"Mama!".
Seorang anak kecil berumur 8 tahun berlari sekuat tenaga, sesekali kakinya yang kecil dan lemah hampir terjatuh karena kelelahan.
"Mama, maafkan Raina, Raina akan jadi anak yang baik, Raina janji!"
Dengan sisa tenaga ia tak mau menyerah, meski mobil sedan berwarna hitam itu sudah mulai menghilang dari pandangannya.
"Mama! Jangan tinggalkan Raina!".
Anak kecil itu akhirnya terjatuh, tak kuat mengimbangi laju mobil, lututnya sempurna terlukai oleh kerasnya aspal, namun luka pada kakinya sama sekali tak ada apa-apanya dibanding luka di hatinya saat ini.
"Mama.."
Anak kecil dengan kepang dua bernama Raina itu berkata lirih, matanya berkaca-kaca, untuk kemudian menangis sekencang-kencangnya di depan sebuah panti asuhan berwarna putih.
***
"Mama.."
Raina bangun dari tidurnya dengan peluh mengucur di dahi dan nafas yang sedikit tersengal,ia mengusap wajah, menghapus keringat dan sisa air mata di pipinya.
"Sepertinya aku tidur sambil menangis lagi".
Jam menunjukkan pukul 4 pagi, alarm alami tubuh Raina selalu bekerja dengan baik, ia menengok ranjang tingkat di sampingnya, adik-adiknya masih tertidur lelap.
Raina beranjak dari tempat tidur, memulai harinya seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk seluruh penghuni panti asuhan, sudah jadi tugasnya sebagai kakak tertua.
Bella Raina saat itu masih berumur 8 tahun saat ia sampai di panti asuhan bunda, penyesuaian diri dengan lingkungan di rasa begitu berat baginya, Raina masih ingat ia tak mau makan dan bicara selama seminggu, membuang diam-diam seluruh makanan yang di berikan bunda, dan tak mau diajak bicara oleh seluruh penghuni panti, namun bunda tak pernah menyerah pada sikap buruk Raina.
13 tahun berlalu, kini akhirnya Raina mencintai panti asuhan dan bunda seperti keluarganya sendiri, satu-satunya harta dunia yang ia miliki.
Masakan sederhana yang memiliki aroma yang lezat telah selesai Raina buat, aromanya menyebar membuat perut siapapun keroncongan saat menciumnya. Raina membagi makanan itu dalam porsi yang cukup untuk seluruh penghuni panti, setelah pekerjaannya selesai, ia duduk bersantai sejenak sambil menyeruput kopi hitam.
"Selamat pagi Raina, bau nasi gorengnya lezat sekali"
Bunda yang kini rambutnya sudah putih dan memakai tongkat menghampiri Raina, menyapa anak sulung keluarganya itu dengan senyuman hangat, meski fisiknya telah berubah, senyuman bunda sama sekali tak pernah berubah sejak pertama Raina melihatnya.
"Selamat pagi bunda, bunda mau sarapan? Silahkan duduk disini di samping Raina".
Bunda menggeleng. "Bunda mau bangunkan adik-adikmu dulu, biar kita sarapan bersama".
"Bunda duduk saja disini, Raina sudah siapkan teh hangat, nanti adik-adik biar Raina yang bangunkan".
"Kamu bangunkan orang di sebelah itu saja Raina, bunda tidak kuat kalau harus membangunkan dia, kalau membangunkan sepuluh adikmu bunda masih sanggup".
Raina tertawa pelan, mengangguk. Jelas mengerti maksud perkataan bunda, ia meletakkan kopi yang setengah cangkirnya sudah kosong, bergegas menaiki anak tangga menuju kamarnya.
***
Sinar pagi yang cerah menyapa kamar kecil berwarna putih itu, tempat tidur sudah tersusun rapi, buku-buku yang tadi malam berserakan sudah tersusun di meja belajar, Raina selalu bersyukur memiliki adik-adik sekaligus teman kamar yang menyenangkan dan rajin.
"Ci, mau ritual pagi?". Anggi, penghuni tertua kedua setelah Raina bertanya sambil tersenyum jahil. Menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk.
