"Antar aku ke kamar." ucap Iva dengan suara serak sehabis menangis. Bara menurut. Membopong tubuh Iva untuk dibaringkan di ranjang.
"Kamu istirahat. Aku pamit pulang dulu." ujar Bara sambil berdiri menjauhi ranjang Iva.
Iva menggeleng lemah. "Di sini dulu sampai aku tidur."
Bara menghela napas pelan. Dia duduk ditepi kasur Iva.
"Baring, Bar. Aku kangen kamu peluk biar cepat tidur. Aku akan berusaha lupain semua yang terjadi malam ini." lanjut Iva kembali berkaca-kaca.
Bara yang tidak tega segera berbaring. Dia lemah kalau masalah perempuan. Apalagi ini Iva. Sepupu yang dia sayangi seperti adik sendiri. Sejak kecil mereka bersama. Mereka hanya terpaut usia dua tahun.
***
Cecil berlari sepanjang lorong rumah sakit bersama kedua orangtua Bara. Dia mendapat telepon beberapa menit yang lalu kalau mobil yang dikendarai oleh ayahnya mengalami kecelakaan.
"Dok, gimana keadaan keluarga saya?"
"Pak Yusuf dan Indri meninggal dunia karena benturan yang cukup kuat dari mobil lawan yang menghantam bagian kanan mobil di mana Pak Yusuf dan Indri berada. Dan Buk Loni sedang... kritis."
Cecil ambruk di lantai. Kinan segera memeluknya. "Nggak mungkin." Isaknya.
Sejam berlalu. Cecil masih mencoba menghubungi Bara. Bahkan kedua orangtua Bara sekarang sedang sibuk mengurus kepulangan jenazah yang akan dikebumikan esok hari.
'Kamu ke mana sih, Mas?' ucap batin Cecil sambil terus mendial nomor Bara.
Tidak lama panggilannya terjawab. Namun bukan Bara, tapi suara perempuan.
"Halo?"
["Ya, Ce? Kenapa?"]
Cecil membatu. Suara Iva, sepupu Bara. Kenapa ponsel Bara dijawab Iva? Ke mana Bara?
"Mas Bara mana, Mbak?"
["Bara lagi tidur. Capek banget kayaknya dia. Kenapa, Ce? Ada pesan buat Bara?"]
Cecil menahan air mata yang sudah membendung. "Enggak, Mbak. Maaf mengganggu."
Sambungan terputus dan Cecil kembali terduduk di kursi tunggu lobi rumah sakit. Bara berbohong. Dia bilang teman? Sejak kapan status Iva berubah jadi teman? Teman tidur maksudnya?
"Aku benci kamu, Bar!" ucap Cecil serak sambil menepuk dadanya yang kian terasa sesak.
***
Bara masuk kembali ke dalam kamar Iva. Dilihatnya perempuan itu sedang tertidur menyamping membelakanginya. Bara menghela napas pelan. Diletakkannya gelas berisi coklat dingin kesukaan Iva di atas nakas. Lalu perlahan dia menyentuh rambut Iva.
"Maaf kalau aku menyakiti kamu, Va. Aku yang salah. Seharusnya aku nggak terlalu memanjakan kamu sampai kamu salah artikan begini perlakuanku."
Dikecupnya kening Iva sebelum Bara benar-benar berlalu pergi dari apartemen sepupunya itu.
Iva membalikkan badan. Air matanya kembali luruh. Seharusnya dia kubur mati perasaannya pada Bara. Dari awal dia tahu kalau lelaki itu tidak akan membalas perasaannya. Tapi ego Iva lebih dominan hingga melangkah sampai ke tahap ini.
"Kalau aku nggak bisa miliki kamu, perempuan itu juga nggak boleh miliki kamu, Bar. Aku nggak rela." Lirihnya sambil terisak.
Iva yakin kalau kekasih lelaki itu pasti salah paham sekarang. Mengingat bahwa beberapa menit yang lalu saat Bara membuatkan coklat dingin kesukaannya agar ia bisa tidur, perempuan itu menelepon ke ponsel Bara berkali-kali. Awalnya Iva enggan untuk menjawab. Tapi dia penasaran, bagaimana reaksi perempuan itu saat tahu Bara sedang bersamanya hampir tengah malam begini? Pasti perempuan itu akan berpikir macam-macam.
"Aku bakal terus berusaha, Bar." tekat Iva dengan senyum yanh terkembang lebar.
***
Cecil sedang melamun di dalam kamar saat pintu kamarnya diketuk. Kinan masuk dan menghampiri Cecil.
"Ce, kamu mau ikut ke rumah sakit? Biar di sini Tante yang urus untuk pengajian nanti malam. Katanya ibu kamu sudah siuman."
Cecil langsung menoleh saat mendengar kalimat terakhir Kinan. "Ibu udah sadar, Tan?"
Kinan mengangguk. "Sekarang Om Tomi yang bakal ke sana. Kamu siap-siap. Tenangin ibu kamu. Nanti Om Tomi yang bakal jelasin ke ibu secara perlahan. Kamu harus kuat di depan ibu ya, sayang. Sekarang cuma kamu harapan ibu." Elusan lembut Kinan berikan pada rambut panjang Cecil. Cecil mengangguk sembari matanya berkaca-kaca.
"Mas Bara udah datang, Tan?"
Kinan menghela napas sambil menggeleng. "Ponselnya nggak aktif dari semalam. Tante udah coba telpon ke teman-temannya tapi nggak ada yang tahu. Dia nggak pernah begini. Bikin khawatir."
'Dia lagi senang-senang sama sepupu kesayangannya, Tan.' Cecil membatin.
"Yaudah kalau gitu Cecil siap-siap ya, Tan."
Cecil beranjak dari kasurnya. Melangkah ke kamar mandi untuk membasuh muka agar wajahnya terlihat sedikit segar. Dia harus kuat demi ibunya. Sekarang dia cuma punya ibunya. Dan ibunya juga cuma punya dia seorang. Urusan Bara biarlah belakangan. Cecil sedang tidak ingin memikirkan kegiatan apa yang sedang lelaki itu lakukan sekarang bersama perempuan bernama Iva itu.