Suara rem sepeda yang di naiki Sakti dan Raina berdecit, mereka telah sampai ditujuan. Si biru telah terparkir sempurna di depan sebuah bengunan kecil berukuran sebuah ruko mini berwarna hijau yang di depannya terpasang baner dengan tulisan "PARTY PLAN GROUP".
Raina turun dari sepeda, merapikan rambut hitam panjangnya yang sedikit berantakan karena di terpa angin di perjalanan, kemudian merogoh tasnya, megeluarkan kotak bekal berwarna kuning.
"Sakti, bekalmu".
Sakti mengambil kotak bekal itu, memasukkannya ke dalam tas, satu lagi kebiasaan Raina selain membuatkan sarapan untuk Sakti, ia juga membuat bekal.
"Makasih".
Mereka kemudian berjalan beriringan memasuki bangunan kecil itu, 'kantor' mereka.
***
"Halo Raina" . Seorang laki-laki jangkung dengan ramah menyapa Raina, ia mengenakan kacamata yang sempurna bertengger di hidungnya yang mancung, meski hanya memakai kaos bergambar kartun berwarna hitam dan celana jeans, karismanya sama sekali tak berkurang.
"Eh, halo bang Langit". Raina menyapa sopan.
Namanya Langit Angkasa, pemilik sekaligus ketua dari PARTY PLAN GROUP.
"Gimana hari ini kuliahnya? Lancar?" Langit merangkulkan tangannya ke bahu Raina, menatapnya sambil mengerlingkan mata, Raina menelan ludah, penyakit bosnya kambuh lagi, suka sekali tebar pesona padanya.
"Lancar, hari ini aku bolos kelas". Sakti menjawab lebih dulu, menyingkirkan tangan Langit yang bertengger di bahu Raina, lalu merangkulkan tangan Langit ke bahunya sendiri.
"Aku lapar, temani aku makan".
"Eh, nggak mau, aku nggak lapar".
Tapi yang namanya Sakti mana mau mendengarkan, Sakti menyeret bosnya sendiri ke dapur yang ada di kantor mereka.
Hanya di kantor ini, bos sama sekali tidak ada wibawanya.
Kantor ini meski tak besar dan lebih mirip basecamp namun terasa sangat nyaman, dengan meja panjang dan beberapa kursi yang tersusun megikuti letak mejanya, interior dan warna dalam kantor juga sangat di perhatikan, semua serba full color dengan perpaduan warna gelap dan cerah. Meja kerja pegawai selalu bisa berubah fungsi sesuai kebutuhan, bisa menjadi tempat bekerja, rapat atau bahkan tempat makan jika pegawai malas pergi ke dapur, dekorasi dalam ruangan juga terlihat unik dengan peralatan kerja yang artistik. Juga jangan lupakan Selena, kucing jalanan berwarna putih yang di pungut Sakti, Selena sering jadi penghibur kala stress melanda dengan tingkahnya yang lucu.
Raina berjalan menuju mejanya, meletakkan tas ranselnya di bawah meja, duduk di samping seorang laki dengan wajah dingin, ia sibuk menulis sesuatu, entah apa, sesekali ia mendesis pelan, kemudian meremas kertas yang tadi di coret-coretnya, melempa...
Raina berjalan menuju mejanya, meletakkan tas ranselnya di bawah meja, duduk di samping seorang laki dengan wajah dingin, ia sibuk menulis sesuatu, entah apa, sesekali ia mendesis pelan, kemudian meremas kertas yang tadi di coret-coretnya, melemparkannya sembarang. Raina menggelengkan kepalanya, ujung-ujungnya pasti dia yang disuruh membersihkan sampah kertas itu.
Itulah susahnya bekerja di tempat yang isinya laki-laki semua.
Laki-laki itu tiba-tiba menggebrak mejanya, membuat Raina terlonjak kaget.
"Raina!".
"I..Iya bang Awan?". Raina menjawab takut-takut, baru juga duduk sudah di bikin kaget saja dia.
