Beberapa tetes antiseptik diteteskan pada luka Raina yang sudah mulai berhenti mengeluarkan darah, kemudian dibalut dengan kain kasa. Raina memandang Sakti dalam diam. Keheningan mengudara diantara mereka, membuat sesak, Raina tidak berani bertanya tentang apa yang baru saja Sakti lakukan. Dia terlalu malu, terlalu gugup. Tapi entah mengapa juga merasa senang, meski ia hanya sanggup mengakuinya sedikit.
Sakti membalut luka Raina dengan hati-hati dan rapi. Selesai. Dengan tenang Sakti merapikan kotak obat, menaruhnya ditempat sebelumnya, tidak ada lagi ekspresi panik yang sempat bersarang di wajahnya yang tampan. Sedangkan diatas kasur, Raina masih mematung, bergerak pun rasanya belum sanggup.
Rasa sakit pada kakinya ?. Menghilang sama sekali. Ciuman itu benar-benar mengalihkan seluruh perhatian Raina.
Tepat sebelum Raina membuka mulutnya, Sakti bicara lebih dulu, membuatnya urung membuka percakapan.
"Maaf Rain.."
Sakti masih membelakangi Raina. Berdiri menghadap kotak obat yang sudah tergantung di dinding.
"Kamu nangis dihadapanku seperti itu bikin aku benar-benar panik, jadi aku terpaksa melakukannya".
Mendengar alasan Sakti menciumnya hanya karena terpaksa, hati Raina tiba-tiba mencelos kecewa, entah kenapa merasa dipermainkan. Dia telah merenggut ciuman pertama dengan mudahnya, lalu berkata itu hanya terpaksa ?.
Jadi hanya Raina yang merasa ciuman itu memiliki arti ?. Dan hanya dia yang merasakan debaran itu?. Bodoh sekali Raina mengira Sakti menciumnya karena memiliki debaran yang sama.
Apa yang sudah ia harapkan? Sakti menyukainya lebih dari sahabat?. Omong kosong, Raina telah menciptakan omong kosong besar untuk dirinya sendiri.
Demi mendengar penjelasan Sakti, dan merutuki kesalah pahamannya sendiri yang sempat memupuk harapan palsu. Raina berdiri. Berjalan dengan langkah pincang menuju pintu kamar. Sebelum meninggalkan kamar ia berhenti sejenak. Menatap Sakti dengan raut kecewa.
"Jika kamu memang benar-benar panik. Kamu seharusnya cukup membungkam ku dengan tanganmu saja. Membiarkan aku menahan rasa sakitnya untuk sementara, biarkan saja aku berteriak, toh tempat ini luas kan ?".
Raina menghela nafas, menahan suaranya yang bergetar.
"Terima kasih untuk bantuannya Sak, aku harap di lain waktu kalau kamu melihat lagi orang lain terluka dan panik. Kamu nggak ngelakuin hal yang sama. Karena Vanya akan terluka kalau mengetahuinya".
Tepat diujung kalimat Raina menutup pintu. Meninggalkan debam pintu yang sedikit keras. Sakti terduduk di lantai, menyandarkan punggungnya di dinding kamar berwarna putih.
Tak berapa lama pintu kembali dibuka dengan tergesa-gesa. Sakti mengira Raina kembali. Membuatnya berseru tertahan, menyebut nama Raina.
Tapi tenyata ia salah. Seorang wanita memang tengah berdiri diambang pintu, tapi itu bukan Raina.
Ia menatap prihatin Sakti yang memandang kosong kedepan sambil memegangi bibir dan melipat kakinya di depan dada.
"Kak Sakti, apa yang terjadi ? Kak Raina pulang dengan langkah pincang sambil menangis, aku dan kak Awan tidak bisa menghentikannya".
Sakti mengusap wajah, nampak gusar dan merasa bersalah.
"Itu semua karena salahku, Vanya. Salahku karena begitu merindukannya, tapi tidak sanggup bilang. Malah melakukan hal bodoh yang menyakitinya. Aku memang se-egois itu".
***
"Emang bener ya kata orang-orang, jatuh cinta memang bisa membuat tabiat seseorang berubah 180 derajat. Bahkan orang yang emosinya cenderung stabil seperti cici pun tak bisa mengelak dari segala serangan cinta yang terkadang nyakitin fisik, nyakitin hati".
