'Bruk'
Aku hampir terhuyung, saat aku menoleh "Yuna?" panggil si penabrak. "Bisa kita bicara sebentar?" lanjutnya.
Aku mengangguk dan berbalik mengajak lelaki itu kembali masuk ke dalam cafe Dirga. Aku melirik ke tempat dudukku tadi dan mendapati Dirga masih di sana sedang berbicara dengan karyawannya.
"Duduk disini aja." Lelaki itu berhenti di sebuah kursi kosong. Aku menurutinya. "Jadi ... gue butuh bantuan lo," ucapnya to the point.
"Apa yang bisa gue bantu?"
Lelaki itu pun menyampaikan maksudnya dengan jelas, aku mendapatkan sebuah keuntungan dari penjelasannya tanpa menunggu panjang aku pun menyetujuinya. Aku pikir permainan akan berlanjut ke season tiga. Dera are you ready?.
•••
"Siapa tadi?" tanya Dirga yang menghampiriku saat aku berjalan keluar cafe.
"Temen," jawabku singkat. Oiya, aku butuh cafe ini. Aku pun berbalik menghadap Dirga. "Gue bisa booking cafe ini?" Dirga langsung mengangguk tanpa pikir panjang.
"Apa sih yang gak buat lo ," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Oke." Dirga membuka pintu mobilku untukku. Aku pun tersenyum kearahnya seraya masuk kedalam mobil. Sebelum melajukan mobil, aku membuka jendela dan menatapnya yang masih berdiri di sana sampai aku pergi. Ntah mengapa aku ingin sekali menggodanya dengan memberinya kiss bye sambil mengerling nakal.
"Oh ... shit! Gue mimpi apaan, semalam?" ucap Dirga yang masih bisa aku dengar, dengan pelan aku melajukan mobil meninggalkannya.
•••
"Kalo dalam islam balas dendam itu boleh gak sih Sha?" tanyaku pada Asha.
"Ya mana bolehlah, odong!" jawab Asha.
Aku memperhatikan Asha yang ribet sedari tadi ia bolak balik mencari baju untuk di pakainya sembari berpikir baik buruknya ia memakai pakaian tersebut.
"Emangnya kenapa lo tanya itu?" tanyanya dengan menoleh ke arahku penuh tatapan selidik.
"Ada deh." Aku mengalihkan pandangan. Berbaring menatap langit-langit kamarnya.
"Lo gitu sama gue? Tumben main rahasia-rahasiaan. Ng ... palingan ntar lo cerita juga," ujarnya dengan sangat yakin.
Aku gak menghiraukan ucapannya. Malah aku kembali bertanya. "Tapi kalo ngasih pelajaran, boleh dong ya?",
"Lah, kalo gak boleh. Kenapa ada guru, Yuna? 'Kan guru ngasih pelajaran ke murid, gimana sih lo!" omelnya.
"Bukan itu bego, maksud gue gini ... kalo ada orang yang berbuat jahat, terus lo pengen ngasih tu orang pelajaran. Itu bukan balas dendam 'kan? Tapi itu pelajaran 'kan?"
Asha berhenti memilih-milih baju, ia kembali menoleh ke arahku kali ini lebih tertuju padaku. "Iya sih. Tapi gini ya, Yun! Semuanya tergantung niat. Kalo niat lo baik, lo gak akan dapat dosa malah lo dapat pahala. Tapi kalo niat lo buruk, jangankan pahala, lo bakal dapat dosa yang lebih besar, Yun! Contohnya, lo mau berbagi tapi niat lo untuk dipuji. Bukannya dapat pahala, lo dipastikan dapat dosa. Sedangkan kalo sholat aja niatnya salah, gak sah kan? Yah ... intinya begitulah, Yun. Gue cuma bisa memberi gambaran seperti itu. 'Kan lo tau, gue baru memulai mendekatkan diri kepada Allah."
Aku gak pernah salah kalau minta pendapat dia. Dia memang bisa menjelaskan sejelas-jelasnya padaku. Tapi, satu hal yang belum bisa aku pastikan, jadi aku dapat dosa apa pahala ya?
"Emangnya kenapa sih?" Asha kembali bertanya karna penasaran.
"Gak ada, nanya aja." Aku beranjak dari tempat tidur memilih menunggunya di balkon kamar Asha untuk menghindarinya.
•••
"Lo udah beli kado untuk El?" tanyaku memecah keheningan antara kami yang sekarang berada di dalam mobilnya Asha.
Asha meng-klakson motor yang memotong mobilnya. "Belum, gue bingung mau ngasih apa."
"Bukannya lo bilang mau kasih sepatu?"
Asha mengangguk. "Iya sih, tapi ada yang mau gue kasih lagi, tapi ... gue bingung mau kasih kopiah atau buku-buku tentang islam, ya?" tanya Asha yang meminta pendapatku.
"Al-Qur'an, gimana?" usulku dengan semangat.
'Cittttt'
Ban mobil Asha langsung berdecit akibat ia yang me-rem mendadak. "Adaw ... jangan nge-rem mendadak, kenapa?! Bisa benjol nih kepala gue!" Aku mengomeli Asha dengan kesal.
