"Yun, lu mampir dulu deh ke rumah gue. Mama Papa gue lagi pergi nih, gue kesepian kalo harus sendiri," pinta Evna saat mobilku berhenti tepat di depan rumahnya.
Aku langsung mengangguk setuju karena aku sebenarnya juga malas pulang cepat-cepat. Mana tau ini menjadi permintaan terakhirnya. "Okey. Lo turun gih, gue mau parkir di dalam aja," perintahku.
Evna keluar dari mobilku, lalu membuka pagar rumahnya. Aku yang sudah memarkirkan mobil dengan baik dan benar mematikan mesin mobil dan berjalan mengikuti Evna ke kamarnya.
"Jadi gimana di asrama, asik gak?" Sejujurnya aku penasaran dengan kehidupan asrama itu.
"Ya gitu deh ... makannya tersiksa banget, kalo pagi sarapannya cuma tempe sama tahu. Gue aja jadi jarang makan," keluhnya mengingat penderitaan yang dialami saat berada di asrama.
Evna membuka kulkas kecil yang di letakkan di sudut kamarnya. Ia mengeluarkan cemilan beserta soft drink simpanannya.
"Tapi ... gue liat lo makin gendut bukan makin kurus."
"Gendut?" tanyanya sambil menatap dirinya melalui cermin. "Nanti juga kurus," lanjutnya yang berbaring di atas kasur seakan tak mempermasalahkan bentuk badannya saat ini. "Sakit gak sih Yun?" tanya Evna yang membuatku mengerutkan dahi karena tak mengerti dengan pertanyaan yang dia berikan.
"Sakit kenapa?"
"Iya sakit gak sih, bukan lo lagi yang gandeng Gadha kalo kita ngumpul, bukan lo lagi yang pulang-pergi bareng Gadha kalo kita ngumpul, dan bukan lo lagi yang mesra-mesraan dengan Gadha kalo kita ngumpul?"
"Lo mau tahu?" tanyaku dan diangguki semangat oleh Evna.
"Suatu saat lo bakal ngerasain."
Aku terkejut saat ia melempar bantalnya. "Ih ... jahat banget lo, amit-amit deh jangan sampe. Lo tega, ih ... Yun doain gue gitu." Evna mendumel tak karuan.
Aku yang tadinya duduk di kursi belajarnya berpindah ke tempat tidurnya lalu berbaring disebelahnya. "Katanya lo mau tau. Lo rasain aja sesakit apa digituin," ucapku yang memberi usul dengan terkekeh.
"Tap—"
'Ting nong ... ting nong ...'
"Bonyok lo?" tanyaku saat mendengar bunyi bel rumah Evna.
Evna mengedikkan bahu sambil berjalan keluar melihat siapa yang datang. Karena penasaran, aku pun berjalan mengintilinya.
'Ceklek'
"Loh kamu ngapain? Kok gak bilang dulu," tanya Evna yang kelihatannya sedikit terkejut akan tamunya.
Aku mengintip di balik bahu Evna dan dengan penasaran berbisik, "siapa Ev?"
Bukannya menjawab ia malah menyilahkan tamunya untuk masuk.
"Masuk Den."
Aku yang masih di landa penasaran mengikuti Evna dan teman cowoknya itu duduk diruang tamu. Selain penasaran aku juga terpesona, soalnya cakep uii. Eits ... tapi kayaknya gebetan Evna deh. Dapat dari mana dia, cowok secakep ini? Padahal 'kan Evna di asrama, kalah aku kalah! Aku aja gak dapet dapet, padahal di kampus cowok seabrek.
"Yun kenalin, ini Dendi temennya Dera juga," ucap Evna yang akhirnya mengenalkanku dengan si cokep ini. Ingat ya, cokep bukan bokep!
"Yuna," ku ulurkan tangan yang langsung di sambut olehnya.
"Dendi," ujarnya.
Setelah berkenalan keduanya hanya diam. Mungkin canggung? Apa karena ada aku di sini. Hmm ....
