Satu bulan setelah pertemuan terakhirku dengan Marsha di rumahnya, aku kembali berkumpul dengan mereka di salah satu tempat makan. Hari ini lengkap karena mereka semua sudah berjanji untuk datang.
"Gimana kuliah kalian?" tanya Evna membuka pembicaraan.
Aku yang sedang menghubungi Marsha dan Winda hanya melirik sekilas kearah Evna.
"Ya gitulah. Tinggal satu kali kesempatan lagi buat bolos," ucap Divo terlihat wajahnya sangat lesu saat mengatakan itu.
Dengan kejam Erno yang duduk di samping Divo langsung menempeleng kepala Divo. "Lu mau jadi mahasiswa abadi, bolos kuliah mulu?"
Divo pun membalas perbuatan Erno dengan tak kalah kejam.
"Eh udah ... udah, ribut kali kalian ini," lerai Evna dengan logat bataknya.
"Hai guys ... sorry gue telat." Dera menyapa kami semua sambil menggandeng Gadha di sampingnya.
Dera mengambil tempat duduk di samping Evna yaitu didepan Erno. Sedangkan Gadha yang duduk di samping Dera berada tepat di hadapanku.
"Gadh jangan natap Yuna penuh nafsu gitu dong," tiba-tiba Erno berceletuk asal seperti biasanya. Ya sangking asalnya dia ngomong, gak dipikirin lagi perasaan sahabat tercintanya.
Aku yang duduk di sampingnya merasa tak tahan menahan kesabaran dengn menempeleng kepala Erno dengan jengkel.
"Aih dah! Bisa bego gue nanti, kalo di tempeleng mulu," keluhnya sambil mengelus kepalanya dengan raut minta kena tambah tempeleng.
Tak lama Winda datang bersama Marsha.
"Kalian bareng?" tanya Dera kepada keduanya.
Winda tak mengindahkan pertanyaan Dera, ia malah meminta maaf karna telat. "Sorry gue telat."
Begitu juga dengan Marsha. Ia malah duduk di bangku kosong samping Gadha. "Gue juga, sorry telat." Tiba-tiba Marsha melirik Gadha sinis. "Perasaan gue. Kalo kita ngumpul gak dibolehin bawa pacar deh."
"Bukan gak boleh, Sha. Tapi ... di sarankan gak usah bawa pacar, nanti bisa-bisa DIEMBAT TEMEN SENDIRI, lagi." Aku tau, yang di katakan Winda itu adalah ungkapan dari hatinya atas kekesalannya pada Dera. Ntah Dera sadar atau gak, kalo sebenarnya Winda sedang menyindirnya abis-abisan.
Aku melirik Dera yang hanya membisu sejak kedatangan keduanya tidak seperti dia sama sekali, sesekali ia melirik Marsha dan Winda, sedangkan keduanya langsung menatap Dera sengit, tanpa merasa tak enak hati. Suasana ini sangat berbeda dengan beberapa bulan yang lalu, waktu terakhir kali kami semua bertemu.
Keadaan hening dan mencekam ini terasa lama, untunglah tak lama pelayan datang membawa makanan dan minuman yang sudah aku pesan saat aku pertama kali datang.
"Makanan dan minumannya udah gue pesan sesuai kesukaan kalian," ucapku memberi tahu mereka semua.
"Loh si Gadha juga, Yun?" tanya Divo dengan wajah polosnya. Sangking polosnya pengen aku coret-coret tuh muka biar ada karyanya. Sialan si Divo, aku tahu maksud lo biadab!
Gak mungkin dengan keadaan seperti ini mengumpatinya 'kan? Aku akhirnya cuma bisa mengangguk dan tersenyum mematikan kearahnya.
"Yaiyalah, masa gak tahu makanan dan minuman kesukaan mantan. Ya gak, Yun?" ucap Erno.
Erno benar-benar ingin cari mati sepulang dari sini! Tapi bukan aku yang bunuh dia kayaknya, aku sedng tidak ingin membunuhnya. Karena aku sedang bahagia menikmati suasana mencekam seperti saat ini.