Anggi duduk dihadapan kakaknya yang sedang duduk memeluk kaki diatas kasur. Melipat kedua kakinya menghadap Raina. Mengeluarkan kain kasa, pembersih alkohol, dan obat anti septik dari kotak P3K yang ia pinjam dari Dino, adik mereka yang sekarang sudah sekolah SMA dan jadi anggota PMR. Kain kasa di kaki Raina sudah kotor, harus segera diganti.
"Cici nggak lagi jatuh Cinta, Nggi".
Raina menjawab pelan sambil memandangi jendela mereka yang terbuka. Tak ada pemandangan menarik yang bisa dilihat, hanya rumah tua besar milik Sakti yang penghuninya pasti sedang tidak ada di rumah.
Apa yang dilakukan Sakti dirumah Vanya saat dia tidak ada sekarang ?. Apa dia masih di kamar itu?. Kenapa Sakti seakan mengetahui dengan baik rumah Vanya?. Sudah sedekat itu kah mereka?.
Pertanyaan yang berseliweran di kepala Raina membuat kepalanya berdenyut, pusing.
"Elak aja terus Ci, Elak".
Anggi menekan luka Raina dengan kapas.
"Aw! Sakit Nggi, pelan-pelan".
"Lagian aku sebel ci, sesulit itu kah bagi cici ngakuin perasaan sendiri?. Emang cici seumuran Dino yang masih labil masalah perasaan?. Kalian udah sama-sama dewasa ini".
Anggi membalut luka Raina dengan kain kasa baru.
"Aku nggak suka liat cici begini, sejak pertengkaran kalian cici jadi sering melamun, jarang keluar main sama adik yang lain, jarang bantuin bunda, dan sekarang lari dari kerjaan kayak anak kecil. Bikin sedih tau ci. Kalau bunda tau dia pasti nggak kalah sedihnya".
Raina mengelus rambut sebahu Anggi, menatapnya sayu. Selama ini pikirannya terlalu terforsir memikirkan Sakti, lupa bahwa orang-orang di dekatnya begitu menghawatirkannya.
"Maafin cici Nggi, cici nggak akan begitu lagi".
Anggi mengangguk.
"Cici nggak salah kok. Jadi nggak perlu minta maaf. Dalam cinta nggak ada yang salah dan benar. Apalagi dalam kasus cici yang pertama kali jatuh cinta".
Pertama kali, huh?.
"Harus berapa kali cici bilang Nggi. Cici nggak lagi jatuh cinta".
"Dalam hal perasaan seperti ini, aku lebih ahli ci. Nggak akan bisa cici bohongin pakar cinta kayak aku".
Anggi mengangkat wajah, membuat Raina tertawa. Tawa tulus pertamanya setelah perkelahian dengan Sakti.
"Ngomong-ngomong, bunda kemana Nggi?". Anggi mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Nggak tau ci, tadi pergi sama mang Dadang ojek langganan bunda. Nggak tau kemana, akhir-akhir ini setiap siang sampai sore hari bunda sering keluar, tapi nggak ngasih tau siapapun kemana tujuannya. Cici nggak tau karena bunda begitu cuma di hari cici kerja dan kuliah".
"Kamu nggak coba cari tau gitu?. Bunda udah tua loh nggi, kalo bunda kecapean gimana?".
"Aku udah coba cari tau ci, tapi.."
Belum sempat Anggi menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar mereka diketuk dari luar. Ron, anak paling muda di panti berseru memanggil kakaknya.
Jika di totalkan, ada 12 penghuni yang tinggal di panti asuhan ini. Bunda sebagai pengurus, Raina sebagai anak paling tua, kemudian Anggi, Rina, Dino, Zara, nama selanjutnya berlanjut hingga Ron yang masih berusia 7 tahun. Bangunan dua tingkat itu dibagi menjadi 2 bagian kamar, kamar lantai 2 dihuni oleh anak perempuan. Kamar lantai dasar dihuni anak laki-laki.
"Cici Raina ada yang nyariin tuh diluar!".
Raina bergegas berdiri diikuti Anggi, membuka pintu.
"Siapa Ron?". Ron menggaruk kepala botaknya, berkata dengan cengiran gigi ompongnya.
"Nggak tau ci, tapi dia ngasih Ron coklat ini".
"Duh, kamu ya, udah dibilang jangan makan yang manis terus, makin ompong kamu nanti".