"Kok temannya Dera datang kesini Ev? Salah alamat ya? Alamat palsu dong." Mulutku emang gatel kalo udah gak tahan ngeledek si Evna hahaha.
"Bocod lu!" ketus Evna dengan lirikan mengancam. Nyantai Ev! Mau gue embat juga?
Tiba-tiba Evna langsung berkata, "maaf ya, Den. Yuna emang gitu omongannya, gak waras."
Dendi yang mungkin masih malu-malu hanya tersenyum lalu mengangguk.
Lagi-lagi mulut gue gatel untuk ngusilin si Evna. "Ooo ... kalian pedekate yaaaa?" tanyaku lagi dengan resek.
Kali ini Evna mendelik tajam ke arahku sambil meremas pahaku yang berada di dekatnya. Biadab! Sakit mak jang!
"Iya," jawab Dendi yang buat aku dan Evna sama-sama melongo. Ini dia polos? Atau bangsat? Atau polos-polos bangsat?
Seketika aku menjadi sadar diri, merasa menjadi penghalang Dendi buat PDKT sama Evnaaku pun hendak berniat pamit saja. "Widihhh ... kalo gitu, gue pulang aja deh." Aku bergegeas ngacir keluar rumah Evna tanpa ba-bi-bu.
Saat sedang berjalan memasuki mobil dan langsung menstater mobil saat duduk di kemudi, tiba-tiba aku teringat sesuatu yang kelupaan saat aku begegas pergi tanpa berpikir. Ya ampun tas aku di kamar Evna. Mau gak mau aku kembali turun dan memasuki rumah Evna. Dan eng-ing-eng the legend of eng! Tampaklah Evna dan Dendi yang duduk berdekatan saling mengenggam tangan satu sama lain.
Aku belum ada satu menit keluar. Mereka udah nempel erat aja kek besi sama magnet.
Dengan jengkel, aku langsung berdehem. Dan mereka? Mereka langsung menjaga jarak; langsung menjauh.
"Ada yang ketinggalan," intrupsiku yang sambil berjalan masuk menuju kamar Evna. Setelah mengambil tas. Aku kembali melewati keduanya dengan pelan, ternyata Evna dan Dendi masih dalam fase diam dengan jarak yang berjauhan.
"Gua pamit ya? Hati hati loh, kalian cuma berduaan, pintu nya dibuka aja. Mana tau nanti kalian khilaf kalo ditutup, soalnya kata orang kalo bedua-duan bukan muhrim itu gak boleh, nanti ada setan datang," ingatku memberikan keduanya nasihat.
"Iya gue tau, tadi aja setannya langsung datang pas Dendi megang tangan gue," sindir Evna dengan wajah kesal.
Aku merasa tersindir langsung berteriak," eh kampret lu!" tanganku pun merasakan kekesalan yang sama dengan refleks melempar bantal sofa yang berada di dekatku. Setelah itu aku ngacir keluar rumah Evna. Menghindari amukan masanya.
"AWAS LU YUN KALO KETEMU!" teriak Evna dari dalam rumahnya.
Mendengar teriakannya membuatku terbahak senang. Gila tu Evna gak sadar kali ya, lagi ada gebetannya. Gak jaga image banget deh bikin malu aja jadi sahabat.
•••
Ku tatap jalanan luar cafe yang diguyur hujan deras melalui jendela, banyak orang yang tadinya sedang beraktivitas di luar mulai berlarian mencari tempat untuk berteduh.
"Permisi," ucap Seseorang laki-laki yang aku dengar dari suaranya.
Kulirik sekilas dan kembali menoleh ke luar cafe. Aku merasakan kehadiran lelaki itu yang tanpa izin menempati bangku di hadapanku. Ia juga dengan lancang berkata, "lo suka banget ngambil tempat favorite gue."
"Emangnya ini punya lo? Kalo ini punya lo baru gue gak ambil tempat lo." Kali ini ku balas tatapannya dengan kesal.
