"Mashhh... Udah..."
Cecil terengah kala tautan bibir mereka terlepas. Mata Bara terpaku pada bibir bengkak milik gadisnya. Napas keduanya masih putus-putus. Cecil yang pertama kali beranjak dari sofa. Mematikan DVD player serta televisi kemudian berlalu menuju dapur meninggalkan Bara yang kini tersenyum geli.
"Astaga." ucap Cecil kala dirinya berdiri di depan kulkas dan membuka pintunya.
Gadis itu meraih satu botol air dingin. Membuka tutupnya dan meneguk isinya hingga setengah. Pipinya merona merah. Antara malu dan kesal. Bisa-bisanya dia mengeluarkan suara menjijikkan seperti itu. Astaga.
"Bodoh." umpatny sambil menepuk-nepuk pipinya yang masih terasa panas.
Cecil menyudahi acara minumnya dan kembali ke ruang tamu. Bara sudah tidak ada di sana. Mungkin lelaki itu sudah masuk ke dalam kamarnya.
"Ce,"
Panggilan Bara dari belakang tubuhnya membuat Cecil menoleh. Bata keluar dari dalam kamarnya dengan selimut dan bantal di tangannya.
"Tidur. Udah tengah malem."
Cecil masih setia duduk di sofa dan melihat Bara menaruh bantal serta selimut di dekatnya.
"Kenapa masih di sini?" tanya Bara.
"Mas tidur di sini?"
Bara mengangguk dan menarik tangan gadis itu untuk segera beranjak dari duduknya.
"Tapi..."
"Udah, kamu tidur."
Cecil berjalan ke dalam kamar Bara dengan patuh. Sesekali gadis itu melirik ke belakang, Bara sudah berbaring di atas sofa dengan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Pasti badannya sakit-sakit. Sofa kan kecil." lirih Cecil dengan suara pelan.
Gadis itu menutup pintu kamar Bara. Dilihatnya baju kaos serta bokser milik Bara di tepian kasur. Sepertinya laki-laki itu menyiapkan untuknya. Cecil tersenyum dan mulai mengambil pakai tersebut kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
"Hujan lagi." ucap Cecil saat dirinya mendengar suara petir yang menggelegar.
Cecil mencoba memejamkan mata. Namun tidak bisa tidur karena suara hujan mulai terdengar deras. Petir menyambar dengan ganas. Cahaya kilat nya membuat Cecil menutup wajahnya dengan selimut.
"Kenapa harus hujan sih?" gumamnya dengan suara bergetar karena takut dengan suara petir.
"MAS!"
Cecil berteriak saat suara petir paling keras terdengar dan cahaya terang memasuki kamarnya.
"Ce..."
Bara masuk dengan wajah panik. Laki-laki itu memang belum tidur sejak tadi. Dirinya tahu kalau hujan turun. Tapi karena jendela jauh dari tempatnya berada, suara petir dan cahaya kilatnya tidak terlalu terdengar dan terlihat. Berbeda dengan kamar Bara. Jendela tidak jauh dari posisi ranjangnya.
"Takut..." cicit Cecil dengan suara serak. Sepertinya gadis itu sebentar lagi akan menangis.
Bara menaiki tempat tidur dan ikut bergabung dengan Cecil di dalam selimut. Sontak saja gadis itu langsung masuk ke dalam dekapan Bara saat laki-laki itu menarik kepala Cecil untuk bersembunyi di dada bidangnya.
"Udah, nggak papa. Aku di sini."
Cecil mengeratkan pelukannya di tubuh Bara saat suara hujan bertambah semakin deras. Bara mengelus punggung gadis itu dengan lembut. Menghantarkan rasa nyaman dan aman. Perlahan mata Cecil mulai mengantuk. Beberapa kali gadis itu menguap membuat Bara menghujami kepalanya dengan kecupan sayang.
"Jangan pergi..." gumam Cecil di sela rasa kantuknya.
"Enggak. Aku di sini nemenin kamu. Tidur aja."
Akhirnya gadis itu tertidur dalam pelukan Bara. Mungkin Cecil tidak menyadari dari tadi ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan Bara. Benda kenyal yang menempel di dadanya membuat Bara mati-matian mengatur napas dan mensugestikan diri agar tetap normal.
'Cobaan.' batin Bara.