"Halo Dir?"
"..."
"Lo dimana?"
"..."
"Ha? Oke gua kesana"
Aku menutup telepon dan menjalankan mobil menuju cafe Dirga. Sesampai di cafe Dirga. Ia sudah berdiri di depan pintu menanti kedatanganku.
"Ayo keatas aja, diruangan gue," ajaknya.
Saat aku memasuki ruangannya, aku sedikit takjub walau pun memang tidak terlalu besar. Tapi nyaman, dengan cat dinding berwarna coklat. Design yang elegan ditambah pengharum ruangan yang menenangkan.
"Duduk," Dirga mempersilahkanku untuk duduk di hadapannya. "Jadi, lo mau booking untuk hari apa?" tanya Dirga.
"Hmm, Sabtu ini."
"Ah shit—"
"Kenapa?" tanyaku dengan bingung.
"Gue gak bisa nemenin lo. Sabtu ini, gue ada acara, Sya. Jadi gue nyuruh manajer gue aja yang nemenin lo, ya?"
"It's okey baby."
"Baby?" ulangnya dengan raut terkejut.
Aku tersenyum manis sembari mematahkan jiwanya yang terbang, "Yes, Bebi bahasa indonesianya PIG!"
Wajah Dirga terlihat sedikit kecewa, aku pun tertawa tak berapa lama ponselku berdering. Dera dan Dendi sudah sampai. Aku pun pamit pergi meninggalkan Dirga, lelaki itu hendak mengantarkanku pergi. Namun, segera aku tolak dikarenakan aku masih berada di sana untuk bertemu dengan temanku.
"Jadi ini cafe yang mau kita pakai." ucapku kepada Dera dan Dendi yang duduk di hadapanku sekarang.
Sembari memperhatikan cafe ini keduanya mangut-mangut setuju. "Jadi, gimana? Setuju dengan yang ini?" Keduanya pun kembali mengangguk.
•••
"Oke sudah siap? Lo ganti baju gih, Den." Dera mendorong Dendi untuk berganti pakaian yang sebelumnya sudah kami siapkan sesuai selera Evna. Dendi pun langsung pergi menggantinya.
"Yun, meja nya udah siapkan? Lilin nya jangan dihidupin dulu," perintah Dera.
"Okeee udah kok dikit lagi."
Semuanya sudah selesai, tinggal nunggu Evna dan rencana? Akan berjalan dengan lancar! Hahaha. Dera kita liat aja nanti, apa lo mampu dengan permainan gue kali ini? Sebelumnya lo gak sadar, Der! Dan kali ini gue buat lo sadar, Der!
"Ganteng gak gue?" Dendi keluar dari kamar mandi dengan cool.
Aku dan Dera langsung serentak mengacungkan dua jempol kearahnya.
"Eh latihan dulu deh," ucapku kepada Dendi.
"Iya juga ya? Gue harus latihan dulu," jawabnya.
Aku menoleh ke arah Dera. "Der, lo aja tuh pura-pura jadi Evna. Bantuin si Dendi, gih." Sembari kuletakkan ponsel di atas meja, sudut cafe.
Dera setuju, Dendi pun duduk berhadapan dengan Dera. Perlahan Dendi memegang tangan Dera dan menatapnya.
"Kalau aku supir aku pasti bisa mengemudi mobil. Kalau aku pilot aku juga pasti bisa menerbangkan pesawat. Kalau aku mencintaimu apa aku juga pasti bisa menjadi pacarmu? I wanna say I love you. Be my girlfriend, please?—"
Aku kembali mengambil ponsel dan hendak berjalan keluar cafe. "Kok diem? Diulang lagi dong! Lo kurang mendalami, Den. Bahasa perumpamaan lo juga norak banget!" kritikku tajam.
Sebelum kembali melangkah keluar, aku melirik Dendi yang mencibir. "Gue keluar dulu bentar," izinku sambil mengetikkan sesuatu di ponsel lalu mengirimnya.
Setelah sampai di luar cafe, aku melihat Evna yang berjalan ke arahku. "Loh, Na? Lo kok disini?"
"Tadi ada orang yang nyuruh gue kesini," ucapnya sambil tersenyum.
"Owh ... nanti aja, Na. Mending lo ikut gue." Aku hendak menarik Evna namun ia menolak.
"Gue udah telat Yun. Besok aja deh, kalo mau ngobrol," ucapnya.
'Drrtt ... drrrtt ... drrrtt ....'
Ku dengar ponselnya bergetar, aku pun melirik ke arah ponsel Evna yang berada di tangannya. Saat Evna membuka isinya, raut wajahnya langsung berubah menegang marah. Tiba-tiba saja ia mendorongku dengan pelan saat berdiri menghalanginya. "Minggir Yun."
"Ev nan—"
"Apaan sih lo! Jangan ngalangin gue, deh!" bentaknya yang buat aku melangkah mundur. Ia langsung menyerobot tanpa memperdulikan ucapanku begitu saja.
Aku akhirnya memilih untuk mengikuti Evna masuk ke dalam cafe.
"..... Be my girlfriend, please?—"
"Owh ... jadi benar, ya? LO ITU BENER-BENER PERUSAK HUBUNGAN ORANG, DER! SEMUA COWOK AWALNYA LO BILANG CUMA ANGGAP SAHABAT, AKHIRNYA LO PACARIN JUGA! DAN LEBIH PARAHNYA LAGI, RATA-RATA SEMUA COWOK ITU ADALAH COWOK YANG LAGI DEKAT DENGAN SAHABAT LO SENDIRI!" Teriaknya saat memergoki Dera dan Dendi yang sedang latihan untuk memberikan kejutan kepada Evna.
