiya ... gue lupa hehehe."

Pura pura lupa tepatnya! Gue ingat jelaslah yang dia bilang soal Gadha, mana mungkin gue lupa.

"Yuk ikut gue aja. Gue anter lu!"

Tidak ingin muraham dan untuk menjaga gengsi, aku berikap pura-pura memikirkan ulang ajakannya. "Hmm ... gimana ya? Gak enak gue Der, gue nanti ganggu lagi."

"Gak ganggu kok, yuk!" ucapnya yang langsung narik tanganku untuk ikut dengannya.

Kami berjalan menuju parkiran. "Kenapa Gadha gak ikut masuk aja tadi Der?" tanyaku penasaran.

"Dia ketemu temennya tadi. Jadi dia ngobrol sama temennya," jelas Dera.

"Owh gitu ...."

Setelah sampai di depan mobil Gadha. Dera masuk ke pintu depan duduk sebelah Gadha. Gue juga ikut masuk dan duduk dibelakang. "Yang ... kita anterin Yuna dulu ya?"

"Oke Der," jawabnya singkat sambil melirik ke arahku melaluli spion dalam mobil.

Perasaan aku atau memang begitu? Aku heran sama si Gadha kalo ada aku atau sama aku gak pernah banget manggil si Dera pake Yang. Pasti Der Der Der. Apa dear ya? Kan bahasa Indonesia-nya dear sayang. Bisa jadi juga sih. Ah ... egp-lah, yang penting rencana yang udah aku susun lanchaaar, selancar jalan tol.

"Sunyi banget," Dera pun menghidupkan radio mobil Ghada. Karena tak ada yang berbicara setelah mobil melaju.

Terdengarlah lagu Ariana Grande, menemenai perjalanan akward kami. Ah ... ini lagu kesukaanku, Almost Is Never Enough. Gadha juga tau aku suka lagu ini. Aku nyanyiin aja kali ya? Saat Ariana mulai menyanyi, aku pun ikut bernyanyi.

'I'd like to say we gave it a try

I'd like to blame it all on life

Maybe we just weren't right, but that's a lie, that's a lie'

Aku mencuri pandang ke arah Gadha melalui kaca mobil.

'And we can deny it as much as we want

But in time our feelings will show

'Cause sooner or later

We'll wonder why we gave up

The truth is everyone knows'

Aku nyanyikan lagu tersebut dengan suara cukup kencang.Gadha pun mulai berani mencuri-curi pandang ke arahku melalui spion dalam mobil. Sedangkan Dera, ia hanya diam mendengarkan tak menyadari apa yang sedang terjadi antara aku dan pacarnya.

'Almost, almost is never enough

So close to being in love

If I would have known that you wanted me

The way I wanted you

Then maybe we wouldn't be two worlds apart

But right here in each others arms

Here we almost, we almost knew what love was

But almost is never enough'

Seutas senyum terbit di bibir Gadha saat ia menatapku melalui kaca spion dalam mobil; yang gunanya untuk melihat keadaan belakang mobil.

Sekarang giliran lirik Nathan Sykes. Dan tanpa aku sangka-sangka, Gadha ikut menyanyikannya.

'If I could change the world overnight

There'd be no such thing as goodbye

You'll be standing right where you were

And we'd get the chance we deserve'

Gadha masih sesekali menatapku melalui kaca spion, senyumannya pun masih mengembang.

Aku memperhatikan Dera yang tiba-tiba menatap Gadha yang masih bernyanyi dengan diam.

'Try to deny it as much as you want

But in time our feelings will show'

Gadha yang tak sadar atau berpura tak sadar tetap melanjutkan nyanyiannya tanpa menghiraukan tatapan Dera.

Dan ini, lirik Ariana dan Nathan sama-sama nyanyi. Aku dan Gadha pun bernyanyi sama-sama tanpa kami rencanakan.

'Cause sooner or later

We'll wonder why we gave up

The truth is everyone knows

Almost, almost--'

'Tuttt'

Radio pun dimatikan oleh Dera, yang sepertinya berubah kesal setengah mampus. Aku sangat senang, sayangnya aku Cuma bisa ketawa jahat dalam hati.

"Ups ...," ucapku pelan dengan sengaja.

"Kok dimatiin sih Der?" tanya Gadha dengan bodohnya, masa iya dia gak peka ceweknya marah?

"Gak suka lagunya jelek," jawab Dera asal terdengar ketus.

"Gak jelek kok, bagus tau. Kamu tau gak waktu aku nonton konsernya Ariana? Dia keren banget nyanyi lagu itu. Iyakan Yun?" tanya Gadha padaku meminta dukungan.

Aku mencoba bersikap merasa canggung dan gak enak hati. "Eh ... ehm, iya keren kok," ucapku pelan.

Biar dikira gak enak hati gitu.

"Aku gak nonton." Dera terdengar semakin kesal.

"Duh, sayang banget loh kamu Der. Padahal keren banget, seru ... walaupun--"

"Walaupun, lu dimintai tolong sama ibu-ibu gendongin anaknya yang gak keliatan," potongku dengan maksud menyeretnya untuk menceritakan masa lalu hubungan kami kepada pacarnya.

Gadha tertawa, dia sepertinya masuk dalam jebakanku dengan mulus. "Iya tuh Yun. Untung gue baik, jadi gue mau aja. lo tau gak sih? Itu gila banget, bayangkan selama konser gue gendong tu anak, mana berat. Terus gue cuma dapat kata terima kasih, miris cui," keluh Gadha sambil mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu; saat kami nonton konser bersama.

Aku tertawa dengan puas mengingat betapa menderitanya Gadha waktu itu dan menderitanya pacarnya saat ini. "Sumpah ya! Gue antara pengen ngakak sama kasian ngeliat lo waktu itu Gadh! Ya ampun ... itu ibu-ibu, kalo dipikir laki nye kemana sih? Pengen nonton, tapi bawak anak, ngerepotin orang aja."

Gadha mengangguk setuju. "Iya tuh lakinya gak bertanggung jawab banget ya Yun? Untung deh gue baik Yun."

"Untung-untung tapi lu ngeluh juga," protesku.

"Yun udah nyampe nih, lu gak mau turun?" sindir Dera saat mobil Gadha baru saja berhenti di depan rumahku.

"Ya ampun ... iya. Mampir gak--"

"Gak," potong Deras ketus.

"Makasih ya atas tumpangannya, maaf ganggu waktu kalian," pamitku yang langsung turun dari mobil.

"Ganggu banget malah," terdengar rutukan Dera dengan sangat pelan namun masih bisa gue dengar.

Aku bergegas menutup pintu mobil dan berdiri menunggu mereka pergi.

'Tin'

Aku mengangguk lalu melambaikan tangan, ke arah mereka.

"Sampai jumpa dipermainan gua episode pertama Der, hari ini baru prolognya saja."

Ini awal belum akhir

Nikmati dan rasakanlah

Kupastikan akan indah untukku

Dan menderita untukmu

-Yuna Resya Tirka