Dera seakan tak perduli, ia malah mengambil makanan Gadha dan memberikannya. "Nih ... Yang," ujarnya lembut. "Mau aku suapin?" lanjutnya menawari Gadha bala bantuan.
Please deh, mau kayak aku dulu sama Gadha, ea? Gak mungkin!
"Gak usah SOK romantis juga kali di depan kita, mau nyombong udah dapetin mantannya sahabat sendiri?" Ini yang dikatakan Marsha bukan sindiran lagi, melainkan ... yeah you know!
Gadha yang sadar diri, langsung merasa tak enak hati. "Udah, aku makan sendiri aja Der."
Kami semua pun makan dalam diam, berbeda seperti dulu yang disela-sela makan diiringi canda tawa. Tapi sekarang? Malah seperti neraka. Setelah aku selesai makan lebih dahulu seperti biasanya, aku pamit ke toilet.
Tak butuh waktu lama untuk buang air kecil, saat aku melangkahkan kaki keluar dari toilet dengan santai aku terkejut. "Loh, Gadh? Ngapain lu berdiri di depan pintu toilet?" tanyaku saat mendapatinya di depan pintu toilet wanita. "Nungguin Dera ya?" lanjutku bertanya. Namun, ia langsung menggeleng.
"Gak, cuma pengen ketemu lo aja. Udah sebulanan kita gak ketemu yah? Terakhirkan waktu hari jadi kita."
Hari jadi bapak lo melahirkan! Setres ni cowok!
Aku menyunggingkan senyum sinis. "Hari jadi kita? Hahaha lo lucu! Kan kita udah putus." Sadar Gadh, sadar! Apa perlu aku sadarin pake air keras?
Aku terkejut saat tangan Gadha tiba-tiba menarikku untuk ikut dengannya. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa pasrah; tepatnya sengaja pasrah mengikuti tarikannya menuju taman restoran ini. Ia mengajakku untuk duduk di salah satu kursi taman, dan aku pun menurutinya.
"Bukannya gue belum iya-in, waktu lo mutusin gue Yun?"
Aku kembali mencoba mencerna ucapan Gadha. Biadab! Ya Tuhan, antrean neraka jahanam masih panjang gak, sih? Bisa gak dia duluan yang di lempar ke neraka jahanam?
Aku yang tanpa sadar mengerutkan dahi, baru sadar saat Gadha mengelus dahiku dan berkata, "jangan dikerutin gitu. Nanti lo bisa keriput, gak cantik lagi deh."
Aku sama sekali gak merasa pipiku panas akibat tersipu malu or anything like that. Aku malah refleks meliriknya sinis. "Maksud lo apa?!"
"Iya, gak usah dikerut—"
"Bukan! Maksud lo apa? Tentang putus kita itu," tanyaku memperjelas.
"Iya, kan lo mutusin gue tanpa persetujuan gue Yun. Kalo pacaran harus ada persetujuan kedua belah pihak, berarti kalo putus gak boleh hanya persetujuan satu pihak, dong? Gak adil 'kan, namanya?"
Aku mencoba menahan sabarku sebisa mungkin. Tapi tolong, kalau aku ngamuk jangan di halang-halangi! "Lo jurusan apa sih? Gue berasa lagi belajar bisnis, omongan lo persetujuan-persetujuan!"
•••
Sementara di tempat yang berbeda.
Author pov
"Duh kayaknya sang pacar mengejar cinta lamanya nih." Lagi-lagi Marsha ingin mencari masalah.
Bukannya melerai atau mengganti topik Divo malah ikut-ikutan. "Cinta lama itu susah buat—"
Belum selesai Divo berbicara Dera sudah berteriak. "MAKSUD KALIAN APA SIH?!"
"Gak usah teriak-teriak kali, gue gak budeg!" protes Winda.
Dera menghela nafasnya mencoba untuk bersabar. "Kalian kenapa? Kita di sini mau ngumpul 'kan? Mau quality time 'kan? Tapi kenapa dari tadi kalian sinis sama gue? Gue ada salah sama kalian?" tanya Dera dengan menatap satu persatu sahabatnya.
Marsha tersenyum sinis. "Ada salah? Lo masih bilang ada salah?"
