Cecil mendengkus kesal saat untuk kesekian kalinya ponsel di atas kasurnya berdering. Dengan malas-malasan Cecil beranjak dari duduknya di depan cermin meja rias. Keningnya berkerut tatkala melihat nama dilayar ponsel tersebut.
"Kenapa enggak di angkat?"
Cecil menoleh kala suara Bara terdengar dari arah pintu kamar mandi. "Sepupu kamu."
Bara mendekat kemudian memeluk tunangannya itu dengan sayang. "Angkat dong,"
Cecil berdecak sambil meraih ponsel Bara yang sejak setengah jam lalu berdering namun Cecil abaikan. Tapi makin lama dia risih dengan panggilan yang tidak ada hentinya itu.
"Loadspeaker aja."
Masih dengan posisi memeluk Cecil dari belakang, Bara mengendus leher jenjang gadisnya. Wangi vanila langsung tercium di hidung Bara. Wangi khas Cecil.
["Halo, Bar, kamu bisa jemput aku di bandara? Supir yang disuruh Tante belum datang. Aku udah nunggu setengah jam disini."]
Cecil menyikut perut Bara dengan sikunya. Bukannya membalas suara yang di seberang telepon, Bara malah semakin membenamkan wajahnya di ceruk leher Cecil.
"Mas, ngomong dong." Bisik Cecil.
"Hmm,"
["Halo? Bara? Kamu di sana, kan?"]
"Aku nggak bisa. Lagi sibuk. Pakai taksi aja."
Setelah mengatakan itu, Bara mematikan panggilan dari Iva. Dia muak harus direpotkan dengan manusia bernama Iva. Kalau bukan karena hari pernikahannya dengan Cecil, Bara sudah pasti akan menolak kehadiran Iva kembali ke rumahnya. Perempuan itu bagai biang masalah di hidup Bara.
"Siap-siap gih, keburu siang." Ucap Cecil.
Bara tersenyum nakal, "satu ronde lagi."
Cecil melotot. "Satu ronde apaan?! Nanti pembaca kira kita habis wik wik lagi."
Bara tertawa, "biar aja. Mereka, kan emang suka gitu. Baper sama yang romantis kayak kita."
Cecil mendengkus sambil berjalan meninggalkan Bara yang terkekeh. "Buruan, Mas. Kamu bilang ada rapat jam 9, ini udah mau jam 9 loh."
"Papa yang gantiin. Aku masih lemes. Pingin istirahat aja di rumah sama kamu."
Bara berbaring diatas kasur Cecil dengan kedua tangan terbentang. Cecil yang saat ini kembali ke depan meja rias menggeleng geli melihat kelakuan tunangannya dari pantulan cermin.
Setelah mengoleskan krim siang dan lipstick tipis, Cecil menghampiri Bara. "Udah nggak pusing, kan?" Tangannya menyentuh kening Bara.
Sehari setelah mereka kembali dari makam keluarga Cecil, Bara jatuh sakit. Badannya panas. Dan ini hari ke 4 Bara tidak masuk kerja. Selama 4 hari itu pula dia selalu ke kamar Cecil. Kadang Kinan dibuat pusing oleh ulah anak semata wayangnya itu.
"Ce..."
Cecil menoleh kala Kinan yang baru saja masuk ke dalam kamarnya sambil membawa baki berisi makanan dan minuman untuk Bara.
"Masih tidur dia?" Tanya Kinan saat melihat putranya masih terbaring di atas kasur dengan gaya tertelentang seperti orang mabuk.
"Udah bangun kok, Tan. Barusan baring lagi dia."
Kinan berjalan kearah Bara setelah meletakkan baki makanan ke atas nakas. "Bar, sarapan dulu. Habis itu minum obat."
"Hmm,"
Kinan berdecak sambil memukul gemas paha Bara. "Jangan sok manja kamu. Buruan! Keenakan sakit lama-lama kamu bisa tidur di kamar Cecil."
Cecil tersenyum geli melihat Bara yang langsung duduk dengan malas-malasan.
"Mama keluar gih sana. Ngapain lama-lama di sini?"
Kinan kembali memukul Bara. Sasarannya adalah lengan sang putra. "Durhaka kamu!" Ucapnya sambil berlalu keluar kamar.
"Pintu jangan dikunci, Bar! Nanti kamu macem-macem di dalam." Ucap Kinan lagi saat berhenti dan menoleh ke arah Bara.
"Satu macem aja kok, Ma."
***
Bara sedang memilih baju di lemari kala pintu kamarnya di buka dan masuk sosok Iva.
"Keluar."
Bukan Iva namanya kalau langsung nurut perkataan Bara. Perempuan itu memilih duduk ditepian ranjang Bara. Matanya menjelajah ke sekeliling isi kamar. Lengkung bibirnya tercetak jelas. "Aku rindu tidur di sini." Ujarnya seraya merebahkan diri di atas kasur dingin Bara. Wajar saja dingin, sudah 4 hari kasurnya tidak ditempati.
"Sifat murahan kamu bisa di tinggalin di New York sana? Menjijikkan."
Bara berlalu keluar kamar sambil membanting pintu. Laki-laki itu kesal harus berlama-lama dengan Iva di satu ruangan dan bernapas dalam udara yang sama. Perempuan ular seperti Iva memang harus dihindari. Bisa menggigit kapan saja dan bisanya mematikan.
Bara melirik jam diponsel yang ia pegang. Pukul 9 malam. Kakinya melangkah ke kamar Cecil. Membuka pintu kamar dengan pelan.
"Ce," panggilnya. Namun sang empunya nama tidak kelihatan dan menyahut.
"Sayang?"
"Aku di balkon."
Bara tersenyum. Kakinya melangkah dengan cepat ke arah balkon. "Dingin. Kenapa di luar?"
Angin berhembus kencang. Sepertinya akan turun hujan. "Ayo masuk." Bara menarik tangan Cecil agar segera masuk. Setelahnya, ia menutup pintu kaca yang menjadi pembatas balkon dan kamar kemudian menutup gordennya.
"Kamu ngapain ke sini lagi?"
Bara menyengir lebar. "Tidur dong." Ucapnya.
Cecil mendengkus geli, "udah sembuh, Mas. Kalo Tante Kinan tahu, kena omel kamu." Ujar Cecil kala tangannya menyentuh kening dan menangkup wajah Bara. Sudah tidak panas seperti beberapa hari lalu.
"Aku nggak akan bosan dengar Mama ngomel kalau alasan ngomelnya karena aku nggak mau jauh dari kamu."
Cecil tertawa, "bandel!"