"Setelah mimisan Bintang membantunya ke uks, mereka auto sentuhan dong. Jadi Kayla pingsan. Sejak hari itu Kayla jadi demam, dan nggak masuk selama dua hari".
Raina menghela nafas, memandang halaman depan panti yang ditumbuhi anak rumput, duduk santai sore hari di kursi panjang depan panti selalu jadi rutinitas Raina dan Sakti saat libur kuliah dan bekerja.
"Apa menyukai seseorang memang bisa sampai sebegitunya?".
Sakti sejak tadi hanya diam, membiarkan Raina mengoceh. Semua kejadian yang diceritakan, Sakti sudah tau karena mereka selalu bersama hampir setiap waktu. Apa Raina tidak sadar akan hal sederhana seperti itu?.
Angin berhembus lembut menerpa dedaunan, ditemani suara bising beberapa kendaraan yang lewat, juga ketukan mangkok mamang bakso yang sedang mencari rejeki. Tanpa seorangpun tau, Sakti menyimpan banyak pertanyaan dalam pikirannya.
Salah satunya tentang apakah Raina menyadari kedekatan mereka yang bagai urat nadi?.
"..., ya kan?". Raina menepuk pundak Sakti, membuatnya sedikit terlonjak. Refleks meng-iya kan.
Wajah Raina tak bisa ditebak, antara terkejut, dan kecewa.
"Sudah aku duga sih".
"Apanya?".
"Kamu suka Vanya, si cantik itu".
"Hah? Apaan sih aku nggak ngerti maksud kamu apa". Sakti mengangkat sebelah alisnya. Kenapa tiba-tiba bahas Vanya?. Ia sedikit menyesal tidak mendengarkan dengan baik saat Raina bicara.
"Tadi aku bilang semua orang sepertinya suka anak gubernur itu, kamu juga sepertinya begitu, ya kan?" .
Pertanyaan Raina benar-benar membuat Sakti bingung, Raina yang biasanya tidak pernah membahas tentang orang lain lebih dari satu kali. Malah terus-terusan membahas tentang Vanya, bertanya apakah dia menyukainya atau tidak.
"Bisa berhenti bahas dia nggak, Rain?".
"Kenapa? Aku cuma membantu kamu menegaskan perasaan kamu aja".
"Perasaan?" Sakti menggeleng heran. Sikap Raina yang satu ini benar-benar pertama kali ia lihat setelah kedekatan mereka bertahun-tahun.
"Mending cari topik lain deh, biar nggak ngawur".
"Dimana letak ngawurnya Sak?, kamu suka Vanya, dan Vanya suka kamu, terbukti dari dia yang jadi fans berat kamu, selamat deh, tinggal pdkt aja kalian, cocok banget, aku bakal dukung".
Di ujung kalimat, Raina merasakan renyut didadanya. Tapi ia abaikan, saat ini rasa percaya dirinya sedang di titik rendah, membayangkan Sakti dan Vanya bersama, benar-benar membuatnya hampir mual. Saking kacau pikirannya, Raina tak bisa mengontrol kata-kata sendiri.
"Kamu ambil aja tawaran itu Sak, bisa jadi jalan yang bagus untuk kedekatan kalian, ya kan? Aku..."
"Kalau itu yang kamu mau, aku akan turuti". Sakti berdiri, mulai kesal dengan tingkah aneh Raina.
Menelan ludah. Raina sering melihat Sakti menatap dingin padanya ataupun orang lain dalam beberapa kesempatan, tapi kali ini tatapan dinginnya sungguh berbeda. Ada sedenting luka yang ia lihat di mata Sakti.
Tanpa sadar Raina meremas ujung bajunya, sadar kalau kata-katanya berlebihan. Raina yang meracau dan mengoceh tentang perasaan Sakti pada wanita lain, membuatnya tak terlihat seperti Raina yang biasanya.
Ya Tuhan, apa yang sudah ku lakukan?.
