Iva terbangun saat ponselnya berdering. Ternyata panggilan masuk dari ibunya yang berada di New York. Dengan senyum merekah di bibirnya Iva menerima panggilan tersebut.
"Halo, Mom." Sapanya riang. Gadis itu beranjak duduk menyandar di kepala ranjang.
["Halo, Princess. Bagaimana kabarmu di sana?"]
"Baik. Mommy apa kabar?"
["Baik juga. Daddy mu kangen tau. Nanya mulu kapan anak gadisnya balik ke sini."]
Iva terkekeh, "aku kangen kalian juga. Tapi kan liburanku belum berakhir, Mom."
["Ya, Mommy tau. Setidaknya jangan tunggu liburanmu habis di sana. Kembalilah lebih awal. Daddy ada kabar baik untukmu."]
"Kabar baik apa? Mommy membuatku penasaran."
["Hahaha, rahasia. Kabar baiknya akan kamu dengar setelah kembali ke New York."]
"Ya, ya, baiklah. Sering-sering saja membuat anakmu ini penasaran, Mom."
Ibu Iva kembali tertawa di seberang sana. Setelah bertanya basa-basi tentang keseharian Iva, sambungan telepon diakhiri oleh ibunya.
Iva menguap dan merentangkan tangannya. Ponselnya ia letakkan sembarangan di atas ranjang. Rasa kantuknya kembali menyerang. Gadis itu melirik jam di atas nakas, masih jam tujuh pagi. Udara dingin sehabis hujan deras menambah kemalasan Iva untuk beranjak dari kasur.
"Aku akan bangun siang." Ucapnya dan kembali merebahkan diri bergelung dalam selimut.
***
"Mas, bangun."
Cecil mengelus dengan lembut rahang kokoh milik Bara. Laki-laki itu tampak pulas dalam tidurnya. Cecil melirik jam di dinding kamar Bara. Sudah jam delapan dan ia merasa lapar.
"Mas..."
Bara hanya bergumam sebagai jawaban. Kekasih Cecil itu memang susah dibangunkan kalau sudah tidur. Kebo.
"Sayang, aku laper." Bisik Cecil merengek di telinga Bara.
"Kamu laper?" tanya Bara sambil membuka mata perlahan. Cecil mengangguk.
Mereka masih berbaring di atas ranjang dengan berpelukan. Bara membuka mata sepenuhnya. Dilihatnya Cecil yang kini mencebikkan bibir dan itu sangat menggemaskan di mata Bara.
"Pesan aja atau aku masakin?" tanya Bara.
"Pesan aja. Udah laper banget."
"Oke."
Bara meraba-raba nakas di sebelahnya. "Ponsel aku di luar kayaknya. Ponsel kamu mana?"
Cecil mengangsurkan ponselnya pada Bara. Gadis itu beranjak duduk dan berlalu memasuki kamar mandi. Membasuh wajahnya dan menggosok gigi. Sedangkan Bara bangkit berdiri sambil merenggang otot-otot tubuhnya. Apalagi otot tangan kanannya yang terasa kebas karena semalaman dijadikan bantal oleh Cecil.
Cecil keluar dari kamar mandi dan bergantian Bara yang masuk ke dalam sana. Melakukan hal yang sama seperti apa yang Cecil lakukan tadi. Saat keluar dari kamar mandi, Cecil sudah tidak ada di sana. Gadis itu duduk di ruang tamu menunggu pesanan mereka datang sambil menonton acara televisi.
"Kapan Tante sama Om balik?" tanya Cecil saat Bara duduk di sebelahnya.
"Nanti malem udah di rumah kayaknya."
Ponsel Bara di atas meja ruang tamu berdering. Nama Kinan tertera di sana membuat Bara terkekeh. "Panjang umur kan. Baru aja kita omongin."
"Halo, Ma?"
["Cecil mana, Bar? Mama telpon dari tadi nggak di angkat."]
Bara melirik Cecil yang kini berjalan ke arah pintu apartemennya karena suara bel berbunyi. Gadis itu kembali masuk dengan tentengan di tangannya. Rupanya pesanan mereka sudah sampai.
"Ini lagi sama Bara, Ma. Kenapa?"
["Kalian di rumah kan?"]
"Hm... nggak. Di apartemen Bara."
Di seberang sana Kinan terkekeh geli. ["Mama ganggu ya?"] godanya.
"Enggak kok. Kita lagi mau makan ini. Hape Cecil di kamar."
["Oh, gitu, yaudah kalian hati-hati. Kalo bisa sampai bablas."]
"MA!"
Kinan tertawa puas di seberang sana. Setelahnya sambungan telepon terputus. Bara mendengkus dan tersenyum geli tidak habis pikir dengan jalan pikiran ibunya.
"Tante ngomong apa, Mas?" tanya Cecil yang duduk di sebelahnya setelah tadi sibuk di dapur menyalin makanan mereka ke piring.
"Minta cucu."