"Eh, aku bikin kaget ya, sorry" Ekspresi wajah laki-laki itu langsung berubah setelah melihat wajah takut Raina.
Namanya, Hermawan. Semua orang di kantor memanggilnya Awan, kecuali Sakti yang memanggilnya 'Wibu bawang'.
"Nggak papa, abang keliatannya pusing banget, ada yang bisa Raina bantu?".
"Jadi gini, minggu ini kita dapat order lumayan banyak, aku sama Langit udah acc dua rencana pesta dengan pesanan standar, jadi kamu tinggal gambar desainnya kayak biasa abis itu dua hari lagi kita kesana buat masang dekornya".
Raina mengeluarkan buku dari tas, buku khusus mendesain interior pesta, Raina memang ahlinya kalau soal menggambar dengan cara manual.
"Aku usahain secepatnya selesai bang".
Awan mengangguk.
"Tapi.. Sebenarnya masalah besarnya bukan itu, Ra, tapi orderan ketiga yang jadi masalah".
"Kenapa bang? Orderan ke tiga minta paket dekor pesta yang lebih komplit dari yang biasa kita tawarin?".
Awan menggeleng.
"Dia ini anak gubernur Ra, selain minta paket dekor komplit dia juga minta sesuatu yang mungkin susah banget kita kabulin" Awan menjeda kalimatnya. "Dia bilang dia pengen Sakti hadir sebagai bintang tamu diacaranya, dia fans Sakti".
"Fans Sakti?".
Awan mengangguk. "Iya, fans berat soulmate-mu, katanya dia satu kampus juga dengan kalian".
Raina mengangkat sebelah alisnya. Bahkan Awan, seniornya di kampus menyebut dirinya dan Sakti adalah Soulmate.
Seberapa terkenal sih mereka sekarang?.
***
"Nggak, makasih, biar dia anak presiden sekalipun aku nggak mau". Sakti menjawab tegas.
"Tapi ini bisa jadi promosi bagus buat usaha kita, Sak. Nama kita akan semakin terkenal kalau kita bisa nge handle acara ulang tahun anak gubernur ini". Awan berusaha membujuk Sakti.
Sakti menyilangkan tangannya di depan dada, bibirnya tertutup rapat, artinya Sakti tidak mau di bujuk dengan kata-kata apapun lagi.
"Langit, ngomong sesuatu dong, kamu kan bosnya, kamu nggak mau usaha kamu makin maju?". Awan mulai mencari pembelaan, masih tidak mau menyerah.
"Bukannya nggak mau ngomong, tapi sia-sia juga, si kampret ini nggak bakal mau". Langit melirik Sakti yang mengambil Selena yang sedang tidur di lantai.
"Lagian kenapa terkenal banget sih bocah ini ?. Bukannya aku lebih tampan dari pada si Sakti? Kenapa nggak aku aja yang jadi bintang tamu".
Awan menggelengkan kepalanya, bukannya memberi solusi Langit malah baper sendiri, ingin sekali ia berteriak di telinga bosnya itu. "Iri dengki itu nggak baik woy!" tapi takut di pecat.
Awan hampir menyerah untuk membujuk Sakti, namun di detik terakhir ia menoleh kesamping, kemudian menjentikkan jari.
Bagaimana ia bisa lupa?.
"Raina".
Raina yang sejak tadi menggambar tata letak dan rencana dekorasi menoleh, membuat Sakti juga menoleh ke arah Awan dengan mata terkejut. Awan menyeringai.
"Bujuk Sakti gih, biar dia mau".
"Emang Sakti mau?". Raina bertanya pada Sakti.
"Nggak Rain, big no".
"Kata bang Awan kita bisa dapet promosi bagus loh, nanti gaji kita juga bakal lebih bagus".
Sakti menggeleng tegas, membuat Selena yang sedang ada di pangkuannya terbangun, mengeong.
"Dia nggak mau bang". Raina berkata santai, membuat Awan menghembuskan nafasnya kasar.