"Sejak tadi aku berusaha diam mendengarmu membahas tentang Vanya, ku kira dengan diam kamu juga akan ikut diam, tapi malah sebaliknya. Kamu bilang mau menegaskan perasaanku? Kamu tahu apa tentang perasaanku?. Pernyataanmu ingin membantu perasaanku hanya alasan untukmu menyamarkan rasa ketidakpercayaan diri. Sejak kapan kamu sebegini lemah Rain?. Bagaimana bisa kamu membiarkan seorang perempuan yang belum kamu kenal mengacaukan pikiranmu? Memprovokasi perasaanmu?".
Sakti menatap Raina yang terdiam, menunduk menatap lantai panti yang terbuat dari semen.
"Aku akan telpon wibu bawang, bilang kalau aku terima tawaran jadi tamu istimewa acara ultah Vanya. Kamu senang?. Tentu saja, karena kamu bilang akan mendukungku. Terima kasih Rain, sekarang aku tau masih ada sisi dari dirimu yang ternyata belum ku kenali".
Sakti berjalan meninggalkan Raina yang masih menunduk, lantai semen panti basah oleh satu dua titik air yang akhirnya jatuh dari pelupuk mata yang sedari tadi tertahan. Untuk kemudian tetesan air mata itu mulai membasah, menetes tak terkendali.
"Aku juga nggak tau aku kenapa Sak, aku nggak ngerti kenapa aku begini".
Raina mengusap pipinya yang basah, berkata pelan hingga hanya ia seorang yang bisa mendengar, bertanya-tanya pada hatinya sendiri perasaan apa yang tengah ia rasakan, tapi tak menemukan jawabannya.
Anggi, adik Raina yang juga merupakan anak tertua kedua di panti asuhan bunda tiba-tiba muncul dari balik pintu, memeluk kakaknya, berusaha menenangkan Raina yang menangis tanpa suara.
Hubungan Raina dan Sakti memang tidak setiap saat baik dan harmonis. Mereka sering bertengkar, entah tentang hal sepele atau serius sekalipun. Tapi Anggi tau, saat bertengkar, Sakti tak pernah meninggalkan Raina, lebih memilih meminta maaf. Pun Raina, tak pernah menangis saat bertengkar, selalu memiliki argumen kuat untuk membalas kata-kata Sakti.
Apa yang terjadi sekarang jelas bukan hal yang biasa, sesuatu telah terjadi diantara hati mereka, membuat segalanya terasa lebih sensitif. Entah itu akan membawa dampak renggangnya hubungan mereka, atau malah membuatnya semakin erat.
Anggi mengelus pundak kakaknya, menatap Sakti yang menutup kencang pintu rumah dari tempatnya duduk.
Hingga malam Raina tidak mendapati sosok Sakti karena memilih mengurung diri di kamar. Anggi yang mengerti keadaannya memberitahu bunda kalau kakanya sedang tidak enak badan, membiarkan adik mereka yang lain Rina dan Zara yang membantu bunda memasak makan malam. Beberapa kali bunda mendatangi kamar mereka, membawakan obat, menanyakan keadaan Raina. Meski merasa bersalah telah berbohong, Raina dengan senang hati meminum obat yang diberikan, berterima kasih pada bunda.
"Malam ini Sakti nggak ikut makan malam Ra, kenapa ya? Apa dia nggak ada di rumah?".
Raina menggeleng, ia yakin Sakti ada di rumahnya saat ini, namun sengaja menghindari makan malam agar mereka tak bertemu.
"Mungkin Sakti tidur cepat bunda, jadi tidak ikut makan malam. Sebaiknya bunda juga istirahat, bunda harus jaga kesehatan".
Bunda tidak boleh tau kalau mereka sedang bertengkar, Raina terpaksa kembali berbohong, mengelus lengan bunda yang ringkih, Raina menatap sedih wajah tua bunda yang telah melewati banyak fase menyakitkan kehidupan, nampak lelah. Bunda tersenyum, mengelus tangan anak sulung keluarganya, mengangguk.
"Kamu benar, bunda harus istirahat, ada banyak hal yang harus bunda lakukan esok hari, termasuk bertemu ketua yayasan yang selama ini membantu panti asuhan kita, meminta mereka bertahan paling tidak sebentar lagi, bunda tak punya pilihan, nak".
