Bara sedang melamun saat pintu ruangannya diketuk dari luar. Setelah mengatakan masuk dengan tegas, Bara kembali menegakkan tubuhnya yang semula terkulai lemas di atas meja kerjanya. Lima menit menunggu, Bara menoleh saat tidak didengarnya pintu terbuka. Ketukan kembali terdengar. Lebih nyaring dan lebih banyak. Bara berdecak kesal. Dia tahu pasti siapa yang kurang kerjaan begini.
Dengan ogah-ogahan Bara berjalan untuk membuka pintu ruangannya lebar-lebar.
"Tutup lagi." Ucap seseorang yang baru saja melangkah masuk dan duduk di sofa dengan anggun. Tangannya menggapai majalah bisnis di atas meja. Membolak-balikkan seolah paham isi dari majalah tersebut.
"Mama nggak bosen ya gangguin aku?"
Kinan tertawa, "selagi kamu masih anak Mama, kamu akan selalu Mama gangguin."
"Kasih aja aku ke orang yang membutuhkan, Ma. Yang menyayangi aku sepenuh hati. Yang memperlakukanku selembut bayi. Yang..."
Majalah dipangkuan Kinan mendarat mulus mengenai jidat Bara. Tomi yang baru saja memasuki ruangan putranya ikut meringis melihat Bara mengelus jidatnya yang memerah.
"Kenapa ada kekerasan begini di kantor Papa?"
Kinan langsung menoleh, melirik suaminya yang kini duduk di sebelahnya dengan satu tangan merangkul pundak Kinan.
"Anak kamu ini, Mas. Minta di masukin dalam kandungan lagi."
Tomi terkekeh, anak dan istrinya selalu menjadi pewarna lengkap di hidupnya. "Kamu apain lagi Mama kamu, Bar?"
Bara berdecak jengkel. "Seharusnya Papa nanya begitu sama istri Papa. Lihat ni jidat mulus Bara merah. Kalau benjol gimana? Nggak ganteng dong pas nikahan nanti."
"Bukannya sofa yang Mama lempar ke jidat kamu. Cuma majalah lunak gitu." Cibir Kinan yang tidak mau kalah.
Tomi geleng-geleng kepala. "Di luar ada Cecil. Lagi asik ngobrol sama sekretaris kamu. Samperin sana."
Tanpa diminta dua kali Bara langsung berdiri. Bahkan terkesan berlari, bukan berjalan.
"Anak aku banget dia."
Kinan mencibir, "pencemburu akut!"
***
"Loh, sayang? Kok nggak bilang mau mampir ke sini?"
Bara melirik tajam sekretarisnya. Siapapun pasti akan tergoda melihat calon istrinya ini. Apalagi lelaki muda jelalatan seperti Iko. Yang terkenal playboy seantero kantor. Bara bahkan sangat update kalau itu gosip yang melibatkan nama Iko.
"Aduh, singanya keluar deh." Ucap Iko sambil menyengir lebar.
"Mata lo jaga, Ko. Gue congkel juga lama-lama."
Iko tertawa sambil mengedipkam sebelah matanya kepada Cecil. "Yaelah, Bang, sangar banget."
"Sana kerja. Makan gaji buta lo." usir Bara.
Iko berlalu sambil mencibir. Cecil tersenyum melihat raut kesal di wajah Bara. "Sama Iko aja cemburuan. Aneh kamu."
"Gimanapun Iko itu lelaki normal. Dan berpotensi besar untuk menggoda kamu."
"Aku udah digodain dari tadi. Kamu telat keluarnya."
Bara berdecak. Awas saja Iko itu nanti. Harus dikasih pelajaran biar matanya jelalatan sesuai mangsa.
"Betah juga ya Iko kerja sama boss sangar kayak kamu."
Keduanya sedang berjalan menuju lift. Karena sudah waktunya jam makan siang. Dan Cecil ingin makan siang di restauran di samping kantor Bara. Sudah pasti jam makan siang begini tempat itu penuh dengan karyawan perusahaan calon mertuanya.
"Seharusnya kamu nanya, 'betah juga ya kamu punya sekretaris setengah waras kayak Iko'. Gitu,"
Cecil tertawa. Dari dulu Bara dan Iko memang terkenal suka adu mulut. Bara dengan sikap bossy nya. Dan Iko dengan sikap pembangkangnya. Cocok banget dikombinasikan dengan Bara. Menjadi sebuah hiburan.
"Untung dia profesional." Ucap Cecil yang diangguki Bara.
Iko adalah putra bungsu Willa. Dan sejak kecil memang sudah mengenal Bara sebagai anak dari sahabat Ibunya. Umur mereka pun terpaut beberapa tahun tapi Iko tidak canggung sama sekali dengan Bara. Tidak heran kalau Iko bisa seenaknya dengan Bara yang memang tidak terlalu peduli dengan sikap Iko padanya. Sudah dianggap sebagai adik sendiri oleh Bara.
Saat keduanya memasuki restauran dan sedang memilih pesanan, sebuah suara menginterupsi keduanya.
"Eh, Cecil?"