Bara tidak henti-hentinya tersenyum menatap gadis di depannya. Malam ini sungguh indah. Bara bersyukur Tuhan masih memberinya kesempatan untuk melihat senyum dan tawa gadis cantik di depannya ini. Karena bagi Bara, yang terpenting saat ini adalah bagaimana membuat Cecil-nya terus bahagia. Bara akan melakukan apa saja bahkan mengorbankan nyawanya jika hanya itu yang tersisa untuk melindungi gadis ini.
"Enak nggak?" tanya Bara saat Cecil mencicipi dessert dari piring Bara. Lelaki itu menyuapinya dengan penuh cinta. Padahal Cecil sudah mengatakan bisa mencoba sendiri, tapi dasarnya Bara saja yang ingin menyuapi.
"Habis ini mau ke mana?" tanya Cecil sambil menerima suapan lagi dari Bara.
"Mau nonton?"
Cecil melirik jam di ponselnya. Masih jam sembilan, opsi pergi menonton sepertinya lumayan menghibur.
"Mau."
Bara tersenyum manis dan mencubit pipi gadis itu dengan gemas. "Terus kayak gini ya. Aku nggak mau kamu sedih-sedih lagi. Cecilku harus terus ceria. Aku nggak bakal biarin kamu terluka atau sedih lagi. Maaf."
Cecil tersenyum. "Stop minta maaf terus, Mas. Nggak capek kamu? Aku yang dengar aja capek tahu."
Bara menggenggam tangan Cecil yang berada di atas meja. Dengan lembut dan pelan diusapnya punggung tangan Cecil menggunakan ibu jarinya. "Kata maaf aja nggak cukup buat nebus segala kesalahan yang pernah aku lakuin ke kamu, Ce."
Cecil menggeleng. Tangannya balas menggenggam tangan hangat Bara. "Cinta itu selalu memaafkan dan selalu menerima setiap perubahan dari sebuah kesalahan, Mas. Tanpa kamu minta maaf, aku pun udah memaafkan kamu dari dulu. Mungkin aku memang nolak kamu selama ini. Tapi bukan berarti aku nggak memaafkan. Bagaimana pun, hati aku nggak bisa dibohongi. Pemiliknya masih kamu."
Bara membawa genggaman tangan mereka ke bibirnya. Mengecup ringan jari-jari Cecil membuat gadis itu merona. Bara memang selalu manis dari dulu.
Usai makan malam, keduanya kembali melanjutkan rencana berikutnya, yaitu menonton. Karena posisi restauran yang Bara pilih ada di pusat kota, jadi mereka tidak terlalu jauh untuk mencari bioskop.
"Ini tempat pertama kali kita kencan." Ucap Bara yang diangguki Cecil. Tautan tangan keduanya seolah tidak ingin dilepas.
Satu hal yang Cecil suka dari Bara sejak dulu. Ke manapun mereka pergi, Bara tidak pernah melirik perempuan ke sana ke mari. Matanya tetap terjaga pada satu objek, yaitu Cecil.
"Masih nunggu setengah jam lagi film nya mulai. Mau beli apa?"
Cecil menggeleng. "Kenyang." Ucapnya dan menarik Bara untuk duduk di salah satu sofa. Cecil menyandarkan kepalanya pada bahu Bara. "Kok aku mendadak ngantuk gini ya, Mas."
Bara terkekeh, "kebiasaan kamu tuh siap makan pasti ngantuk."
Cecil ikut terkekeh. "Apalagi sandarannya nyaman begini." Ucapnya membuat Bara tersenyum lebar dan mengecup puncak kepala gadis itu.
'Bu, yang tenang di sana ya. Ibu baik-baik di sana. Ibu pasti udah ketemu ayah sama adek kan? Titip salam buat mereka ya, Bu. Bilangin kalo aku rindu kebersamaan kita. Oh, iya, Ibu jangan khawatir lagi ya. Aku udah bisa nerima semuanya sekarang. Tuhan lebih sayang Ibu. Tuhan tidak ingin Ibu tersiksa karena sakit terlalu lama. Dan, maaf ya, Bu, di hari seminggu kepergian Ibu ini aku malah pergi bersama Bara bersenang-senang. Jika hanya berdiam diri di rumah Tante Kinan, aku akan semakin merindukan kalian. Mulai sekarang, aku akan menyibukkan diri agar tidak larut dalam kesedihan. Makasih, Bu, karena sudah menemaniku selama 25 tahun. Aku sayang Ibu, Ayah, dan Indri.'
Cecil mengusap air diujung matanya. Lengan Bara yang melingar di bahunya mengusap lembut. Cecil yakin Bara pasti tahu apa yang dia pikirkan. Tetapi lelaki itu hanya diam. Membiarkan Cecil puas dengan pikirannya.