Setelah melihat kerpegian Winda aku berjalan kembali menghampiri Bimo dan Dera yang masih berada di kamar. Saat jarak aku berdiri dengan pintu kamar hanya menyisakan lima langkah, aku pun langsung berlari seperti orang yang datang tergesa-gesa.
"Bim ... gimana Dera?" tanyaku dengan napas yang dibuat sengaja tak beraturan.
Terlihat Bimo yang masih basah kuyup; ia yang tadinya sedang menatap Dera dengan kasihan, langsung menoleh ke arahku. "Tadi dia udah gue kasih nafas buatan, dan dia udah bangun. Tapi gue suruh tidur nunggu dokter." Ia menjelaskan agar aku tak khawatir.
Setelah mengatakan itu Bimo beralih menatap lantai dengan lesu. "Maafin gue ya, Yun? Gara-gara gue minta bantuan kalian, Deranya jadi gini." ucapnya yang merasa bersalah.
Aku menghampiri dia, menepuk bahunya pelan; memberikan kekuatan. "Udah bukan salah lo kok. Bukan saat nya untuk salah-salahan sekarang."
"Tapi—"
"Udah ah. Eh ... mendingan lo kabarin Winda deh. Rencananya kan harus tetap jalan dong." Aku memintanya menghubungi Winda seakan rencana akan terus berjalab sesuai rencananya, tanpa tau rencanaku sudah lebih dulu berjalan.
Namun dengan cepat ia menggeleng, tanda menolak. Sangat terlihat jelas di wajahnya yang merasa bersalah. "Gak usah deh Yun. Batalin aja, gue gak tega liat Dera."
"Aduh ... cepetan telpon gih!" ucapku memaksa dengan mendorong dia keluar untuk menghubungi Dera.
Dengan pasrah Bimo pun keluar kamar dan mencoba menghubungi nomor Winda. Terdengarlah suara provider.
Nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan cobalah untuk beberapa saat lagi
Bimo pun mencoba menelpon winda lagi.
Nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan cobalah untuk beberapa saat lagi
"Argghhh ... kemana sih, si Winda!" ucapnya dengan kalut.
Aku yang sedari tadi mengintip, menghampiri Bimo. "Gimanaa?" tanyaku seolah sedang memastikan
"Gak aktif Yun. Kayaknya rencana kita batal deh." Ia memut
•••
Malam ini adalah malam tahun baru. Sejak kejadiaan Dera tenggelam di kolam renang cafe sepupunya, yang terjadi beberapa minggu yang lalu, sampai saat ini gue belum pernah lagi bertemu dengan Dera, Bimo maupun Winda.
Seperti biasa malam tahun baru aku ngumpul-ngumpul dirumah tanteku. Saat aku sedang bakar jagung di halaman rumah, tiba-tiba Bang Endi ngehampiriku dengan motor maticnya. "Yun...? Temani Abang beli kembang api yuk?" ajak bang Endi— abang sepupuku.
"Ayuk." Dengan semangat aku langsung menaiki motornya.
Bang Endi melajukan motornya keluar rumah. "Dimana belinya bang?" tanyaku sambil memperhatikan jalan yang mulai rame karena malam tahun baru.
"Disitu aja," tunjuknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang gas; melajukan motor.
"Lo yang turun ya? Abang tunggu disini. Nih ... uangnya." Ia memberikan beberapa lembar uang berwarna merah, yang langsung aku ambil.
"Bang, berapa satu?" tanyaku ke salah satu abang-abang yang sedang sibuk mencari uang kembalian untuk pembeli yang lain.
Belum sempat si abang menjawab, seseorang menyapaku. "Yuna?"
Aku menoleh ke samping kananku lalu aku sedikit terkejut. "Loh ... Gadha? Ngapain disini?" tanyaku. Di mana-mana ketemu dia!
"Menurut Lo? Gua ngapain? Mangkal?" tanyanya dengan nada yang sedikit menggoda.
Aku langsung terbahak mendengar jawabannya. "Maybe hahaha," ucapku yang membayangkan Gadha mangkal.
"Tegaa loo!" rajuknya sambil memanyunkan bibirnya.
"Mbak? Tadi nanya apa ya?" tanya abang penjual Kembang Api yang sepertinya sudah tak sibuk mencari uang kembalian.
"Ini ... berapa Bang, harganya?" ulangku bertanya.
"25 ribu satu, Mbak."
"Mahal banget sih, Mas ...," ucapku dengan suara yang sengaja dibuat-buat imut; alibi biar di kasih murah.
"Emangnya si mbak mau beli berapa?", tanyanya yang ngebuatku berhasil tersenyum.
"Banyaklah, aku mau borong atuh mas."
"Yaudah 20 ribu aja, gimana?"
"15 ribu atuh Mas," tawarku.
"Yaudah deh."
Aku tersenyum senang, akhirnya si mas pasrah wakaka!!!
"Nih ... secukup uangnya ya Mas, kasih bonus juga boleh Mas." Aku memberikan beberapa lembar uang berwarna merah tadi yang aku dapat dari Bang Endi
Saat teringat Gadha yang berada di sampingku, aku menoleh kearahnya.