"Lo sih buat gue syok! Ngasih Al-Qur'an, lo bilang? Kepala lu dimana Yun?"
Denan polos aku langsung menunjuk kepalaku. "Nih kepala gue! Masiih ada!"
"Astaghfirullah, tabahkan hati hamba Ya Allah." Asha mengelus dada nya dengan sebelah tangan.
"Sha?"
"Hmm ...."
Aku memeringkan tubuh menghadapnya yang sedang fokus menyetir. "Kenapa, lo syok gue nyuruh lo ngasih dia Al-Qur'an?"
"Gimana gak syok? Itu kecepetan, Yun kalo ngasih Al-Qur'an. Jelas-jelas dia itu beda sama kita. Walaupun dia ngasih gue jilbab. Tapi belum tentu dia nerima kalo gue kasih dia Al-Qur'an," jelasnya.
"Tapi kan, Sha. Gue pernah nonton, ada seorang biarawati yang masuk islam dikarenakan asal muasalnya dia itu disuruh mengkaji Al-Qur'an. Jadi dia bacanya dari kiri Sha. Terus dia baca surah Al-Ikhlas, pas dia baca terjemahannya dia langsung terenyuh dan memeperlajari islam,
Sha. Mana tau kalo lo kasih Al-Qur'an, si El langsung dapat hidayah."
"No! Gue gak setuju, Yun. Ini agama, biarkan dia yang memilih dan kalo dia benar benar ingin masuk islam, biarkan dia mencari tahu sendiri untuk dirinya, bukan untuk gue! Gue cinta karna Allah. Dan dia pun harus cinta gue karna Allah! Bukan sebaliknya, cinta Allah karna gue!" ucapnya tak terbantahkan. "Udah sampai, yuk turun," ajak Asha yang mematikan mesin mobilnya.
•••
"Eh ... Dera?" panggil Asha.
Aku yang sedang memimilih makanan, mengikuti arah pandang Asha. "Siapa?"
"Tuh ... Dera," ucapnya sambil menunjuk ke seorang gadis yang bersama seorang laki-laki yang sepertinya aku kenal. Wait, bukannya itu gebetan Evna? Perasaan baru kemarin dia minta tolong sama aku, sekarang? Udah jalan aja, sama Dera. Wah perlu diabadikan nih.
Aku mengambil Iphone dan berpura pura memainkan hp; alibi padahal sedang mengabadikan bukti.
Ternyata Dera melihat ke arahku dan Asha keduanya pun datang menghampiri. "Berdua aja?" tanya Dera yang aku angguki.
"Eh ... Yun" sapa Dendi dengan tersenyum kikuk. Aku membalas senyumnya tipis.
"Kalian?—"
Ucapanku langsung dipotong Dera. "Owh ... gak, kita sama yang lain kok. Temen gue yang lain, lagi beli tiket nonton. Jadi kita bagi bagi tugas gitu," jelasnya yang takut aku salah paham, mungkin?
Aku hanya mengangguk tak ingin menanyakan lebih detail.
"Eh kita kesana ya, Yun Sha" Dera dan Dendi berpamitan dan aku hanya tersenyum.
"Rawrrr ... kezel deh, gue liat tampangnya si Dera sok polos gitu jijay bajay!" kesal Asha setelah Dera pergi.
"Udah, deh. Gak usah mulai, ntar gue labrak juga si Dera." Aku mengajak Asha bercanda agar ia tak berlarut-larus kesal dengan Dera. Asha hanya mencibir. "Udah, Sha jangan mulai," ingatku kembali.
"Jangan ngomong aja, kalo berani, labrak sana!" tantangnya.
Aku menyeringai. "Bukan jamannya labrak-labrakan! Sekarang itu gak main kasar secara langsung. Bisa-bisa tangan gue kotor! Nih gue kasih tau, gue mainnya halus tapi pasti."
Asha yang tak mengerti langsung protes. "Ngomong apaan sih, ini anak? Obatnya abis kali ya?" ledeknya sambil terkekeh.
Lo gak perlu tahu, Sha. Kali ini, lo cukup tetap berada di samping gue. Cuma lo sahabat yang gue punya. Karna ... Kalau lo tau perbuatan gue. Gue gak yakin lo bakal maafin gua atau mungkin lo maafin gue tapi lo ngeralang gue untuk ngelanjutin semuanya. Gue gak mau cuma setengah-setengah ngelakuin ini. Mereka harus ngerasain apa yang gue rasain selama ini. HARUS!.
"Kenapa lo melamun? Muka lu kayak orang sengsara banget, semacam ada asem-asemnya gitu!" ledeknya lagi.
"Kepo!"
•••
Tuhan maafkan aku
Jika yang ku perbuat ini akan menjadi dosa
Tuhan
Biarkan aku memberi arti sakit yang sesungguhnya
Karna aku tak ingin mereka menyakiti hati yang lain
Dan aku tak ingin mereka tidak berperasaan selamanya
-Yuna Resya Tirka