Emang ya ni orang selalu buat mood gue berubah-ubah kayak bunglon, untung ganteng.
"Permisi Bos Dirga, ini pembukuan cafe bulan ini," ucap seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri lelaki yang berada di hadapanku.
Aku terkejut mendengarnya dan menoleh ke arah wanita itu, ia bernama Sandra Rasya dan di name tag nya tertulis sebagai manajer. Excuse me, dia manggil apa tadi ke Dirga? Bos? Sekali lagi, Bos? God, jangan jangan Dirga yang punya ini cafe. Aduh ... masa aku harus out dari sini. Tapi kan aku bilang, kalo ini punya dia aku gak akan lagi ambil tempat ini, tapi masalahnya aku suka tempat ini. Terus gimana, dong? Apa aku pergi aja ya? Pergi-gak pergi-gak pergi.
"Resya?" panggil Dirga yang menyadarkanku dari lamunan. Aku hanya diam menoleh ke arahnya.
"Kenapa? Lo terpesona?" tanya Dirga dengan PD-nya.
Aku menggeleng serius tak berniat membalas candaanya dengan kekesalanku seperti biasanya. "Lo yang punya cafe ini?" tanyaku dengan kikuk.
"Sebenarnya gue malas ngakuin. Tapi ya ... gitulah. Gue gak mau sombong. Kenapa? Lo gak enak sama omongan lo yang tadi? Yang kalo ini punya gue baru lo gak ambil? Iyaaa?" tanyanya memperjelas dan mereka ulang ucapanku dengan sengaja.
Aku memilih membisu tanpa ingin melepaskan pandanganku darinya.
"Yaudahlah, gak usah dipikirin. Gue gak apa-apa kok. Kalo lo tiap hari kesini gue malah seneng. Kalo lo ambil tempat ini juga gue seneng banget," cengirnya.
Aku kembali mendengus seperti biasanya. "Ih pede. Orang gue mau minta traktiran eh bukan deh, tapi gratisan!" ucapku yang akhirnya menemukan alasan lain.
Dirga malah terkekeh, ganteng ui. "Jangan kan gratisin pesanan lo, cafe ini kalo lo mau juga gue kasih," ucapnya dengan nada sombong.
Aku pun melotot seakan memepercayai ucapannya. "Beneran?" Aku suka banget sama ini cafe. Kalo dia beneran ngasih ke aku. Cafe ini bakal aku rombak abis-abisan. Ya, aku emang gak tau diri banget.
Dirga mengangguk dengan raut yang serius. "Iya, tapi lo harus jadi istri gue dululah," ucapnya sekarang seolah sedang bertransaksi barter.
"Dih maless banget." Dengan cepat aku menolaknya mentah-mentah. Situ kira sini barang?
Sebenarnya Dirga gak jelek-jelek banget kok, jadi suami. Malah sebenarnya dia tuh perfect. Tapi aku harus jaga-jaga mana tau dia cuma mau mainin aku. Semua cowok 'kan sama, kecuali ayahku titik.
"Sya?" panggil Dirga yang langsung aku jawab dengan menaikan satu alis. "Lo sering minum kafein ya?" lanjutnya bertanya, aku melirik cangkir yang menyisakan seprempat kopiku mengangguk ke arahnya. "Pantesan," ucapnya ambigu.
"Kenapa? Gak baik ya? Iya gue tau kok." Aku sadar diri, kalo terlalu banyak mengkonsumsi kafein itu gak baik.
"Bukan," selanya.
"Terus?"
"Iya ... pantes gue, ketagihan liat wajah lo, ternyata lo suka minum kafein toh." ucapnya sambil mengangguk-anggukan kepalanya serius.
Aku tau ini aneh buatku tapi aku gak bisa kontrol dengan baik senyumanku setelah mendengar gombalannya, berusaha menyadarkan diri aku berdehem supaya si Dirga gak ke-GR-an. "Apaan sih lo, gombal jaman kapan tuh!" Okey, gue emang lagi berusaha kembali ketus.
