Dera Pov
Aku menatap ponsel sejak dua jam yang lalu. Namun, chat yang aku kirimkan tak kunjung dibaca apalagi dibalas. Padahal sepuluh menit yang lalu salah satu teman dekatnya bilang bahwa hari ini tidak ada kuliah atau pratikum sama sekali. Sayangnya teman dekat Gadha juga tidak tau kemana laki-laki itu. Begitu juga dengan kakaknya yang mengatakan Gadha sudah pergi kuliah.
Kuhela napas untuk kesikian kali, sudah beberapa hari ini ia tak menghubungiku, chat-chatku juga sudah jarang dibalas, jika aku tidak menelfonnya aku tak akan tau kabarnya. Parahnya hari ini telfonku juga ikut tidak diangkatnya.
Tiba-tiba aku teringat Risya, temanku yang juga merupakan teman sekampus Gadha. Aku segera mengetikkan sesuatu padanya.
Risya
Aku: Risya?
Risya: Oi Der, apa tuh?
Aku: Ris, gue mau tanya soal cowok gue.
Risya: Kenapa Gadha? Dia berubah?
Aku: Lo tau sesuatu?
Setelah kalimat terakhir yang kuketikkan tersebut bercentang tak lama ponselku berdering mendapatkan sebuah panggilan dari Risya. Segera kuangkat telfonnya.
"Halo, assalamualaikum." Jawabku dengan mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam, Der."
"Kamu tahu?" tanyaku dengan jantung yang berdebar menanti sesuatu yang aku takutkan akan keluar dari bibirnya.
"Bisa kita bertemu saja?
"Oke kita ketemu."
"Tentui saja tempatnya, aku akan ke sana."
"Nanti aku kirim alamatnya".
Setelah panggilan itu, aku langsung bergegas mengganti baju. Sebelumnya aku mengerim alamat tempat kami janjian dan tak lupa bahwa aku akan bersiap lebih dahulu sebelum pergi ke sana agar Risya tak menungguku lama di sana. Setelah 30 menit bersiap aku langsung pergi menemui Risya.
Risya sudah duduk di salah satu tempat saat aku berjalan masuk hendak mencari tempat duduk. Ia yang duduk menghadap pintu masuk melambai ke arahku saat tak sengaja matanya teralihkan dari ponselnya,
"Lo mau pesan apa?" tanya Risya sembari melambai ke arah pelayan.
Ia menyebutkan pesanannya.
"Samain aja," ucapku. Setelah pelayan tersebut pergi aku menatapnya dengan lekat.
"Jadi lo tau Ris?" tanyaku dengan terdengar sedikit bergetar.
Risya mengangguk. "Yang gue tahu Gadha sering bolos kuliah akhir akhir ini." Jantungku mulai sedikit tak karuan mendengar fakta dari Risya, padahal Gadha selalu bilang bahwa dia sedang sibuk di kampus maka dia jarang menghubunginya dan sering telat jika diminta untuk menjemputnya,
"Terus?" tanyaku ragu, namun masih ingin lebih tahu. "Terus apa?" ulangku menatapnya dengan tak sabar mendengar jawabannya.
"Beberapa hari yang lalu gue ketemu Gadha di salah satu restoran yang ada di Mall," ucap Risya. Ia mentap gue lekat dengan wajah yang serius."\
"Di mana?"
"Solaria."
"Mall mana?"
"WTC," jawabnya dan jantungku semakin tak karuan mendengar kedua nama tempat yang tak ingin aku dengar tersebut. Tempat yang begitu bersejarah, siapa lagi kalau bukan untuk mereka. Tapi, aku masih boleh positif thingking 'kan?
"Sama siapa?" tanyaku berusaha untuk setenang mungkin.
"Sama …." Ucapnya gantung dengan raut seakan sedang mengingat nama seseorang tersebut. Dan pada akhirnya ia tak mengingat nama yang buatku penasaran itu. Ia malah menyebutkan ciri-ciri orang yang aku takutkan, "Gak tau. Gua gak kenal." Ia berhenti sejenak lalu berkata lagi, "yang pasti orang itu cewek."
Ku hela nafas yang sudah menyesakkan dadaku ntah kenapa. Sabar Der, mungkin cuma temen. Tapi kan gua sama dia dulunya juga temenan, malah sahabatan. Tapi ... tapi ....
"Der gue gak maksud ngehancurin hubungan lo. Gue cuma mau kasih tau apa yang gue tahu, Der. Menurut gue, lo jangan gegabah dulu, gue rasa mereka cuma temenan atau gak sepupunya Der. Kan gue gak kenal sama saudaranya atau temennya yang lain." Ia memberikan penjelasan supaya gue gak salah paham.
