Aku berjalan di lorong perpustakaan dengan pelan. Kutajamkan pandanganku untuk mencari sebuah buku. Namun sebuah suara menghentikan kegiatanku siang ini, "Syaaa? Resyaaa?" panggil seseorang.
Aku pun dengan refleks menoleh, mencari tau siapa yang memanggilku. Rautku langsung berubah jengkel, tak tinggal dengusan kesal saat mentap orang tersebut, biarin aja di bilang gak sopan. Sa bodo lah!
"Ada apa ya Pak?" suarku terdengar ramah berampur kesal.
"Nih buat bonyok lu," ucapnya sambil menyodorkan dua kantong bungkusan yang membuat dahiku berkerut, menatap dua paper bag itu.
Aku tak mengambilnya, aku malah memarahinya dengan berkata, "Bonyok bonyok, muka lu gue bonyokin mau?" tawark ketus tanpa perduli lagi aku sedang berada dimana. Enak banget dia manggil Mama Papa-ku dengan bonyok.
Dan anehnya ia malah terkekeh tanpa merasa bersalah dan tanpa malu. "Mau ... asal hatiku aja dibonyokin dengan cintamu," gombalnya sambil tersenyum.
"Ew ... gak mempan gombalan lu, Dirga!"
Bukannya marah atau merasa tersinggung Dirga malah diam memandangiku ... dalam? Tak ingin terhanyut ke dalam tatapannya aku berdehem sembari mengangkat sebelah alis. "Kenapa lo liat liat?!" tanyaku dengan nada ketus.
Ia mengerucutkan bibirnya. "Ih pelit banget ... ngeliatin kan gak bayar."
Aku mendengus menghilangkan perasaan gerogi di dalam dada. "Jadi mau nitip oleh-oleh gak? Gue sibuk!"
Dirga kembali menyodorkan dua paper bag yang ingin diberikannya kepada kedua orang tuaku. "Nih ... bilangin ke Mama Papa ini oleh-oleh gue dari Jogja."
"O ... gak nanya! Mau dari Jogja kek dari akhirat kek dari neraka kek, EGP!"
"Kamu cemburu? Tenang ... bukan cuma punya Mama Papa aja, punya kamu juga ada kok, disitu." Aku merasa aneh saat Dirga tiba-tiba memanggilku dengan kata 'kamu' dan apa hanya perasaanku saja dia terdengar lebih ... lembut?
Kutatap dirinya dengan garang sambil berkacak pinggang. "Eh ... eh ... eh ... lo bilang apa tadi? Mama Papa? Gak salah? Ngelindur lo?"
"Kan mau jadi camer Sya," cengirnya tanpa takut.
"Gak bakal camer lo nyokap gue! Dan satu lagi, gue gak butuh ya oleh-oleh dari lo!" tak ingin berdebat lebih panjang atau lebih tepatnya aku tak ingin membuat hatika terjatuh pada hati yang salah, setelah mengatakan itu aku langsung pergi meninggalkan dia.
"Gak sama lo, kan adek lo ada Syaaa!" teriaknya yang masih kedengaran dikupingku.
"OGAH PUNYA ADEK IPAR KAYAK LO!" teriakku tak mau kalah.
Dan aku pun mendapatkan tatapan tajam dari penghuni Perpustakaan.
Sial!
•••
'Drrtt ... drrtt ....'
Dera Calling
"Assalamualaikum." Aku mengucap salam terlebih dahulu dengan lembut.
"Walaikumsalam. Yun ... gue udah boking nih tempatnya. Bisa ketemuan gak?"
"Jam berapa?" tanyaku balik.
"Sekarang deh. Nanti alamatnya gue sms."
"Oke gue tunggu."
"Wassalamualaikum."
"Walaikumsalam." Aku memutuskan panggilan dan bergegas menuju parkiran mobil. Saat berada di dalam mobil, aku teringat akan kejadian beberapa hari yang lalu.
-Flashback-
Tok ... Tok ... Tok ....
"Assalamualaikum...."
Aku yang berada di ruang keluarga langsung berjalan menuju pintu depan. Tampak lah seorang gadis dengan kemeja warna hijau dengan lengan yang digulung, rambut dicepol dengan tas yang bertengger dibahunya.