"Gue salut sama Yuna yang bisa maafin lo! Bahkan gak benci sama lo! Padahal 'kan lo harusnya dibenci! Udah salah, masih nanya salah apa?! Gak punya otak!" Winda ikut menimpali dengan perkataan yang sangat tajam.
Erno yang melihat suasana sudah tak sehat lagi langsung melerai. "Apaan sih kalian bertiga!" bentaknya.
"Udah udah kalo ada masalah selesain baik baik." Kali ini Divo tak ikut memanasi melainkan melerai sahabat-sahabatnya yang menurutnya sama-sama salah paham.
"Gak perlu! Mendingan gue pulang. Masih banyak kerjaan yang lebih penting!" Winda beranjak dari duduknya, tanpa pamit dengan baik ia langsung saja berjalan menuju pintu keluar.
"Gua juga!" ucap Marsha yang mengikuti Winda pergi.
Yuna yang baru saja datang sendirian berserobok dengan Winda dan Marsha. Ia langsung berhenti berjalan, menatap keduanya dengan bingung.
"Loh Win ... Sha? Kalian mau kemana?" tanya Yuna.
"Pulang," jawab Winda dan Marsha berbarengan. Keduanya langsung bergantian bercipika-cipiki dengan Yuna.
Disela-sela cipika-cipiki keduanya sama sama berkata, "gue salut sama lo!"
Yuna membiarkan keduanya pergi, setelah itu ia kembali berjalan menghampiri Evna, Dera, Divo dan Erno.
"Ev, mereka berdua kenapa?" bisik Yuna ke Evna mencari tau akar masalah yang terjadi.
Belum sempat Evna menjawab, Gadha pun datang menghampiri Dera. "Kamu dari mana aja, kok lama?" tanyanya.
"Aku pembuangan besar dulu tadi," jawabnya sambil menyengir.
"Pulang yuk?" ajak Dera dengan nada sedikit merengek.
Tanpa persetujuan Gadha yang belum sempat menjawab ajakannya langsung saja berpamitan. "Guys ... gue pulang dulu ya?" setelah mengatakan itu ia langsung menarik Gadha keluar restoran.
"Kok jadi gini sih?" tanya Yuna meminta penjelasan kepada ketiga sahabatnya yang masih tersisa sama seperti saat awal sebelum kedatangan empat lainnya. Dengan cepat ketiga sahabatnya pun serempak mengedikkan bahu.
"Kayaknya mereka bertiga lagi ada masalah yang serius. Gue jadi kepo. Apa perlu kita selidiki?" usul Divo. Hanya dia yang memberikan respon positif.
"Leh ug—"
"Gak usahh deh. Palingan masalah yang biasa. Kayak lo baru gabung aja sama kita. Setiap tahun kan pasti ada aja masalah," potong Yuna dengan cepat.
"Yaudah deh." Divo mengangguk, ia baru teringat apa yang di katakan Yuna memang benar, palingan cuma masalah biasa.
"Dah, ah ... gue mau pulang aja," pamit Yuna kepada ketiga sahabatnya. "Ev? Lo mau bareng?" tawar Yuna menoleh ke arah Evna.
Evna tersenyum malu. "Lu tau aja," ucapnya.
Yuna dan Evna berpamitan kepada Divo dan Erno yang masih ingin tinggal. Mereka berdua berjalan melewati pintu keluar menuju mobil Jazz berwarna ungu Yuna.
Setelah Yuna dan Evna hilang di balik pintu keluar. Seorang pelayan menghampiri Divo dan Erno. "Mas ini bill nya," ucap sang pelayan.
Divo dan Erno saling menatap satu sama lain. Baru sadar bahwa mereka dikerjain, Divo dan Erno pun berteriak berbarengan, "YUNA KAMPREEETT!"
Berbeda dengan Divo dan Erno yang kesal setengah mati. Yuna dan Evna tertawa terbahak-bahak membayangkan ekspresi Divo dan Erno yang kesal saat tahu makanan itu belum dibayar oleh Yuna.
•••
Ini pelajaran
Bukan kepuasan yang aku inginkan
-Yuna Resya Tirka
•••