"Jaman kita bersama Sya."
"Hahahaha ngigau lu." Percuma pura-pura ketus nyatanya dekat dia bisa buat aku ketawa, right?
"Iya aku ngigau karna cintamu."
"Gak lucu." Aku mengulum senyum sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Aku gak ngelucu, tapi aku lagi berusaha dapatin cinta kamu." Kulirik Dirga dan dia sedang? Natap aku dalam.
"Gila lo!"
"Iya aku gila karna cintamu." Lagi-lagi dia berusaha untuk menggombal. Walaupun aku gak merasakan bahwa aku tersipu, tapi ... paling gak dia buat aku ketawa.
"Diem!" Ntah kenapa mulut aku memang gak bisa sejalan dengan otakku yang sebenarnya, bahagia?
"Jangankan diem untuk ngomong. Diam untuk nunggu kamu juga akan aku lakukan," jawabnya yang tak menyerah juga.
Aku pun berusaha mencoba mencari akal untuk menutup mulutnya. Please, Dir kalo lo gini terus gue bakal terperangkap dengan umpan lo!
"Dir, lo mau denger cerita gue gak?" usulku dengan wajah serius.
Dirga mengangguk dengan semangat. "Jangan kan denger cerita kamu, denger suara hati kamu juga aku jabanin."
Mulai lagi 'kan? Sabar Yun sabar, jangan terperangkap.
"Dulu cita-cita gue pengen jadi Dokter. Tapi sayang, gue gak lulus lulus tes di kedokteran. Aturan gue mau tes lagi, tahun depan. Tapi semenjak ketemu lo gua langsung ngerubah cita- cita gue."
"Ngerubah? Jadi ... cita-cita kamu sekarang apa? Mau jadi dosen kayak aku? Atau pengusaha?" tanyanya antusias.
Aku menggeleng sambil berkata, "bukan." Aku berdehem sejenak lalu melanjutkan perkataan selanjutnya. "Cita cita gue sekarang bahagiain, lo."
Aku kira Dirga bakal tersenyum malu, tapi ... Apa yang aku dapat? Dirga hanya diam melongo. Ingat Yun dia bukan gadis ABG dia itu lelaki dengan jam terbang tinggi dalam merayu wanita.
Tak tahan dalam suasana akward. Aku memukul kepala Dirga. Pletak! Tapi, Dirga masih saja diam melongo.
"Kata kata kamu nyentuh Sya dan aku terharu," ucapnya yang akhirnya kembali berbicara.
Aku mencebikkan bibir dengan kesal. "Gue ngegombal bego! Bukan berpuisi!" Sialan si Dirga!
"Iya-iya aku tau—"
"Dir?"
"Ya ... Sayang?"
Deg
Ntah kenapa panggilan sayangnya kali ini berhasil buatku berdebar.
"Ehem ... Sayang sayang pala lu peang!" ucapku kembali berusaha ketus. Ah gila! Ini gila! aku bener-bener deg-degan sekarang. Oke fokus! Aku mau nanya apa tadi? "Gue mau nanya deh, kenapa kalo awalnya ketemu gue lo selalu make lo-gue terus di tengah-tengah lo ngerubah jadi aku-kamu?"
Dirga terdiam. "Jadi kamu maunya apa? Sayang-Cinta?" What? Bukan jawaban itu yang aku mau. Dia beneran dosen 'kan? Kok geblek! Gak nyambung!
Dari pada tambah gila, aku sudah lelah lebih baik aku mutusin buat pulang. "Dah ah, gue mau pulang. Bye," pamitku yang tibs-tiba beranjak pergi dengan menunduk sambil menggerutu.
Bruk
Aku hampir terhuyung, saat aku menoleh "Yuna?" panggil si penabrak. "Bisa kita bicara sebentar?" lanjutnya.
•••
Aku tak ingin mencinta
Trauma itu masih membekas
Aku tak ingin bersama
Ditinggalkan itu sangat menyakitkan
-Yuna Resya Tirka
•••