"Eh ... tadi lo ngomong apa?" tanyaku kepada Gadha yang asik mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Ng ... gue lupa," jawabnya sambil cengengesan. Setelah itu ia kembali melihat ponselnya, tak lama ia pun pamit, "eh ... gue duluan ya? Udah ditungguin sama Dera."
"Oke ... gue juga harus balik," ujarku yang langsung mengambil belanjaan dari tangan si abang-abang penjual kembang api.
Setelah berterima kasih kepada abang penjual, aku langsung menghampiri Bang Endi. Sedangkan Gadha telah menghilang ntah kemana.
"Yok bang," ajakku yang langsung menaiki motornya.
"Loh ... Resya?"
Aku yang tadinya sibuk memperbaiki duduk, langsung menoleh ke samping kananku; dimana ada seorang cowok berdiri menatapku dan Bang Endi bergantian. "Ngapain lo disini?" ucapku refleks akibat terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
"Lo kenal dia, Yun?" tanya Bang Endi yang langsung memutar badannya menghadap ke arahki.
"Dosen gue bang."
"Kok lu gak sopan? Lo ada main yaaa sama dia?" tuduhnya dengan senyum yang menggoda.
"Main bunuh-bunuhan iyaa!"
"Wah ... luu ya Dir, berani lu nyentuh adik gua mampus lu gue buat!" ancam Bang Endi yang buat aku tersenyum sinis ke arah Dirga.
Mampus lo! Mati di tangan Abang gue!
"Weizzz ... bukan gue Ndi! Adik lu tuh udah bunuh gua—"
"Bunuh?" potong gue dengan mendelik ke arahnya.
"Iya ... cintamu telah membunuhku."
"Najis!"
•••
"Bintang nya bagus ya, Sya?" tanya Dirga yang saat ini duduk di sampingku. Tolong jangan tanyakan kenapa kami bisa berada di situasi seperti ini. Intinya dia sahabat Bang Endi semasa sekolah.
"Hmm ...." Aku hanya bergumam malas.
Tiba-tiba aku ingin berbaring menatap langit, tanpa aku sadari tubuhku refleks mengikuti keinginanku untuk berbaring menatap langit yang indah di malam tahun baru ini.
Sekian menit kami sama-sama terdiam, mengagumi ciptaan Tuhan yang saat ini bersinar terang di langit yang tak mungkin bisa di gapai.
"Menurut lo? Apa itu cinta?" Muak dengan kesunyian, akhirnya aku pun membuka percakapan.
"Cinta itu sesuatu yang indah hanya bisa dirasakan tapi tak bisa disentuh, contohnya ... kamu."
Aku yang tadinya tak ingin mengalihkan pandangan dari langit memutuskan untuk menoleh ke arah Dirga. "Gue?"
Dirga menganggukkan kepalanya. "Kamu itu indah, tapi tak dapat aku sentuh."
Jika bisa digambarkan, Dirga yang saat ini menoleh ke arahku, sedang menatapku dalam. Dengan suasana yang langsung berubah hening. Ia seakan narikku untuk menyelami kedalam tatapannya.
"Menurut kamu, Sya?" Sepertinya ia penasaran dengan pandanganku mengenai cinta.
"Menurut gue cinta itu buta," jawabku dengan singkat, padat dan jelas.
"Kenapa?" tanya Dirga yang masih ingin tau lebih detail mengenai pendapatku.
"Cinta yang ngebuat nyokap yang super cerewet dan bokap yang super dingin bersama. Menurut gue ... itu cinta buta. Karna, mereka seakan buta dengan sifat yang jelas-jelas berbeda, yang bisa aja suatu waktu menjadi boomerang. Terus ... cinta yang ngebuat perbedaan agama dipaksakaan untuk bersatu. Banyak 'kan? Jaman sekarang. Pernikahan beda agama. Agama udah gak diutamakan lagi sekarang. Mereka mengatas namakan cinta diatas agama dan mereka berani menentang aturan agama. Mereka seolah membutakan segalanya hanya karna cinta."
"Syaa ... kamu salah, itu bukan buta namun saling melengkapi. Bukannya cinta saling melengkapi? Bukannya cinta tak hanya menerima kelebihan masing masing. Tapi juga menerima kekurangan salah satunya. Terus yang beda agama. Mereka bukan cinta buta Sya. Mereka hanya ingin bersatu diatas perbedaan, Sya. Kamu jangan judge mereka dulu. Mereka ingin bersatu, saling cinta, tapi mereka tetap ingin berada dikeyakinan masing masing tanpa adanya salah satu yang pindah keyakinan, agar mereka sama. Mereka gak mau saling memaksakan untuk salah satunya pindah ke agama pasangannya, dan itu namanya menghormati." Dirga mengeluarkan pendapatnya.