Raina hanya tersenyum tipis, mengangkat bahu, kemudian menunjuk adiknya yang lain, Rina dan Zara yang terlihat kesulitan membuka pintu kamar mandi.
"Dari pada sibuk menggodaku lebih baik bantu adikmu, sepertinya pintu kamar mandi ngadat lagi".
Anggi mulai mencak-mencak, balik badan sambil mulai marah-marah pada pintu yang sering sekali membuatnya gagal menggoda kakaknya.
Raina berjalan menuju balkon kecil di balik jendela, memandang rumah sebelah yang jendelanya masih tertutup, kesiur angin pagi membuat jendela itu sedikit terbuka, meniup sebagian gordennya.
"Sakti!"
Raina setengah berteriak, memanggil seseorang yang sepertinya masih terlelap tak mendengar suara lantangnya.
"SAKTI!".
Kini suaranya lebih kencang, orang di sekitar sudah tak heran lagi dengan apa yang Raina lakukan setiap pagi, sudah jadi semacam kebiasaan mendengar Raina berteriak.
Tak lama jendela itu terbuka, seorang laki-laki seumuran Raina muncul di balik jendela jati usang berwarna coklat, ia meregangkan tubuh, menguap, khas orang bangun tidur, mengenakan celana pendek dan kaos berwarna hijau tua, ia tersenyum ke arah Raina, menampilkan lesung pipi yang menghias kedua belah pipinya.
Mata coklat yang sedikit sayu, hidung mancung dengan wajah putih mulus, laki-laki itu berdiri sambil menyisir rambut hitam lurusnya yang berantakan.
"Bersiap-siaplah, kelas di mulai jam 08:30, hari ini jadwalnya dosen killer, aku tidak mau kita terlambat".
Laki-laki di sebrang sana mengangguk sebagai jawaban.
"Sarapanku?" Dia bertanya.
"Sudah siap".
"Istri idaman".
"Berhenti bicara seperti itu setiap hari".
"Aku hanya bercanda".
Laki-laki itu memasang wajah datar, kemudian berjalan menjauh dari jendela, Raina ikut berjalan meninggalkan balkon, menyuruh adiknya Rina dan Zara jangan terlalu lama bermain air, kemudian meninggalkan kamar dengan santai, Anggi memandang kakaknya dengan tatapan heran.
Di puji seperti itu oleh laki-laki se tampan Sakti setiap hari sama sekali tidak membuat kakaknya untuk sedikit saja merasa senang ?. Anggi menepuk dahinya, entah karena kakaknya itu tidak terbiasa dengan pujian atau terlampau tidak peka.
Semoga kakaknya tidak kelainan.
***
"Sarapannya enak?" Bunda bertanya pada Sakti yang piring nasi gorengnya sudah tandas tidak bersisa. Sakti memang selalu makan di panti asuhan setiap harinya, ia tinggal sendirian di rumah tua sebelah rumah, tak ada yang tau dimana dan siapa keluarganya, Sakti tak pernah mau membicarakan tentang hal itu.
Pernah dalam suatu waktu Raina bertanya. Sebenarnya iseng saja, namun hasilnya Sakti tak mau bicara padanya selama seminggu.
Setelah mengetahui Sakti hanya tinggal sendiri dan sering kehabisan bahan makanan, bunda akhirnya memintanya untuk ikut makan di panti saja.
Sakti menggeleng. "Tidak seenak masakan bunda".
Raina yang duduk di ujung meja tak menanggapi perkataan apapun dari Sakti, hanya menyeruput kopi hitamnya.
"Raina, terlalu banyak minum kopi tidak baik untukmu, nak".
Raina baru bereaksi setelah mendengar teguran dari bunda, ia menggaruk belakang lehernya merasa tak enak.
"Eh, iya bunda, maaf".
"Kita berangkat sekarang?".
Sakti berdiri dari meja, Raina mengangguk, ikut berdiri sambil mengenakan tas ranselnya.