"Lo beneran gak ingat namanya Ris?"
Risya menggeleng.
"Tapi kalau gue sebut namanya apa lo bakal balik ingat?"
"Memangnya siapa dalam pikiran lo saat ini?" tanyanya berbalik padaku.
Kami saling bertatap cukup lama, sampai akhirnya aku dengan berani menyebutkan sebuah nama.
"Lo yakin bakal siap, kalau lo tau namanya?" ucap Risya yang melihat gelagatku untuk mengucapkan nama perempuan itu.
Aku mengangguk, lalu bertanya, "namanya bukan Yuna 'kan?"
Risya tak menjawab, ia hanya diam menatapku.
•••
Aku hanya menatap dua gelas kosong yang berada di atas meja. Risya sudah pergi 30 menit yang lalu, dan aku belum ingin beranjak dari tempat ini. Kenyataan ini begitu pahit untuk aku terima. Aku sudah mencintainya, bagaimana mungkin aku dengan berani mempertaruhkan persahabatan hanya untuk laki-laki yang tidak aku cintai sama sekali. Aku sudah mencintainya, dan ini rasa sakit yang harus aku bayar mau tak mau, bahkan siap tak siap diriku,
Pikiran bekerja sendiri semaunya, menuruti semua pikiran negatifku. Dan aku semakin sakit untuk mengingatnya. Semakin aku mengingatnya semakin aku ingin berteriak, "kenapa kau tega Yun, kenapa Yuna?"
Ini tidak adil bagiku, dia sendiri yang mencampakkan Gadha seenaknya. Lalu aku sebagai sahabatnya bagaimana mungkin aku hanya diam melihat salah satu sahabatku terluka akibat sahabatku yang lain? Bagaimana mungkin aku membiarkan sahabatnya hancur dan depresi hingga hampir gila dan nekad untuk bunuh diri, bagaimana mungkin aku pura-pura tidak melihatnya? Padahal aku selama ini selalu mendapatkan kebaikannya.
Lalu sekarang kau kembali menggodanya, untuk apa? Untuk balas dendam padaku? Seharusnya dia sadar kejahatan apa yang telah dia lakukan sehingga ia pantas mendapatkan itu.
Semua orang mengatakan bahwa aku jahat, penghianat, aku terima, aku terima jika itu konsekuensi yang harus aku dapatkan. Tapi, seharusnya itu juga sama halnya dengan dirimu. Kau harus terima hubunganku dengan mantanmu karena kau sendirilah penyebabnya. Tidak ada hubungan ini jika kau sendiri tidak meninggalkannya begitu saja.
Kuhela napas kembali untuk meredakan rasa sesak yang ada di dalam dada. Aku harus pergi mencari tahu apa yang sedang terjadi, apa yang sedang direncanakan Yuna. Ini sudah kelewatan, kejahatannya harus segera dihentikan.
Aku meraba tasku saat ponselku bergetar. Ku buka chat balasan dari Gadha yang akhirnya dibalasnya.
My Love
Gadha: Maaf sayang aku dari kemarin lagi sibuk ngurusin kerja kelompok. Hari ini aku gak kuliah.
Aku langsung kembali duduk saat membacanya. Dadaku sedikit merasa lega membacanya, pikiran negatif yang menguasaiku mulai disingkirkan oleh pikiran positifku.
Saat aku hendak membalasnya, sebuah panggilan masuk.
"Halo ...."
"Der gue liat Gadha bareng cewek."
Mataku membesar, jantungku kembali begetar tak karuan. "Dimana?"
"Pombensin."
Aku menghela napas legah. "Aduh No, lu jangan oon deh. Kalo ngasih info itu yang berbobot."
"Justru itu Der. Dia disini lagi nungguin cewek. Ceweknya masuk ke toilet pombensin, bukannya ngisi bensin"
"Tunggu jangan ditutup, gue mau line dia dulu."
Aku pun langsung membuka line dengan telepon yang masih tersambung dengan Erno.
Line
My Love
Aku: Iya, sayang gak apa-apa. Sekarang kamu lagi dimana sayang?
Gadha: Aku dirumah sayang, kenapa?
Setelah membaca balasan dari Gadha aku kembali berbicara kepada Erno melalui telfon yang masih tersambung.
"Halo No. Bener ada yang gak beres. Gadha bohong sama gue."
"Gue bilang juga apa."
"Gua minta tolong sama lo. Tolong pantau dia."
"Siap."
"Gue kesana sekarang"
Saat kau tersakiti kau selalu berkata semoga karma membalas perbuatanmu padaku
Jangan lupa bahwa bisa jadi kamulah yang sedang dibalas oleh karma atas perbuatanmu dulu
-Dera