"Ibu," rintihan lirih yang keluar dari bibir Cecil membuat Kinan mendongak. Rasa syukur tidak bisa terelakkan dari bibir wanita paruh baya tersebut. Pasalnya sudah hampir tengah malam dan dia khawatir Cecil tidak juga sadarkan diri. Setelah mengusap lembut wajah Cecil yang kurus, mata gadis itu terbuka perlahan. "Ibu," ulangnya lebih seperti bisikan.
Cecil menatap tempatnya berbaring. Dia tidak mengenali ruangan ini. Tapi dia amat sangat kenal dengan wanita sebaya ibunya yang kini menatap khawatir padanya.
"Tante Kinan?"
Kinan mendekat, "iya, sayang, ini Tante. Syukurlah kalau kamu sudah bangun."
Cecil merasa pusing. Tangan kirinya yang bebas dari genggaman Kinan ia gunakan untuk meremas rambutnya. Ingatannya berubah seperti kaset kusut. Di mulai dari pagi ia meninggalkan rumah. Berkeliling mencari makanan yang diminta ibunya. Hingga kemudian dia pulang dan menemukan ibunya sudah tidak bernyawa lagi.
"Ibu." Cecil terisak mengingat ibunya sudah tidak bersama dengannya lagi. Kinan yang tahu betul rasanya kehilangan turut meneteskan air mata. Dipeluknya tubuh kurus Cecil dengan sayang.
"Ibu kamu sudah tenang di sana, sayang. Tuhan sayang ibu kamu. Makanya Tuhan menjemput ibu Cecil daripada harus menderita terlalu lama." Tangan tuanya mengusap lembut punggung Cecil.
"Tapi Cecil nggak mau ditinggal sama ibu. Cecil mau ikut." Suara tangisnya terdengar pilu. Di luar kamar, Bara dan Tomi menghela napas. Ini cobaan yang sangat berat untuk gadis semuda Cecil. Harus kehilangan keluarga satu-satunya yang ia miliki.
Tomi mengusap pundak putranya. "Sebaiknya mulai sekarang kamu harus lebih memperhatikan Cecil. Karena bagaimanapun Cecil akan jadi tanggungjawabmu."
Bara mengangguk dalam diam. Tomi melangkah pergi. Beliau tidak sanggup harus berlama-lama mendengarkan isak tangis dari kedua perempuan di dalam sana. Sedangkan Bara menyandarkan punggungnya pada dinding dengan mata terpejam.
"Seharusnya dulu aku nggak ninggalin kamu demi perempuan sialan itu, Ce." Lirih Bara sendu. Dia merasa bodoh harus terjebak dalam situasi seperti saat itu. Seharusnya dia menolak ajakan Iva kala itu. Maka hubungannya dengan Cecil pasti akan baik-baik saja, dan yang diposisi ibunya saat ini pasti dirinya. Menenangkan gadis itu kala berduka. Menjadi tempatnya bersandar dan menjadi pelindung bagi Cecil. Meskipun Bara sudah meminta Cecil untuk kembali bersamanya, namun gadis itu masih belum memberikan jawaban. Bara tidak mungkin egois dengan memaksa Cecil untuk menerimanya seperti dulu lagi. Bagi Bara, sudah bisa dekat dengan gadis itu saja sudah melegakan.
"Iva sialan!" desis Bara dengan aura wajah yang menakutkan.
***
Cecil menatap jam di dinding yang terus berputar. Tidak terhitung berapa lama dia berada di kediaman Kinan. Cecil juga tidak tahu sudah berapa jam berlalu sejak kepergian ibunya dari dunia ini. Cecil masih sering berhalusinasi melihat sosok ibunya. Kemudian saat sosok itu menghilang, Cecil langsung saja berteriak histeris dan menangis mencari sosok wanita paruh baya itu ke segala sudut kamar yang ia tempati. Beberapa kali Bara yang memeluknya, menenangkan gadis itu kala Cecil meronta minta ingin bertemu dengan ibunya. Kinan selalu ikut menangis melihat keadaan menyedihkan putri sahabatnya itu.
"Ce..."
Kinan masuk bersama Bara. Laki-laki itu tampak rapih dengan setelan baju kerjanya. Cecil tidak menoleh. Bahkan matanya tidak berkedip menatap jam di dinding.
"Sarapan dulu ya, Ce."
"Ibu..."
Kinan dan Bara saling menatap dan menghembuskan napas pelan. Bara mendekat ke arah Cecil. Diraihnya jemari Cecil yang semakin kurus dan diusapnya dengan lembut.
"Ce, aku suapin ya?"
Cecil menoleh. Air matanya kembali luruh. "Ibu, Mas..."