"Kalo cuma begitu dia mana mau Raina, kamu harusnya bujuk lebih keras lagi dong, dia pasti mau, soalnya kamu itu kan..."
"Aku mau pulang, udah jam 9 malam, ayo Rain". Sakti bangkit dari duduknya, meletakkan Selena di lantai, kucing putih itu berjalan menuju dapur dengan wajah mengantuknya.
"Eh, kerjaannya."
"Nanti di panti ku bantuin".
"Nggak sopan banget ya motong pembicaraan orang yang lebih tua, ku sumpahin jadi jelek tau rasa kamu".
Sakti hanya mengangkat bahu, membuat Awan kesal dan hampir melemparnya dengan pulpen.
"Raina nanti aja pulangnya, dia masih banyak kerjaan, nanti aku yang anter dia pulang".
Langit angkat bicara, dia bodo amat dengan Sakti yang datang pulang seenaknya, yang penting Raina yang tidak pulang terlalu awal, baru juga mereka bertemu beberapa jam, Langit masih belum puas mengeluarkan jurus gombalannya.
"Kalo gitu kalian aja yang pulang, aku nemenin Rain disini, terutama Langit, aku tau kamu cuma mau modus sama Rain dengan nyuruh dia lebih lama disini".
"Kok malah kamu yang nyuruh kita pulang? Yang bos disini aku loh, Sakti".
Langit mulai ikut kesal, tingkah Sakti kalau menyangkut Raina memang selalu menyebalkan. Dan bagaimana pula Sakti seakan bisa membaca fikirannya?.
Perselisihan konyol ini membuat Raina memijat anak pelipisnya, menggeleng heran.
"Bos nggak seharusnya ngerayu pegawainya terus, kerja yang bener Langit".
"Ngajakin berantem kamu Sak?! Makin tajem aja mulut bocah kampret ini".
"Bang Langit udah ya, Raina bawa pulang aja kerjaannya, Raina usahain selesai sebelum dua hari kedepan, dan bang Awan maafin Sakti ya, nanti kita rundingin baik-baik lagi tentang tawaran ketiganya".
Raina akhirnya menengahi sebelum suasana bertambah buruk, siapa bilang bekerja dengan para laki-laki tampan itu enak?. Hal seperti ini sangat sering terjadi di kantor, laki-laki di tempat ini lebih banyak bertingkah seperti anak kecil ketimbang seperti laki-laki dewasa.
Raina merapikan barang-barangnya, berpamitan pada Langit dan Awan.
"Fikirin baik-baik ya Sak mumpung belum ku cancel!". Awan berteriak pada Sakti sebelum sosoknya sempurna menghilang dari balik pintu.
"Sampai jumpa besok ya, cantik". Raina hanya tersenyum canggung sambil mengangguk mendengar kata-kata Langit, lagi-lagi bosnya bertingkah begitu.
***
Di perjalanan pulang Sakti maupun Raina tidak bicara satu katapun, hanya terdengar suara mobil dan motor yang simpang siur, jalanan sedang cukup lengang, mungkin karena cuaca malam ini sedang tidak bersahabat membuat orang yang tidak berkepentingan malas keluar rumah, angin bertiup cukup kencang, petir terlihat menyambar dari kejauhan, sepertinya hujan akan turun.
Sakti mengayuh sepedanya lebih cepat dengan wajahnya yang masih tertekuk. Berharap mereka tidak kehujanan dan sampai tepat waktu.
Namun harapan Sakti tidak terkabul, rintik hujan sudah mulai turun dari langit, lama-lama semakin lebat, membuat Sakti tidak punya pilihan selain menghentikan sepedanya di sebuah halte, berteduh sejenak, memaksakan bersepeda di tengah hujan lebat bisa berbahaya.
Namun harapan Sakti tidak terkabul, rintik hujan sudah mulai turun dari langit, lama-lama semakin lebat, membuat Sakti tidak punya pilihan selain menghentikan sepedanya di sebuah halte, berteduh sejenak, memaksakan bersepeda di tengah hujan lebat ...