Setelah keduanya berpamitan dengan bunda, Sakti dengan cepat menaiki si biru yang terparkir di halaman panti, si biru adalah sepeda kesayangannya. Di saat laki-laki seumuran Sakti dengan gayanya menaiki berbagai merk motor dan mobil, Sakti masih setia dengan sepeda tuanya.
Raina duduk di kursi belakang, matanya dengan jelas melihat punggung tegap Sakti, laki-laki itu memakai kemeja yang kebetulan berwarna sama dengannya, biru tua.
"Pegangan, aku mungkin agak cepat supaya kita tidak kena semprot dosen killer".
"Iya"
Raina memegang bagian samping kemeja Sakti, membuat kemejanya jadi kumal, tapi Sakti sama sekali tidak keberatan, ini sudah jadi kebiasaan mereka setiap pagi, pergi kuliah bersama, kemudian bekerja sambilan bersama, lalu pulang dengan kelelahan bersama.
Sakti dan Raina adalah mahasiswa semester lima fakultas ilmu sosial, mereka perlu waktu bertahun-tahun sejak SMA, menabung mati-matian untuk bisa membiayai kuliah mereka.
Hal ini berlaku terutama bagi Raina yang tak sepintar Sakti. Namun usaha tak pernah mengkhianati hasil, Raina jelas adalah seorang pekerja keras, ia terbukti bisa melanjutkan pendidikan dengan usahanya sendiri.
Raina dan Sakti pertama kali bertemu saat kelas X SMA, saat tiba-tiba seorang laki-laki pindah ke rumah tua di samping panti asuhan yang terkenal tak pernah di tinggali, Raina masih ingat jelas saat itu Sakti memindahkan barang-barangnya sendiri di tengah hujan lebat, dan masuk sekolah sebagai murid baru yang wali ataupun orang tuanya tak di ketahui siapapun.
Sakti memang se-misterius itu.
Tanpa sadar Raina mengencangkan pegangannya karena Sakti yang menambah laju sepedanya, lagi-lagi dia melamunkan Sakti bahkan di tengah perjalanan ke kampus.
"Beruntunglah kamu nggak terlambat hari ini Raina".
Kayla, teman satu kampus Raina menyapanya.
"Nggak lah, harus liat-liat jadwal dulu kalo mau telat".
Raina balas menyapanya, beranjak duduk di samping wanita berambut pendek itu.
Sakti melewati Raina, duduk di kursi paling belakang, kursi favorit mahasiswa laki-laki. Kayla melirik Sakti sekilas.
"Tentu saja tidak akan terlambat" ia tertawa pelan. "Soulmate mu tak akan membiarkanmu dimarahi dosen killer".
"Soulmate?". Raina memiringkan kepala tak mengerti.
"Kamu belum dengar gosipnya?" Kayla memperbaiki posisi duduk. "Tentulah kedekatanmu dengan sakti yang membuat kalian dijuluki sebagai soulmate, lihatlah bahkan hari ini kalian memakai baju berwarna sama".
"Ini hanya kebetulan".
"Kebetulan, atau memang sehati?".
Raina terdiam sejenak.
"Kebetulan Kay, lagipula bukankah aku dan Sakti sudah lama berteman, kenapa banyak gosip bermunculan disaat kami bahkan sudah 2 tahun lebih kuliah disini, bukankah harusnya terlihat biasa saja?".
"Karena kepopuleran Sakti yang semakin meningkat, Ra. Apakah kamu tidak memperhatikan kalau soulmate mu itu tampan sekali? Kalo aku jadi kamu sudah ku gaet dari dulu". Kayla menjeda kalimatnya. "Dan lagi setahuku, laki-laki dan perempuan itu tidak bisa berteman, Ra".
Kali ini Raina benar-benar terdiam, Sakti populer?.
"Sebaiknya kamu cepat gaet soulmate mu itu Ra, biar jadi Soulmate betulan, aku mah seneng-seneng aja, asal kamu jangan gaet Bintang Salendra ya, marah aku nanti".
"Apasih, aku sama Sakti? Nggak mungkin lah, kita udah sahabatan lama".
Raina meninju pelan lengan Kayla, mana mungkin dia nge-gaet sahabatnya sendiri.