"Masuk Der," ucapku memperilahkannya yang langsung duduk di sofa ruang tamu.
"Ada apa Der? Masalah si Bimo?" tanyaku to the point.
Dera memainkan jarinya, lalu menatapku dengan raut seperti orang yang merasa bersalah. "Ehm ... gue mau minta maaf soal kejadian di mobil Gadha beberapa hari yang lalu, Yun. Gue tau, seharusnya gue gak gitu. Gue sebenarnya bete aja waktu itu dicuekin kalian. Gue sadar seharusnya gue gak boleh childish gitu. Padahal ... lo aja gak mempermasalahkan hubungan gue dengan Gadha, tapi guenya yang malah childish gini. Maafin gue ya, Yun? Gue kebawa emosi waktu itu. Gue—"
"Udah ... gak apa-apa. Lagian ... gue gak mempermasalahkan kok Der. Gue yang salah waktu kemarin itu, Der. Seharusnya gue gak ikut kalian. Guenya yang ditumpangin malah nyalat gitu nyanyi-nyanyi" potong gue cepat.
"Gak ... Yun, gue yang salah, Yun. Gue—"
"Udah ah ... kenapa jadi main salah salahan gini? Mendingan kita fokus masalah Bimo. Okey?"
Dera pun menganggukan kepalanya setuju.
-Flashback off-
•••
Aku mempercepat jalanku menuju tempat janjianku dengan Dera. Setelah sampai, aku langsung menemukan Dera yang sedang melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Dengan melangkahkan kaki cepat aku menghampiri Dera yang duduk sendirian.
"Udah lama?" tanyaku berbasa basi.
Dera menggeleng. "Nih ... pesan cepet, gua laper." Ia menyodorkan buku menu beserta kertas dan pena untuk memesan makanan yang diinginkan.
Dengan sigap aku menulis pesanan yang aku lihat di buku menu, setelah itu aku langsung menyerahkan ke pelayan yang baru saja dipanggil Dera saat aku menuliskan pesanan. Sepertinya dia benar-benar sudah kelaparan.
"Jadi gimana?" tanyaku membuka percakapan.
Dera yang sedang mengetikkan sesuatu di handphonenya mengalihkan pandangan kepadaku. "Untuk tempat, udah gue booking. Beres deh. Eh ... sahabat kita yang lain udah lo ajak?"
Aku awalnya hendak menggeleng namun segera aku urungkan, karena tiba-tiba mendapatkan rencana baru. "Udah, tapi mereka belum tau bisa atau gak Der."
"Yaudah deh kita berdua aja kalo mereka gak bisa," ucapnya sambil tersenyum. "Eh itu dekorasi nya gimana? Biar orang cafenya yang ngedekor?"
"Eh gak usahh Der, biar kita aja yang dekor. Gue tau gimana dekornya kok. Kalo kita yang dekor kan kita bisa tau selera Winda gimana," ucapku memberikan alasan.
"Owh ... yaudah deh kalo gitu. Jadi kapan kita dekor?" tanya Dera.
"Sore sebelum acaranya aja." Dera mengangguk setuju, kami pun membicarakan segala hal yang diperlukan beserta segala hal yang dilakukan untuk memberikan yang terbaik kepada Winda, tanpa ada yang tau bahwa ada rencana lebih menakjubkan yang telah aku persiapkan.
•••
"Yun ... ini balon gas nya mau di taruh dimana Yun ?" tanya Bimo.
"Di situ aja," tunjukku kearah sebelah pintu.
Di sore hari sebelum acara aku, Dera dan Bimo telah berada di Cafe spupunya Dera. Hari ini, yang seperti rencana sebelumnya. Bimo akan meminta Winda untuk balikan dengan cara yang romantis...tis...tis.
Aku yang sedang menata lilin-lilin di pinggir kolam, berhenti sejenak untuk melihat jam yang ada di ponsel. Setelah itu aku menoleh ke arah Bimo. "Bim, pinjam hp lu dong. Hp gue batlow. Penting nih, gue ada yang lupa, mau ngubungin orang," ujarku.
