Cecil menarik napas perlahan kemudian dihembuskan. Itulah yang ia lakukan beberapa kali sebelum memberi jawaban kepada Bara. Sedangkan lelaki itu masih setia menunggu dengan satu kaki ditekuk. Jantungnya di dalam sana sudah tidak bisa selow. Seperti habis maraton keliling Monas sebanyak 100 kali.
"Ce..."
"Aku nggak bisa, Mas."
Bara menegang. Dia ditolak.
"Maksud kamu apa? Kita udah baikan, kan?"
Cecil mengangguk. Bibirnya berkedut menahan segala ekspresi. Entah tangis atau tawa, entahlah.
"Aku udah terima lamaran orang lain."
Bara langsung terduduk seperti orang bodoh di lantai. Matanya menatap kaki kursi yang di duduki Cecil dengan perasaan campur aduk.
"Mas, berdiri dong. Diliatin orang,"
"Aku terlambat?" tanya Bara tidak menghiraukan sekelilingnya.
"Iya, kamu terlambat."
"Kenapa kamu terima, Ce? Bukannya kita masih saling mencintai? Aku udah berusaha buat semua ini. Dan kamu dengan mudahnya bilang nggak bisa? Kamu bercanda?"
"Aku nggak bisa nolak, Mas. Apalagi liat muka Mama kamu saat ngelamar aku."
Bara sontak mendongak dengan kening berkerut. "Kamu..."
Cecil langsung terbahak. Dengan sombong dia memamerkan cincin berlian dijarinya kehadapan Bara. "Om sama Tante udah ngelamar aku kemarin. Kamu telat!"
Bara menghembuskan napas sambil menutup mata. Dan Cecil menarik tangan Bara untuk segera berdiri. Memeluk lelaki itu dengan erat masih disertai tawa renyahnya. Semua pasang mata yang melihat kejadian itu awalnya kaget dan kasihan saat sang perempuan mengatakan 'nggak bisa'. Namun mereka ikut bernapas lega saat lelaki itu hanya dikerjai saja. Tepuk tangan disertai sorakan dan siulan bergema di seluruh ruangan. Cecil tersenyum malu di pelukan Bara. Sedangkan Bara mencium gemas pundak terbuka Cecil.
"Kamu bikin aku jantungan beneran, Ce. Tega banget."
Cecil tertawa lagi diikuti oleh tawa Bara. Kinan dan Tomi benar-benar mengerjainya. Bahkan mereka yang gencar menyuruh Bara menyiapkan malam ini dengan sempurna agar tidak ditolak Cecil. Tahu-tahu perempuan ini sudah menerima lamaran orangtuanya.
"Selamat ya, Pak." Ucapan dari dua lelaki yang Cecil lihat duduk dipojok kiri. Mereka menyalami Bara bergantian. Kemudian semuanya ikut menyalami Bara dan Cecil.
"Mereka karyawan aku." Ujar Bara menjawab kerutan di kening gadisnya.
Cecil melongo. "Jadi ini?"
Bara mengangguk sambil terkekeh. Dengan gemas campur kesal Cecil memukul lengan Bara. "Ngerjain aku juga!"
"Seri. Kita satu sama."
***
Bara bersiul saat memasuki dapur. Di sana sudah ada Cecil, Kinan dan Tomi. Bara mengambil tempat duduk di samping tunangannya.
"Gimana, Bar? Ditolak?"
Bara mendengkus mendengar sindiran Kinan. "Bara semakin yakin kalau Bara ini anak tiri Mama. Buktinya Mama nggak ada sayang-sayangnya sama Bara."
Kinan mencibir, "nggak sayang tapi Mama ikat gadis pujaan kamu. Biar nggak ditikung orang lain. Mending kemarin Mama terima aja tuh pinangannya anak teman arisan Mama. Biar nangis tujuh hari tujuh malam kamu."
Bara memutar bola mata jengah. Kinan dan omelan paginya. "Tuh, kan, nggak ikhlas banget bantuin anak sendiri."
"Kamu, kan anak tiri."
Bara melotot, "Ma!"
Tomi dan Cecil tertawa melihat kelakuan anak dan ibu tersebut. "Udah, ayo sarapan." Ujar sang kepala keluarga menengahi.
Kinan mengisi piring suaminya dengan nasi goreng buatannya. Sedangkan Bara langsung menyodorkan piring kosongnya kepada Cecil. Meminta hal yang sama dengan sang Papa. Cecil tersenyum sambil mengisi penuh piring Bara.
"Banyak banget, Yang." ujar Bara menatap isi piringnya.
"Biar kamu kuat kalau dikerjai lagi," sahut Kinan membuat Cecil dan Tomi tertawa.