Cecil berjalan di halaman depan rumah lamanya. Rumah yang dulunya ditempati oleh keluarga yang harmonis. Keluarga yang utuh. Sudah seminggu sejak kepergian ibunya. Hidup Cecil semakin terasa suram.
Menghela napas pelan, Cecil membuka pintu utama dengan sebuah kunci yang sebelumnya diberikan oleh Kinan. Katanya rumah ini sudah dibeli kembali oleh ibunya beberapa hari sebelum beliau meninggal. Ibunya sampai menjual tanah di kampung halaman untuk bisa mendapatkan rumah mewah ini kembali.
Menurut cerita Kinan, rumah ini dulu dijual oleh ibunya karena ingin meringankan beban Cecil untuk biaya pengobatan. Loni tidak ingin putri satu-satunya banting tulang untuk menghidupi keduanya. Almarhum suaminya memang kaya raya. Tapi mengingat tidak ada sanak saudara yang bisa diandalkan untuk mengelola perusahaan Yusuf, akhirnya perusahaan itu juga Loni jual ke Tomi -suami Kinan.
Yang selama ini tidak diketahui oleh Cecil adalah bahwa uang dari hasil penjualan keseluruhannya masih ditabung sebagian oleh ibunya meski sebagian lagi sudah habis untuk operasi dan pengobatan. Loni berpikir untuk jauh-jauh hari demi kehidupan putrinya. Dari kecil Cecil tidak pernah kekurangan apapun. Dan dia tidak akan sanggup jika melihat putrinya harus mencari nafkah ke sana ke mari demi sesuap nasi.
Dulu, sewaktu Loni berbicara kepada Kinan mengenai niat untuk menjual rumah, Kinan menolak keras. Kinan bisa meminjamkan uang bahkan memberikan secara cuma-cuma jika itu menyangkut kehidupan Cecil dan Loni. Tapi Loni juga menolak keras. Dia tidak ingin membebani siapapun lagi. Sudah cukup putrinya saja yang kesusahan merawatnya saat sakit.
"Kalau begitu biar aku saja yang beli rumah ini. Berapa kamu jual? Di sini banyak kenangan keluargamu dan keluargaku, Loni. Aku nggak mau semua kenangan itu hilang bersama masuknya penghuni baru di sini."
Begitulah kata-kata Kinan saat itu. Dan Loni pun menyetujui untuk menjual rumah yang dibangun suaminya kepada Kinan. Selama ini Kinan selalu merawat mantan rumah sahabatnya dengan baik. Asisten rumah tangga yang dulu dipekerjakan oleh Loni tidak satupun yang Kinan ganti. Semuanya utuh seperti saat keluarga Loni masih tinggal di sana.
Dan karena hari ini merupakan akhir minggu yang mana memang semua asisten kecuali satpam di pagar depan pasti akan pulang ke rumah masing-masing.
Cecil melangkah semakin dalam memasuki rumahnya. Semua kenangan saat keluarga Muhammad Yusuf masih tinggal di sini berputar seperti sebuah film keluarga yang membuat iri para penontonnya.
Kaki Cecil meniti anak tangga untuk sampai ke lantai dua. Di sana ada tiga kamar. Kamarnya, kamar Indri -adiknya- dan kamar tamu. Sedangkan di lantai bawah ada kamar orangtuanya dan satu kamar tamu.
Perlahan tangannya menyentuh gagang pintu bercat putih. Kamarnya. Sudah berapa lama ia tidak masuk ke sini? Kira-kira sudah hampir setahun semenjak mereka menjual rumah mewah ini dan membeli rumah yang lebih kecil di seberang jalan depan.
"Kenangan kita masih utuh di sini, Yah, Bu, Dek. Aku bakal rawat rumah ini seperti merawat diriku sendiri. Hanya dirumah ini aku bisa merasakan kehadiran kalian. Ayah, Ibu, Adek, Kakak rindu." ucap Cecil dengan suara serak.
Lagi, Cecil menangis sembari terduduk di lantai kamarnya. Wajahnya ia tenggelamkan diantara lutut yang ia tekuk. Punggungnya bersandar pada badan ranjang.
Langkah kaki yang terdengar tidak membuat Cecil mengangkat wajahnya. Sampai usapan lembut di rambutnya membuat ia semakin terisak. Dia rindu segalanya di masa lalu. Kecuali luka yang sempat ditorehkan pada hatinya.
"Maaf,"
Cecil menggeleng. "Seharusnya aku yang minta maaf karena nggak pernah ngasih kesempatan kamu buat bicara."
Orang itu adalah Bara. Lelaki itu diam sambil menunduk. Mereka duduk berhadapan di dalam kamar Cecil. Bara di kursi kecil yang biasa digunakan Cecil untuk duduk di depan meja rias sedangakn sang empunya kamar duduk di tepian kasur.
"Seharusnya aku nggak pergi malam itu. Dan kita akan baik-baik aja." ucap Bara dengan nada menyesal yang amat kentara.