Langit malam tampak cerah dihiasi bintang. Sepasang anak manusia sibuk dengan dunia masing-masing. Saat itu keduanya berusia 23 dan 28 tahun. Yang laki-laki asik dengan game di ponselnya. Sedangkan si perempuan sibuk dengan drama Korea di laptopnya. Kenyamanan keduanya terganggu saat ponsel milik sang lelaki berdering.
"Halo?"
"..."
"Di mana?"
"..."
"Tunggu di sana."
Dengan bergegas si lelaki beranjak untuk pergi. "Mau kemana, Mas?"
Bara menoleh, "aku ada urusan sama teman. Kamu di rumah sendirian bentar aja nggak papa?"
Perempuan yang tak lain adalah Cecil itu mengangguk. Sebenarnya dia penasaran, teman yang mana yang mengajak Bara keluar jam segini. Padahal Bara sudah berjanji untuk menemaninya hingga orangtua dan adiknya tiba di rumah.
"Kalau kamu takut, aku antar ke rumah Mama aja gimana?"
Cecil menggeleng. Dia tidak ingin berada di rumah Bara kalau lelaki itu sendiri tidak di sana bersamanya. "Aku di sini aja. Bentar lagi juga Ayah sampai kok."
Bara mengecup sekilas kening kekasihnya, "aku nggak bakal lama. Janji." Cecil mengangguk kemudian tersenyum. Bara pun pergi dari kediaman Cecil.
***
Bara melangkahkan kaki memasuki apartemen milik sepupunya. Hal pertama yang dirasakannya adalah kesunyian. Karena jelas saja sepupunya itu tinggal sendirian di sini. Mengingat kedua orangtuanya tinggal dan bekerja di New York.
"Va?" panggil Bara melihat sekeliling apartemen.
Langkah kaki terdengar saat Bara mulai memasuki area dapur untuk mencari minuman. Dia memang dekat dengan Iva -sepupunya. Mengingat hanya Iva satu-satunya sepupu perempuan dikeluarga ibunya.
"Bar," pelukan hangat dirasakan Bara melingkupi pinggangnya.
Bara membalikkan badan. Memandang Iva dengan tatapan yang sulit diartikan. Bara meneguk salivanya saat menyadari bahwa Iva hanya memakai baju tidur tipis mengingat ini memang malam hari. Dan Bara semakin tidak bisa mengontrol matanya saat kedua bukit kembar itu seolah menantangnya tanpa hambatan.
"Kamu kenapa manggil aku ke sini?" tanya Bara mengusap tengkuknya.
"Kangen aja sih. Kenapa?" posisi Iva masih dalam memeluk Bara.
Bara berdiri kikuk. "Va, lepas. Nggak enak banget posisinya begini."
Dengan enggan Iva melepas belitan tangannya di pinggang Bara. Dan Bara kira dia bisa bernapas lega. Namun salah, Iva semakin berani. Dengan sedikit berjinjit gadis itu menggapai bibir Bara kemudian melumatnya dengan menggoda. Bara yang notabennya lelaki normal hanya diam saja. Ingin menolak tapi tubuhnya memberikan reaksi yang berbeda.
"Aku sayang sama kamu, Bar." ucap Iva disela ciumannya.
Bara menahan tengkuk Iva saat ciuman akan terlepas. Dia belum puas. Iva sudah memancingnya terlalu jauh. Selama ini dia memang memanjakan Iva mengingat dia juga menyayangi gadis itu sebagai sepupunya. Tapi dia tidak pernah sampai ke tahap memiliki perasaan lebih. Hatinya sudah utuh milik Cecil, kekasihnya yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya.
Bara tersentak kala nama Cecil dan bayangan Cecil tersenyum lebar menguasai pikirannya. Dengan sedikit kasar Bara mendorong tubuh Iva. "Ini salah, Va." lirih Bara mengusap bibirnya dengan punggung tangan.
"Jangan munafik, Bar. Kamu menikmati ciumanku. Aku tahu kamu nggak pernah mendapatkan ini dari perempuan itu. Kenapa kita nggak bermain sebentar aja, hm?"
Bara menggeleng. "Kita sepupu, Va. Aku sayang sama kamu hanya sebatas sepupu. Tidak lebih. Dan jangan menyalahartikan perlakuanku selama ini. Aku harus pergi."
Iva menahan Bara yang sudah melangkah mendekati pintu apartemen. Dipeluknya tubuh Bara dari belakang. "Tapi aku cinta sama kamu, Bar. Bahkan aku rela mutusin Bima demi kamu. Mustahil kalau kamu nggak ada perasaan apapun sama aku. Aku bisa kasih semuanya ke kamu. Malam ini aku milik kamu, Bar."
Bara memejamkan mata mencoba menguasai diri. Dengan pelan dia melepaskan belitan tangan Iva, namun tidak berhasil. Iva semakin mengeratkan pelukannya. "Maaf, Va. Aku memang sayang sama kamu. Tapi aku nggak cinta. Cinta aku udah diambil alih oleh Cecil. Aku hanya mencintai Cecil."
Iva menangis. Ia terisak dibalik punggung Bara. Bara benci ketika melihat perempuan menangis. Bara berbalik saat dirasakannya tangan Iva di pinggangnya melemah. Iva jatuh terduduk.
"Apasih kurangnya aku, Bar? Aku cantik. Aku seksi. Semua yang lelaki inginkan ada di diri aku."
Bara berjongkok di depan Iva. Merangkum wajah Iva dan mengusap air mata gadis itu. "Nggak semua lelaki hanya memandang fisik, Va. Kamu salah kalau anggap aku sama kayak teman lelaki kamu. Aku memang sempat tergoda, itu manusiawi, aku juga lelaki normal. Tapi aku sadar ini salah. Maaf."