Sudah 2 hari Cecil berdiam diri di dalam kamar. Dia tidak mempunyai semangat hidup lagi. Tapi masih terbersit di dalam hatinya untuk tetap hidup dan membuat orangtuanya serta adiknya bangga melihat kekuatan yang dia punya meski hidup sebatang kara.
Ketukan di pintu kamar yang dihuni Cecil menyentak pikirannya pada kenyataan bahwa sekarang dia tinggal di rumah Kinan, sahabat ibunya.
"Ce, makan siang dulu, yuk."
Kinan masuk dengan nampan ditangannya. Cecil hanya melirik sekilas. Tidak ada senyum di wajahnya. Matanya masih layu, tidak berbinar seperti biasanya. Kinan tahu semua binar pada tubuh gadis itu redup semenjak ibunya meninggal dunia.
"Tante suap?"
Cecil memandang Kinan dengan lekat. Garis cantik di wajah tuanya masih terlihat jelas. Membuat Cecil merindukan ibunya setiap kali melihat Kinan.
"Ce?"
Cecil menggeleng, "nggak lapar."
Hanya dua kata itu yang selalu keluar dari mulutnya setiap bertemu dengan Kinan di jam makan seperti ini. Kinan menghela napas pelan sambil menatap gadis yang sudah dianggap anak olehnya.
"Nanti kamu makin sakit, sayang. Makan sedikit aja, ya?"
Lagi, Cecil menggeleng. Kinan mendekat, mengusap lembut surai panjang hitam milik Cecil. "Jangan nyiksa diri, sayang. Nanti ibu kamu sedih liat anak gadisnya begini. Cecil pernah janji kan sama ibu untuk tetap sehat dan kuat apapun yang terjadi."
Cecil mulai berkaca-kaca. Memang dulu dia pernah berkata seperti itu. Tapi itu semua dia ucapkan untuk menyemangati ibunya kala sakit. Agar ibunya tidak mencemaskan dirinya lagi. Agar ibunya tidak banyak berpikir tentang dirinya lagi. Agar ibunya fokus pada kesembuhannya saja.
"Di sini banyak yang sayang sama kamu. Ada Tante, Om Tomi dan Bara. Kamu nggak sendirian. Kamu anak Tante juga, Ce. Meski bukan lahir dari rahim Tante. Tapi sayang Tante ke kamu kayak sayang ke anak kandung sendiri. Makan ya, sayang?"
Bibir Cecil bergetar ingin mengucapkan sesuatu. Tapi tertahan di tenggorokannya. Yang hanya dia lakukan cuma mengangguk. Kinan tersenyum dan mulai menyuapi Cecil dengan telaten hingga makanan di piringnya habis. Cecil sebenarnya lapar, tapi dia tidak punya selera makan. Namun mendengar ucapan Kinan membuatnya seperti mempunyai harapan baru.
"Makasih, Tan."
***
Bara membelokkan kemudinya ke arah kanan. Sekitar 10 meter lagi dia akan memasuki perumahan tempat kediaman orangtuanya. Ponselnya berdering, "ya, Pa?"
"..."
"Oh, iya, Pa. Nanti Bara kirim lewat email aja ke Pak Broto."
"..."
"Iya, udah. Ini bentar lagi sampai. Papa jangan pulang telat. Nanti Mama marah."
Setelah telepon terputus, Bara kembali menaruh ponsel di kursi penumpang di sebelahnya. Sesaat matanya terpaku pada sosok perempuan yang berjalan di tengah jalan raya tidak jauh dari mobil Bara. Bara segera menepikan mobilnya. Berlari kencang saat sebuah mobil dengan kecepatan penuh ingin melewati jalan itu.
Napas Bara memburu saat tubuh perempuan itu sudah didekapnya dengan erat hingga berguling ke tepi jalan. "Ya, Tuhan." Erangnya dengan napas terengah-engah.
Bara berdiri, menatap nyalang perempuan di depannya. Tatapan matanya kosong. "Kamu nggak papa? Ada yang luka?" tanya Bara mencoba meredam amarah yang memuncak.
"Ibu. Aku lihat ibu di sana."
Bara kembali memeluk perempuan yang tak lain adalah Cecil. "Kamu bikin aku jantungan, Ce. Aku benar-benar bisa gila kalau kamu sampai kenapa-napa."
"Mas, Ibu..."
Setelah mengucapkan itu tubuh Cecil ambruk dipelukan Bara. Bara panik, dengan segera dia membopong Cecil menuju mobilnya. Kemudian melaju untuk ke rumah orangtuanya.