Butuh dua puluh menit untuk Cecil bersiap hingga sampai di rumah sakit.
"Bu," panggilnya saat memasuki ruangan sang ibu dan duduk di kursi sebelah ranjang rumah sakit.
"Hai, anak Ibu. Ayah sama adek gimana, Kak?"
Cecil menggigit kuat-kuat bibirnya bagian dalam agar isakan tak lolos dari bibirnya. Tomi berjalan mendekat. Mengusap pundak Cecil dengan lembut.
"Kinan mana, Tom?" tanya ibu Cecil.
"Kinan di rumah. Ada yang mesti aku bicarakan sama kamu, Loni." ucap Tomi dengan wajah serius.
Ibu Cecil menatap bingung putri dan suami sahabatnya. "Aku ingin bertemu suami dan putriku. Kak, bantu Ibu ketemu Ayah sama Adek, yuk."
Cecil menggeleng. Tangisnya pecah. Sekuat apapun dia mencoba menahan, nyatanya dia tetaplah lemah. Melihat wajah pucat ibunya seolah menamparnya dengan kenyataan bahwa bukan hanya dirinya yang kehilangan. Tapi ibunya jauh lebih kehilangan. Suami dan anak. Siapa yang sanggup dihadapkan pada dua kenyataan pahit sekaligus. Kehilangan separuh jiwanya dan kehilangan buah cintanya.
Tomi mengusap pundak Cecil dan menepuknya pelan. Cecil menelungkupkan wajahnya ke ranjang tempat ibunya berbaring.
"Yusuf dan Indri tidak selamat, Loni. Mereka terkena benturan yang sangat kuat. Suami dan anakmu kehilangan banyak darah di TKP. Mereka meninggal dan... pemakaman sudah selesai dua jam lalu."
Cecil mengangkat wajah saat tidak didengarnya reaksi apapun sang ibu seperti menangis ataupun menjerit setelah beberapa menit berlalu. Bayangannya salah. Dia kira ibunya akan sangat terpukul dan entahlah, Cecil tidak sanggup membayangkannya.
"Bu," panggil Cecil dan dibalas usapan lembut tangan tua ibunya membuat Cecil semakin terisak.
"Jangan nangis terus, Kak. Kasian Ayah sama Adek nanti tersiksa di sana. Kita harus doain supaya Ayah dan adek tenang di sana." Cecil menggeleng. Bukan karena menolak pernyataan ibunya. Tapi lebih kepada tidak percaya bahwa wanita di depannya adalah wanita yang super tegar.
"Sebelum kecelakaan itu, Ayah udah banyak ngelantur. Ngasih Ibu wejangan buat jagain Kakak. Ibu harus begini. Ibu harus begitu. Kakak nggak boleh begini. Kakak nggak boleh begitu. Pokoknya Ayah beda. Ayah lebih banyak bicara dari biasanya. Bahkan Ayah bilang waktu diperjalanan pulang begini, 'Bu, putri kita ada dua. Ayah jaga satu, Ibu jaga satu. Ayah nggak bisa biarin Ibu nanggung tanggung jawab sendiri. Kita jaga putri kita sama-sama. Ayah sama Adek, Ibu sama Kakak.' Waktu itu Ibu nggak ada perasaan apapun. Ibu cuma nyubit Ayah sambil bilang kalau Ayah ngomongnya kayak orang yang mau pergi jauh. Adek tidur pas Ayah bicara begitu. Ibu sampai menoleh ke belakang Ayah untuk lihat Adek. Dia tenang banget meskipun waktu itu hujan deras dan suara petir menggelegar."
Cecil semakin tersedu-sedu. Ayah dan Adiknya kenapa harus pergi secepat ini? Dia belum siap kehilangan. Dia nggak akan pernah siap. Apalagi yang tiba-tiba begini.
"Kalian harus kuat, harus sabar, harus tegar. Semuanya pilihan terbaik dari Yang Maha Kuasa. Semua sudah tulisan takdir."
Dokter masuk saat kalimat terakhir dari Tomi tersampaikan.
"Selamat sore,"
Tomi mengangguk ramah menjawab sapaan hangat sang dokter. "Ini salah satu keajaiban ya. Bu Loni bisa siuman dengan cepat dan ucap syukur karena tidak ada cedera yang serius."
Cecil dan Tomi bernapas lega. "Jadi kapan pasien bisa pulang, Dok?" tanya Tomi.
"Bu Loni sudah bisa pulang sore ini. Hanya saja harus ekstra istirahat karena fisiknya masih lemah." ucap dokter.
Tomi mengangguk paham. Tangannya masih mengelus lembut pundak Cecil. Berusaha menenangkan gadis itu bahwa semuanya baik-baik saja sekarang. "Dan maaf sebelumnya, Bu Loni ada keluhan lain sebelum insiden kecelakaan? Seperti sering nyeri pada punggung?"
Loni melirik putrinya. "Memangnya kenapa, Dok?"
"Ibu mengidap kanker. Dan kanker Ibu ini jenis yang ganas. Kalau tidak cepat diatasi takutnya menyebar ke organ vital lainnya."
Loni terdiam. Dia sudah tahu akan hal ini setahun belakangan. Bahkan suaminya tidak tahu-menahu mengenai penyakitnya. Loni menyimpan rapat rahasia kesehatannya seorang diri.
"Ibu saya sakit apa, Dok?" Cecil yang dari tadi diam menjadi penasaran.
"Kanker payudara."