"Lalu ... gimana dengan cinta yang ngebuat jarak antar kota atau antar pulau bahkan antar benua terasa dekat. Helaw ... itu jauh! Gue heran sama yang LDR, sumpah! Kenapa milih yang jauh kalo disini ada? Bela-belain nahan hati demi cinta. Bukannya itu buta? Belum lagi nanti, oke kalo si cewe setia, kalo si cowok malah main belakang gimana? Atau sebaliknya? Bukannya itu makan hati. Dan nanti diem aja gitu? Sudah jelas itu buta Dir, mereka seakan tak mementingkan hatinya mereka malah membutakan segalanya."
"Ya ampun, Sya."
Aku menaikkan sebelah alisku, menatapnya dengan menantang. Sedangkan dia, menggaruk garukan kepalanya dengan prustasi.
"Gini ya itu bukan buta Yuna Resya Tirka. Itu adalah cinta yang menguji kesetian. Kalo mereka bisa laluin, berarti mereka saling cinta, Sya. Kalo salah satu ada yang selingkuh, itu ngebuktiin kalo salah satunya gak cinta dan gak setia, bukan cinta buta yang kamu pikirin selama ini. Apa semua pemikiran kamu tentang cinta, kamu anggap buta?" tanya Dirga.
Aku pun menggeleng. "Tapi gue punya satu pendapat lagi, gue rasa lo bakal setuju." ucapku yang seolah sedang memberikannya penawaran.
"Apa?"
"Ini yang terakhir ... lo tau? Cinta yang ngebuat sahabat gue, orang yang gue anggap saudara, bahkan orang yang gue percaya kalo dia orang yang gak bakal ngehianatin gue. Tega NGEHANCURIN KEPERCAYAAN GUE Dir! Menurut lo? Apa itu gak buta, Dir? Dia gak mandang gue lagi sebagai orang yang dulu dia elu-elukan sebagai sahabat Dir dan yang selalu dia panggil dengan kata sahabat dir. Apa dia gak buta dengan cintanya? Dia lebih milih mantan gue! Ketimbang gue dan sahabat yang lainnya! Apa itu gak buta, Dir? Bukannya itu menandakan dia udah dimakan oleh cinta dir! Jawab gue, Dir! Jelasin ke gue kalo itu gak buta!" Pendapatku ini berhasil ngebuat matamu tanpa sadar berkaca-kaca, akibat tekanan dan emosi yang aku keluarin dari dalam hati.
"Gua benci mereka dir," lanjutku dengan berubah menatapnya sendu. "Akhirnya gue benci mereka," ulangku dengan perasaan ... lega?
Dirga yang masih berbaring dengan tubuh lurus menghadap langit memiringkan badannya ke arahki, agar bisa ngebalas tatapanku lebih intens. Dia hanya diam. Perlahan tangannya menyentuh pipiku, menyeka air mata yang ternyata menetes di pipiku.
"Sya ... nangis aja kalo itu buat kamu lega. Aku disini di samping kamu, siap untuk ngapusin air mata kamu dan aku juga siap buat ngebalikin kamu dari yang sedih kejutek lagi seperti yang kamu lakuin ke aku," ucapnya dengan lembut namun ada senyum jahil yang terukir di bibirnya itu.
Aku yang tadinya masih dalam fase sedih langsung melotot ke arahnya. "Lo ih ... bete gue! Kan gue lagi melooo jangan bahas jutek gue ke elo deh!" Aku memanyunkan bibir dengan jengkel.
Dengan gemas Dirga menyentil bibirku. "Adaaaww ...," pekikku. Aku yang tadinya masih berbaring lurus langsung memiringkan badan ke arahnya agar berhadapan dengannya, setelah itu, dengan tak kalah gemasku menarik hidungnya.
"Sakit ... Sya," pekiknya yang buat aku tersenyum ... iblis?
"Mampus lu! Gak napas lu ... mampus!" Aku menyumpaihinya dengan bahagia.
Seakan tak ingin mati sia-sia Dirga langsung membuka mulutnya; bernapas melalui mulut. Aku yang sangat ingin menyiksanya pun dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan kananku.
"MMMMMMM OOONGGG OONGGG," lolongnya tak jelas.
"DIRGA ... YUNA!" teriak bang Endi mengagetkanku, yang buat aku dengan refleks melepaskan kedua tanganku.
"Kalian ya! Dicariin malah disini ternyata; disemak semak!" Bang Endi berkacak pinggang. "Ngapain aja kalian? Jangan buat ponakan ya, untuk gue! Belum waktunya. Kalian belum sah tau! Lu juga Dir harus ijin gue dulu, dapat restu gue baru lu kawini adik gue! Kamu juga Yun! jangan mau aja gratisan ngasihnya. Dia harus—"
"Bawel banget sih, Bang! Udah ah ... Yuna mau ketempat keluarga ngumpul aja." Aku pun langsung ngacir ketempat dimana keluargaku sedang berkumpul.
•••
Jika aku salah mengartikan cinta yang sesungguhnya.
Tolong ajarkan aku arti cinta dengan cinta yang kau punya.
-Yuna Resya Tirka
•••