Halte ini sepi, hanya ada mereka berdua disana, beruntunglah lampu halte tidak ada yang mati, jadi penerangan cukup untuk mereka, membuat Sakti bisa melihat dengan jelas Raina menggosok kedua tangannya, menghangatkan diri. Tingkah sederhana itu justru sukses membuat moodnya membaik.
"Dingin?" Sakti bertanya.
Raina menggeleng, hanya dingin yang seperti ini mah dia kuat.
"Tapi bibirmu membiru tuh". Sakti menunjuk bibir Raina yang sedikit bergetar.
"Salah lihat kamu, aku nggak papa kok". Raina menoleh. "Kamu sendiri gimana?".
"Aku nggak papa, aku kan suka kamu".
Raina terkejut. "Maksudnya?"
"Iya aku suka Rain, Rain itu nama lain dari hujan, jadi maksudnya aku suka hujan".
Raina ber-oh pelan, hampir saja ia salah paham.
Sakti menggosok-gosok rambutnya yang basah kuyup. Wajahnya menampakkan raut bersalah.
"Harusnya tadi aku biarin kamu dianter Langit, setidaknya dengan begitu kamu bisa naik mobil mewah dia, nggak kehujanan kayak gini".
Raina merogoh tasnya yang basah, mengeluarkan handuk kecil dari sana.
"Aku nggak papa kok kehujanan"
Raina juga ikut membantu Sakti, tangannya menggosok rambut hitam sakti yang halus, dari jarak sedekat ini Raina bisa melihat tatapan Sakti yang meneduhkan. Pahatan wajahnya yang sempurna, juga mencium wangi khas Sakti, green tea.
"Lagian aku nggak terbiasa bepergian sama orang lain selain kamu".
Suasa lengang, suara hujan terdengar jelas, meski terasa dingin bau dari hujan selalu memberikan efek ketenangan, juga pantulan lampu yang bercampur dengan derasnya hujan menjadi pemandangan indah tersendiri. Raina masih tenggelam dalam manik indah Sakti yang berwarna coklat muda.
"Rain".
"Iya".
"Maaf kalau tadi di kantor tingkahku menyebalkan".
Raina menggeleng.
"Nggak masalah, kamu kan memang selalu menyebalkan, kenapa baru minta maaf sekarang?". Raina terkekeh. "Lagipula itu hak kamu mau nolak tawaran bang Awan atau enggak, nggak ada yang boleh maksa".
"Bukan tentang itu". Sakti merangkul pinggang Raina, membawanya lebih dekat.
"Tapi tentang aku dan Langit yang berselisih tentang kamu, Langit suka sama kamu dan kamu pasti tau itu kan?. Aku cuma nggak mau jauh dari kamu Rain, aku nggak mau ngasih celah buat Langit".
Wajah Raina sontak memerah dari pipi hingga telinga. Kata-kata Sakti sangat sukses membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Akhirnya ia memutuskan mendorong Sakti, memutus kontak mata mereka yang terjadi cukup lama dan hampir membuat Raina tenggelam di dalamnya.
"Ha. Ha. Bencandaan kamu lucu deh Sak, belajar ilmu gombal dari mana?".
Sakti sudah gila. Hanya itu kata-kata yang terngiang di kepala Raina.
Raina menepuk dadanya pelan, menghela nafas. Ini tidak benar, ia tak seharusnya berdebar pada sahabatnya sendiri. Raina melirik Sakti yang berdiri sambil menggaruk belakang kepalanya, suasana berubah canggung sekali.
Raina melirik Sakti yang berdiri sambil menggaruk belakang kepalanya, suasana berubah canggung sekali
Hingga akhirnya Sakti memutuskan untuk membuka suara lebih dulu
Hingga akhirnya Sakti memutuskan untuk membuka suara lebih dulu.
"Rain". Ia berdeham, melirik Raina ragu-ragu.
"Ayo pulang, hujannya sudah reda".
---