Raina mengusap wajah, hal ini telah lama ia ketahui. Ketua yayasan itu benar-benar tidak main-main mau mencabut donasinya. Yayasan yang telah membantu bunda mempertahankan panti asuhan selama sepuluh tahun terakhir, memutuskan akan berhenti memberikan donasi untuk waktu dekat dekat karena akan membangun mega projek di kota sebelah, memakan dana sangat banyak, termasuk mengorbankan dana donasi yang harusnya di berikan pada anak malang di panti asuhan.
"Tak perlu khawatir, percaya pada bunda, adik-adikmu takkan bunda biarkan kelaparan, dan kamu tetap bisa menyelesaikan kuliahmu dengan tenang, kalian adalah anak-anak bunda yang kuat".
Raina menyeka ujung mata, mengangguk. Membayangkan bunda yang telah berumur memperjuangkan hak anak-anak malang yang tak memiliki orang tua. Benar-benar membuatnya sedih.
Hampir semalaman Raina tidak bisa memejamkan mata, terjaga hingga larut malam, obat yang diminum Raina seharusnya membuatnya mengantuk, namun entah kenapa sama sekali tak ber-efek. Anggi dan adiknya yang lain telah pulas sejak beberapa jam yang lalu.
Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, pikiran Raina menerawang ke berbagai masalah yang terjadi, mulai dari bunda dan panti asuhan, hingga bayangan wajah Sakti yang entah kenapa selalu berseliweran di kepalanya. Membayangkan wajah Sakti yang kecewa dan terluka, membuat hatinya sakit.
Apa kata-katanya benar-benar sudah keterlaluan?.
Mengusap kepalanya yang berdenyut, Raina benar-benar tak mengerti apa yang telah terjadi pada perasaannya, perasaan ini terlalu asing, terlalu rumit untuk dimengerti akal sehatnya.
Raina memutuskan memaksa matanya terpejam, hingga akhirnya bisa tertidur saat pagi hampir menyingsing.
***
"Ci, ada telpon dari kak Langit".
Anggi bergegas menyerahkan handphone miliknya pada Raina yang baru saja keluar dari kamar mandi. Anggi satu-satunya penghuni panti asuhan yang memiliki handphone, kekasih sekaligus atasan tempatnya bekerja paruh waktu yang memberikan sebagai hadiah ulang tahun, ia tidak keberatan berbagi handphone pada Raina jika untuk saat-saat tertentu kakaknya membutuhkan.
Raina bergegas menerima telpon itu, suara berat berkarisma khas Langit menyapa telinganya.
"Halo Ra, sorry ya mendadak dan harusnya hari ini kamu masih libur kerja, tapi bisa dateng ke kantor pagi ini nggak? Kita ada pertemuan dan rapat penting nih".
"Bisa bang, kebetulan pagi ini aku juga nggak ada kelas di kampus. Tapi rapat tentang apa ya bang?".
"Rapat tentang party Vanya yang sudah mencapai kesepakatan, sekarang kita tinggal nyusun plan buat dekor dan acaranya, tapi harus cepat, soalnya diadain minggu ini".
Jantung Raina berdegup kencang mendengar nama Vanya.
"Artinya.." Raina tergagap. "Sakti setuju jadi tamu spesial diacara itu?".
"Iya, entah gimana ceritanya dia setuju, ngehubungin awan kemarin sore, dasar si kampret itu, bosnya aku apa Awan sih?".
Raina terdiam, beralih menatap jendela rumah Sakti yang masih tertutup rapat. Sakti ternyata benar-benar melakukan apa yang ia katakan kemarin.
Raina menatap sayu, keputusan telah Sakti ambil, saat itu juga Raina sadar telah membiarkan gerbang dunia Sakti terbuka lebar, dimana dulu ia yakin hanya dirinya yang ada dalamnya.
Dan kini kesempatan itu telah berada di tangan Vanya.
"Tapi aku yakin ini nggak jauh-jauh dari bantuan kamu, makasih ya cantik, nanti aku traktir kita makan deh, kamu mau..."
"Bang Langit"
"Eh, iya ?". Jawab Langit bingung, untuk pertama kalinya Raina menyela saat ia berbicara.
"Bang Langit mau nggak jemput Raina pagi ini?" Raina menjeda kalimatnya, berkata dengan hati yang terasa perih.
"Raina nggak mau berangkat bareng Sakti".
---