Cecil tertawa, "bandel!"
"Bandel gini aja kamu cinta, kan?"
"Enggak tuh." Ucap Cecil sambil mencibir.
Bara menekuk wajahnya. Pura-pura tersinggung. Dengan senyum jenaka dia menggendong Cecil menuju kasur kemudian menggelitiknya hingga Cecil berteriak minta ampun.
"Geli tahu!"
Bara tertawa mendengar suara kesal Cecil yang masih terengah-engah. "Lihat kamu ngos-ngosan begini jadi mikir enak aku."
Cecil yang tidak sepenuhnya mendengar ucapan lirih Bara hanya memejamkan mata untuk menetralkan pernapasannya. Namun tidak berlangsung lama, kala bibir Bara melumat habis bibirnya dengan gairah.
Napasnya kembali putus-putus. Pasokan oksigennya terkuras karena lumatan Bara tanpa jeda. Cecil bahkan harus menancapkan kukunya dilengan Bara hingga membuat Bara terpaksa melepaskan tautan bibir mereka sambil meringis.
"Sakit, sayang."
Cecil menghirup oksigen sebanyak mungkin. Matanya menatap nyalang ke wajah Bara. "Kamu mau bunuh aku?!"
Bara terkekeh, "maaf." Bibirnya kembali menyerang Cecil di bagian leher. Menggigit-gigit kecil di sana. Meninggalkan bekas kepemilikan.
"BARA!"
Keduanya terlonjak kaget saat suara Kinan menggelegar di depan pintu kamar yang terbuka lebar.
"Eh, Mama." ucap Bara sambil tersenyum lebar dan beranjak duduk.
"Pindah ke kamar kamu! Kebanyakan modus kamu!"
Cecil mengulum senyum geli saat dengan patuh Bara berlalu keluar kamar dengan bibir mengerucut kesal.
"Kunci pintunya, Ce."
***
Kinan berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Di sofa sudah duduk Willa, sahabat sekaligus pemilik wedding organizer yang akan mengurus segala keperluan pernikahan putranya.
"Jadi sudah berapa persen semuanya?"
Willa berdecak kesal. Pasalnya sudah beberapa menit yang lalu dia duduk di sini dan Kinan tidak hentinya berjalan seperti setrikaan begitu. "Ki, duduk dulu. Pusing aku liat kamu mondar-mandir begini."
Kinan menggigit kuku jari jempolnya. "Wil, menurut kamu putraku itu gimana sih?" Tanyanya sambil duduk di sebelah Willa.
"Gimana apanya? Ya ganteng dong. Tajir, penyayang, setia sama satu perempuan."
Kinan menghembuskan napas gusar, "tadi malam aku dengar suara-suara aneh dari dalam kamar Bara. Aku tahu itu suara kepokanku, Iva. Terus karena penasaran sama apa yang sedang terjadi di dalam sana, aku ke kamar Cecil. Niatnya mau mastiin Cecil udah tidur atau belum. Dan aku hampir serangan jantung pas liat anakku lagi misuh-misuh ke Cecil dalam keadaan saling menindih di atas kasur."
Willa geleng-geleng kepala mendengar cerocosan sahabatnya. "Terus?"
"Ya, aku sih nggak masalah mereka mau nyicil cucu duluan buat aku. Yang nggak aku sangka itu, ternyata Iva juga menginginkan Bara. Suara aneh yang aku dengar itu suara desahan dan erangan, Wil. Aku nggak percaya kalau Iva punya imajinasi liar terhadap anakku. Padahal selama ini aku melihat mereka baik-baik aja. Kayak hubungan sepupu pada umumnya. Kalau begini, aku harus jauhin Iva dari Bara. Takutnya Bara tergoda dan khilaf. Kamu tahulah ponakanku seksinya gimana. Dan sedikit agresif."
Willa tidak bisa tidak tertawa. Dulu dia memang menginginkan Bara sebagai menantunya. Namun sayang, putrinya sudah punya calon sendiri. Dan Bara pun sudah memiliki keinginan hatinya sendiri.
"Jadi intinya kamu mau ngusir Iva balik ke habitatnya?"
"Itu yang anehnya sekarang. Iva malah lebih sering liburan ke sini. Padahal dulu aku yang minta baru ke sini. Nah, sekarang, dia yang datang tiba-tiba."
"Jujur sih, Ki, aku emang kurang suka sama Iva. Dia kelihatan misterius gitu."
Kinan memukul pelan paha Willa. "Misterius matamu. Jadi merinding aku, Wil."
Willa tertawa. "Udahan julid-in ponakan sendiri. Mending bahas persiapan nikahan anak kesayanganmu itu. Sebelum cucumu lahir."
Kinan ikut tertawa, "proses aja mereka belum. Kan, tadi malam gagal karena aku teriakin."
Keduanya terbahak bersama. Sampai tidak tahu bahwa ada seseorang yang mendengar semuanya dengan tangan terkepal.