Dera yang terkejut hanya bisa diam mematung, sedangkan Dendi juga ikut terdiam. "Denger, Na. Gue bisa jelasin. Ini ... ini salah paham!" Dendi menghampiri Evna, berusaha untuk menenangkannya.
"Jelasin? Lo mau jelasin kalo DIA ITU PENGHIANAT? ATAU LO MAU JELASIN KALO DIA ITU PENJILAT ATAU GAK? LO MAU JELASIN KALO DIA ITU CEWE MU-RA-HAN!—"
"CUKUP NA!" bentak Dendi yang buat semua orang di dalam cafe ini terkejut.
"Owh ... lo belain dia? Iya?! Lo berani bentak gue? MUAK GUE LAMA LAMA DISINI. Ngabisin tenaga gue aja, ngomong sama selingkuhannya si penghianat!" Evna yang emosi menggebu-gebu langsung berbalik keluar cafe. Saat berselisih denganku Evna langsung berhenti. "Gue gak nyangka sama lo Yun!" Evna menunjuk wajahku dengan marah. "Lo yang paling deket sama gue diantara mereka, Yun! Lo juga korban DIA." Evna beralih menunjuk Dera. "Tapi lo, malah nyembunyiin sifat busuk, DIA! Apa lo mau bales dendam ke gue?" lanjutnya bertanya.
"Bukan Ev gu—"
"Owh ... gue inget, ini yang lo bilang gue bakal ngerasain? Iya?!" potongnya dengan membentak. Aku yang hanya bisa diam, cuma bisa menunduk. "IYA YUN? JAWAB GUA!" teriaknya seperti orang kesetanan.
"Bukan Ev lo salah paham. Kita—"
"Alah! Sudahlah, lo sama aja dengan mereka. GUE KECEWA SAMA LO, YUN!" Tanpa ingin mendengar penjelasanku lagi, Evna kembali berjalan meninggalkan kami.
Aku menatap kepergian Evna dengan sendu, Dera langsung menghampiri dan memelukku.
"Evna salah paham Yun. Kita harus gimana? Dia marah sama gue, bahkan lo juga. Masalah gue belum selesai sama Winda dan Marsha. Gue harus gimana, Yun?" ucapnya yang sangat sedih karna kejadian barusan.
"Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, Der. Semua ini pasti ada jalan keluarnya. Evna, biar gue yang urus. Winda sama Marsha, lo harus nemuin mereka!" Aku memberikan, ia saran.
Dera melepas pelukanku. "Makasih Yun." Ia tersenyum tipis.
"Mungkin kali ini dia bukan jodoh gue," ucap Dendi yang menyadarkan kami bahwa ada orang selain kami berdua, kami pun menghampirinya.
"Tenang, Den. Ini salah paham. Gue bakal jelasin semuanya ke Evna." Aku menepuk bahu Dendi memberikan kekuatan.
"Udah, gak apa-apa. Gak usah dipaksa. Mungkin dia belum jodoh gue." Ia mencoba memaksakan senyumnya yang malah terlihat seperti orang yang paling menderita.
"Ah .. lo payah Den! Gak berjuang, lo! Kalo gue tau lo cemen gini, gak akan gue kasih izin kenalan sama sahabat gue." Dera sengaja meledek Dendi agar ia bangkit untuk berjuang.
"Iya berjuang dong!" Aku juga ikut memberikan ia semangat. Dendi menghela nafasnya dan kembali mencoba tersenyum. "Oke SEMANGAT!" teriaknya.
•••
Aku mengetikkan sebuah pesan di ponsel dan langsung mengirimnya ke seseorang, dengan tersenyum puas aku kembali menatap ponsel yang berada di tanganku.
"Yun?" panggil Dera.
Aku mengalihkan pandangan kearahnya.
"Lo pulang sama siapa?" tanyanya.
"Gue bawa mobil kok," jawabku. Tenang Der gue lagi seneng kali ini, jadi gue gak bakalan gangguin kebahagiaan lo dulu, sampai saatnya.
"Owh ... yaudah, gue duluan ya, Yun. Gadha udah nungguin gue di depan," pamitnya. Aku mengangguk sambil melambaikan tangan kearahnya. Sampai ketemu di permainan terakhir gue Der.
•••
"Halo Assalamualaikum."
"Gimana tadi sukses gak Sya? Karyawan gue gimana? Nurutin lo gak? Pelayanannya gimana memuaskan gak? Terus terus Evna gimana, senang—"
"Berisik lu Dir! Nih ya gue jawab dengan satu kata. GAGAL!"
"HAH?"
"Bacod lu ah! Gue lagi dijalan nih, Bye."
Setelah menutup telepon dari Dirga aku mencari id Gadha.
Line
Aku: Gadh, gue kangen lo.
Gadha: Oke dear. Ntar malam gue kerumah.
Aku: Stop manggil gue Dear.
Gadha: Tapikan itu panggilan sayang gue ke elo.
Aku: Ganti aja Gadh. Gue gak suka, gue berasa lo lagi manggil Dera.
Gadha: Cemburu?
Aku: Ngapain cemburu sama pacar orang.
Gadha: Kamu jahat! Awas nanti.
Aku: Gue tunggu!
•••
Kau menjulurkan tangan
Inginku mengenggam
Namun ku tahu itu hanya angan
Kau memberikan cinta
Ingin ku berbalik mencinta
Namun ku tahu akhirnya kan sama
-Yuna Resya Tirka
•••