Bimo yang sedang ngedekor meja langsung menghentikan pekerjaanya sejenak untuk memberikan handphonenya kepadaku. Saat handponenya telah berada di genggamanku, dengan cepat jari-jarikumengetikkan sesuatu di handphone Bimo dan langsung mengirimnya dan tak lupa menghapusnya.
Setelah itu aku kembali melanjutkan pekerjaanku. "Der ...?" teriakku.
"Apa ....?" balasnya berteriak.
"Tolong ambilin itu dong ... korek api." Aku menunjuk meja yang berada di sebelah Dera.
Dera mengambil korek yang aku pinta, dengan berlari kecil ia menghampiriku, tanpa ingat kalau dia sedang menggunakan high heels yang cukup tinggi.
"Der ... pelan-pelan, di sini licin," ingatku padanya.
"Alah ... gue udah biasa kok pake—"
Byurrrrrr ....
Dera terjatuh kedalam kolam renang. Aku terdiam melihatnya sejenak.
"Yunhhh .... tolong gue ... Yunnhhh," ucapnya terengah-engah.
Aku hanya diam menatapnya dalam rentang waktu lama. Melihat Dera semakin tak berday, aku kembali melihat jam yang ada diponselku dan baru setelah itu meneriaki Bimo yang pergi sedang mengganti baju. "Bimooooooooooooo!!!"
Tak ada jawaban.
"Bimoooooooooooooooooooo!!!" teriakku lebih keras lagi.
Dengan berjalan mondar-mandir didekat kolam seperti orang yang kebingungan, aku terus-terusan meneriaki Bimo. Tak lama Bimo pun datang setelah aku berteriak untuk kesekian kalinya "Kenapa Yun?" Ia berlari tergopoh-gopoh.
"Nyebur ... cepat! Dera tenggelam." Aku menunjuk ke arah kolam, Dera sudah tak nampak lagi dipermukaan.
Tanpa banyak omong Bimo pun langsung nyebur mengikuti perintahku.
Byurrrrrrr ....
Tak butuh waktu lama Bimo langsung membopong Dera ke atas kolam, setelah mendapati Dera. "Bim ... bawa ke kamar sebelah sana aja," perintahku menunjuk kamar pegawai Cafe di sini; yang dipakai pegawai kalau sedang beristirahat. Aku sudah menghafalnya saat Dera memberi tahu isi cafe ini beberapa hari lalu saat kami survey.
Bimo langsung membopong Dera ke dalam kamar yang diikutiku yang berjalan di belakang mereka.
"Bim ... kayaknya lo harus kasih dia napas buatan, deh. Gue ... gue mau telpon dokter dulu," ucapku dengan wajah panik berjalan keluar kamar meninggalkan mereka begitu saja.
Aku sengaja membiarkan pintu kamar tersebut teruka, setelah itu aku berjalan keluar Cafe. Yah, saat yang tepat. Aku mendengar suara deru mobil yang berada di parkiran Cafe.
Dan ternyata orang yang keluar dari mobil itu, orang yang saat ini aku tunggu-tunggu. "Yuhuuu ... permainan dimulai," gumamku pelan dengan tersenyum bahagia.
Tak ingin ketahuan, aku langsung berlari untuk mengintip mereka dari arah samping cafe; di balik pohon-pohon. Aku menajamkan penglihatan, dan aku mendapati ekspresi Winda yang tersenyum bahagia saat melihat dekor yang setengah jadi.
"Bimmm ... Bimooo?" panggil Winda lembut sambil celingak celinguk mencari keberadaan Bimo.
Berkali-kali ia memanggil Bimo sembari berjalan mencari Bimo di sekeliling cafe namun tak mendapat jawaban. Saat ke lima kalinya ia memanggil Bimo tiba-tiba ia langsung terdiam, aku pun langsung mengikuti arah pandangnya. Saat ini ia sedang melihat ke arah pintu kamar yang terbuka.
"Biii...mooo Der...a," lirihnya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tanpa berniat untuk berbicara satu patah kata lagi, Winda langsung berlari menunju pintu luar cafe.
"Ini baru awal, guys!"
•••
Apa itu kepuasan mu?
Maka inilah kepuasanku
Berbahagia lah diatas pendiritaanku
Tapi ada masanya aku berbahagia diatas kepahitan hidupmu!
-Yuna Resya Tirka