Kayla tertawa jahil, matanya melirik Sakti yang duduk di belakang sambil memandang kearah jendela.
"Kata-kata itu selain do'a juga bisa jadi bumerang loh Ra, ati-ati".
Jam perkuliahan di mulai, dosen memulai perkuliahan dengan hal tak terduga untuk Raina. Dosen killer itu memberikan tugas kemarin, dan Raina benar-benar lupa mengerjakannya.
Raina menepuk dahinya, apa yang harus dia lakukan? Dia tidak mau nilainya jelek dan mengulang mata kuliah ini lagi, dosen ini terkenal ketat dan pelit nilai, satu saja tugas tak terselesaikan habislah sudah, kalaupun lulus mata kuliahnya, Raina harus sampaikan selamat tinggal pada kesempatan mendapat predikat cumlaude.
"Kay, aku lupa bikin tugas".
"Jangan becanda deh, Ra".
"Sumpah demi kepala botak dosen kita aku serius".
"Wah, kalau aku jadi kamu mending aku pura-pura mati deh Ra, atau nggak pura-pura kesurupan biar bisa keluar dari sini".
Raina menyikut Kayla, ber 'hush!' pelan, nggak baik bicara begitu.
"Pak saya permisi ke toilet".
Sakti berjalan melewati meja Raina, meletakkan dengan hati-hati makalah 20 lembar yang ia keluarkan dari balik punggung agar tak terlihat oleh dosen. Raina menatap Sakti tidak mengerti.
"Tugas". Kata Sakti tanpa suara, kemudian bergegas meninggalkan ruangan kelas.
"Wah, manis banget sih ini, boyfriend-able banget si Sakti".
Kayla mengambil makalah dihadapan Raina.
"Auto nilai bagus nih, tukar dengan punyaku ya Ra".
Raina bergegas merebut makalah itu dari tangan Kayla, merengkuhnya.
"Enak aja".
Kayla hanya terkekeh pelan.
***
"Sakti"
Raina memanggil sakti yang sedang duduk santai di atas pohon mangga dekat gerbang kampus, tingkah orang ini memang selalu aneh, disaat orang lain memilih nongkrong di kantin atau cafe, dia malah memilih tempat yang tak terduga.
Sakti menoleh, kemudian turun dari pohon tempatnya melarikan diri dari mata kuliah yang sengaja tidak ia ikuti hari ini.
"Kamu ke toilet kok nggak balik-balik?".
"Aku males kena marah dosen killer".
"Kalo nggak mau kena marah jangan di kasih aku dong tugasnya".Raina menunduk."Aku nggak enak sama kamu, yang ceroboh kan aku".
"Nggak papa, lagian aku bosan sama kelasnya, jadi sekalian aja". Sakti memandang Raina yang masih menunduk.
"Rain."
"Namaku Raina, Sakti, Bella Raina". Raina selalu protes saat Sakti memanggil namanya, Sakti yang super ajaib itu memang punya nama panggilan yang agak berbeda untuk dirinya.
"Aku manggilnya Rain aja".
"Kenapa?"
"Karena aku suka hujan"
"Tapi aku orang bukan hujan".
"Iya". Sakti tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang menawan.
"Ayo berangkat ke tempat kerja, Rain".
Sakti mengulurkan tangan, Raina yang menggembungkan pipinya sebal karena protesnya sama sekali tidak di tanggapi tetap menyambut uluran tangan Sakti dengan senang hati.
"Sakti".
"Iya".
"Kamu tau di kampus sekarang kita di julukin soulmate?".
"Iya, baru tau tadi pagi".
"Lucu ya, kok bisa sampai dapet julukan itu".
Sakti mengangkat bahu.
"Nggak papa, setidaknya mereka jadi bisa belajar bahasa inggris kan, daripada dijulukin duo racun".
Raina terbahak mendengar jawaban Sakti, kemudian mengeratkan genggamannya. Menjadi sahabat Sakti memang selalu semenyenangkan ini.
Untuk apa ia harus mengharapkan hal yang lebih?.