"Habisin," titah Cecil menatap Bara dengan pandangan geli.
"Demi kamu." Pasrah Bara kemudian menyuap nasi gorengnya.
"Nanti ikut Tante ke butiknya Willa ya, Ce. Lihat-lihat dulu mana tau ada desain yang kamu suka dari koleksi di sana. Kalau nggak ada kita bisa langsung bilang ke Willa maunya gimana."
Cecil menatap Bara sekilas, "secepat itu, Tan?"
Kinan mengangguk semangat, "Tante mau secepatnya nimang cucu."
Bara langsung tersedak nasi gorengnya di dalam mulutnya. Untung sedikit, jadi tidak sampai tersembur.
Cecil menyodorkan air putih kemudian menepuk pelan punggung lelaki itu. "Pelan-pelan makannya,"
Bara melirik Kinan dan Tomi bergantian, 'nggak sabar banget bonyok gue mau nimang cucu. Dikira sekali bikin langsung jadi apa, ya. Padahal kan pingin manja-manja dulu sama Cecil berdua. Hadeuh.' batin Bara.
***
"Ayo,"
Bara menggandeng tangan Cecil. Saat ini mereka sedang berada di kawasan TPU. Bara ingin meminta restu kepada kedua orangtua Cecil agar segalanya dipermudahkan sampai hari H nanti. Langkah pertama Bara mengajak Cecil ke makam ayahnya. Mereka berdoa untuk Yusuf sebelum menyampaikan tujuan mereka datang saat ini.
"Yah, apa kabar? Maaf udah hampir dua bulan Kakak nggak ke sini. Ayah pasti lagi senyum sekarang ngelihat Kakak udah bisa nerima semuanya dengan lapang dada ya? Kakak harap Ayah sama Ibu tenang di sisi-Nya. Doa Kakak selalu menyertai kalian."
Cecil menarik napas, dia menahan genangan air matanya. Dia ingin terlihat kuat di depan makam ayahnya. "Cecil ke sini sama Mas Bara, Yah. Ayah masih ingat Mas Bara, kan? Mas Bara anak Tante Kinan dan Om Tomi, Yah. Mas Bara pacarnya Cecil sejak masih putih abu-abu, Yah. Mas Bara yang dulu selalu Ayah percayakan buat jagain Cecil kalau Ayah sedang pergi-pergi sama Ibu dan Indri." Cecil tersenyum kemudian memandang Bara. Bara mengusap pundak gadisnya.
"Om, saya ingin meminta restu kepada Om untuk menikahi Cecil. Saya mencintai putri Om dari dulu hingga waktu yang tidak ditentukan. Saya ingin membahagiakan putri Om dengan segala kasih sayang dan cinta yang saya punya. Saya tidak ingin kehilangan Cecil untuk kedua kalinya, Om. Saya berharap, Om di sana juga bisa merasakan bahagia yang kami rasakan. Kami akan selalu mendoakan Om dan Tante."
Air mata Cecil perlahan mengalir di pipinya. Antara sedih dan bahagia. Sedih karena disaat seperti ini kedua orangtua dan adiknya tidak bisa menemani dirinya yang akan menikah. Bahagia karena sebentar lagi akan bersatu secara halal dengan lelaki yang ia cintai.
Setelah melakukan hal yang sama dengan makam Yusuf pada makam Loni, Bara mengajak Cecil bangkit untuk segera kembali ke rumah. Langit sore ini tampaknya tidak bersahabat.
"Bentar, Mas. Aku mau ke makam Indri bentar. Kamu duluan aja ke mobil."
Bara menggeleng, "aku tunggu di sini."
Cecil melangkah kemudian berjongkok di makam sang adik yang bersebelahan dengan makam sang nenek. Agak jauh dari makam kedua orangtuanya. Sebenarnya bisa saja Yusuf dan Indri berdekatan di sebelah makam neneknya. Namun saat itu ada orang yang meninggal dan lebih dulu dikuburkan di dekat sana. Makanya makam ayahnya agak jauh, dan ketika ibunya meninggal bisa berdekatan dengan makam ayahnya.
Butuh waktu sepuluh menit untuk Cecil beranjak dari makam adiknya. Dengan langkah ringan ia menghampiri Bara. Memeluk lengan lelakinya kemudian pergi dari sana.
'Doakan kehidupan Kakak dan Bara selalu dilimpahi kebahagiaan, Yah, Bu.' harapan Cecil di dalam hati.