Bara dan Cecil tiba di rumah orangtua Bara saat sore hari. Mereka sengaja menghabiskan waktu di apartemen Bara. Bukan seperti apa yang Kinan katakan. Bara masih bisa mengontrol dirinya dan adik kecilnya. Selama Cecil tidak menunjukkan aura untuk 'menggoda' versi Bara, maka semuanya akan aman terkendali.
"Jam berapa Tante sama Om sampai rumah?" tanya Cecil kala keduanya berjalan memasuki rumah.
"Tengah malem paling." jawab Bara sambil merangkul pundak Cecil.
"Kalian sudah pulang? Wah, seperti pengantin baru saja kalian menginap di luar."
Bara menatap malas sosok Iva yang kini tengah duduk di ruang tamu dengan majalah di atas pangkuannya.
"Kamu ke kamar duluan." ucap Bara pada Cecil dan gadis itu langsung menurut tanpa banyak kata.
Iva memandang tidak suka pada Cecil yang sama sekali tidak menoleh padanya.
'Murahan!' ejek Iva di dalam hati saat sosok Cecil sudah tidak terlihat lagi karena telah sampai di lantai dua.
"Bar, kamu besok anterin aku ke bandara ya."
Satu alis Bara terangkat. "Tumben kamu pergi sebelum diusir." ejek Bara dan berjalan menuju tangga.
Cecil hanya membiarkan saja dan kembali menekuni majalah yang di pegangnya. Gadis itu telah berpikir cukup lama hari ini. Keputusannya sudah bulat. Dia akan kembali ke New York besok hari. Ucapan ibunya terngiang di kepalanya. Mungkin saja 'kabar baik' versi orangtuanya akan menguntungkannya.
Meskipun jatah libur Cecil masih ada seminggu lagi, gadis itu tidak ingin lebih lama lagi di sini. Dia mengalah dan membiarkan Bara dan Cecil menikmati kebersamaan mereka sebelum benar-benar terpisah nantinya.
"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan mulus." ucap Iva sambil tersenyum miring.
***
Cecil duduk termenung di atas ranjang. Ingatannya kembali berputar pada saat Iva menemuinya di minimarket tempatnya bekerja dulu. Saat itu ada nomor asing yang menelponnya. Awalnya Cecil sudah mengira mendengar suara seorang perempuan. Namun dia tepis dan mencoba berpikir positif. Tapi saat sore harinya, ketika ia hendak pulang ke rumah, Iva muncul menghalanginya dan meminta waktu ingin bicara.
Cecil tahu sejak dulu Iva membencinya. Gadis itu seolah menunjukkan aura perang setiap mereka bertatap muka.
Saat itu Iva mengancamnya. Akan membuat hidup Cecil tidak tenang selama Cecil masih bersama dengan Bara.
Menghela napas, Cecil mencoba menenangkan hatinya. Semoga apapun rencana jahat Iva yang tertuju untuknya tidak akan terjadi. Gadis itu memang berbahaya. Tapi tidak mungkin sampai membunuh kan?
Kepala Cecil mendadak pusing.
"Ce..."
Bara masuk ke dalam kamarnya dengan senyum lembut. Cecil menepuk tempat kosong di sebelahnya. Bara mendekat dan duduk di samping Cecil.
"Besok temenin aku antar Iva ke bandara ya?"
"Iva udah selesai liburan nya?"
Iva memang terbiasa menghabiskan liburan kuliahnya di Indonesia. Sepupu Bara itu tengah melanjutkan studi masternya di salah satu universitas ternama di New York.
Bara mengangkat bahu tak acuh. "Mungkin dia bosan. Lagi pula, lebih cepat dia pergi itu lebih baik."
Cecil geleng-geleng kepala mendengar penuturan Bara. "Nggak boleh gitu. Gimanapun dia sepupu kamu, Mas."
Bara memandang Cecil dengan pandangan serius. "Aku udah berniat sejak dulu untuk menikahimu. Dan akan aku segerakan secepatnya."
"Mas, kamu yakin?"
Bara mengangguk mantap. "Karena cuma kamu yang aku inginkan untuk menjadi istri dan Ibu dari anak-anak ku kelak."