Anggi berusaha merebut coklat itu dari tangan Ron, mengajaknya bercanda. Sedang Raina melangkah menuruni tangga, seorang laki-laki dengan kemeja putih, celana dan dasi hitam berdiri menunggunya diruang tamu.
"Pegawaiku mengalami kecelakaan kerja ya? Harusnya aku kasih kompensasi nih". Laki-laki itu nyengir, membenarkan kacamatanya.
"Bang Langit"
Raina terkejut. Oke, ini bukan kabar bagus, bosnya datang sendiri ke tempat tinggalnya pasti bukan karena ingin memberi apresiasi akan kinerjanya hari ini.
Menelan ludah, Raina yakin Langit sedang marah padanya.
"Halo Ra, bisa jelasin ke aku kenapa kamu pulang duluan?". Langit menjeda kalimatnya, menatap Raina yang menunduk.
"Kamu mau ngasih penjelasan atau mau ku marahin aja, Ra ?".
***
Mobil sport berwarna merah melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang sedang sengang. Hanya terlihat beberapa kendaraan dan mobil yang lewat dari arah berlawanan.
Pengemudinya sejauh ini tidak mengatakan sepatah katapun, hanya fokus menyetir. Sedangkan orang disampingnya hanya bisa mengedarkan pandangan. Sekaligus mengagumi interior mobil baru itu.
"Abang ganti mobil lagi Ra, bukan hasil nyolong kok, jangan di pelototin terus begitu dong".
Raina langung terdiam, berhenti tengok sana sini.
"Kita mau kemana bang?". Raina akhirnya berani buka suara, Langit berdehem pelan, masih fokus menyetir.
"Ke butik, Vanya ngasih kita bonus baju pesta gratis buat acaranya".
Raina mengangguk pelan. Untuk kemudian hening kembali menguasai mereka. Hanya terdengar suara khas mobil sport yang menderung samar.
"Sekarang kamu bisa cerita kenapa kamu sampai ngelalain tugas kamu hari ini, Raina yang begini nggak kamu banget sih. Semua orang terutama Awan panik banget loh Ra, apalagi kamu keluar sambil pincang-pincang dan nangis".
Nada suara Langit lebih tenang dan lembut dari sebelumnya. Memejamkan mata, Raina berusaha memutar otak mencari alasan yang tepat. Tidak mungkin kan dia bilang kalau alasan kenapa dia begitu karena Sakti yang menciumnya. Bisa ngamuk-ngamuk Langit kalau alasannya cuma karena masalah pribadi.
Lagian, malu lah.
"Apa karena Sakti ? Awan bilang sebelumnya dia liat Sakti bawa kamu ke sebuah ruangan di rumah itu".
Leher Raina langsung menegang, kembali ingat tentang bagaimana hangat dan lembutnya bibir Sakti. Membuatnya ingin mengantupkan kepalanya sendiri ke kaca mobil saat itu juga.
Bella Raina kok berubah jadi mesum begini?.
"Kamu ngapain sama dia di ruangan itu Ra ?".
Nada bicara Langit berubah, terdengar menahan kesal.
"Sakti cuma bantu ngobatin luka Raina bang".
"Kamu nggak bohong, kan ?". Raina mengangguk sebagai jawaban.
"Aku percaya lho sama kamu, Ra".
Nada bicara Langit kembali melunak. Ampun, bosnya benar-benar moody hari ini.
"Iya bang". Jawaban singkat Raina membuat Langit tersenyum lega.
"Kamu tau kan aku paling nggak bisa marah sama kamu, jadi aku maklumi kesalahan kamu hari ini. Tapi next time tolong jangan gitu lagi ya Ra, biar gimanapun kita harus kerja profesional. Jangan sampai client komplen apalagi sampai kecewa. Karena saingan kita banyak dan jenis usaha kita ada di bidang jasa. Kamu paham maksudku kan, Ra".
Raina mengangguk, mengerti semua perkataan Langit.
"Raina ku yang cantik memang selalu pintar". Langit mengelus rambut Raina yang sejak beberapa hari lalu, entah ada yang sadar atau tidak di cat coklat terang. Hampir pirang. Anggi salah membelikan cat rambut untuknya, membuat rambut Raina mau tak mau harus di cat dua kali karena cat rambut yang pertama terlalu kuning keemasan.
"Kita sudah sampai Ra, yuk. Yang lain sudah menunggu".
Yang lain? Itu artinya Sakti juga ada di butik itu dong?.
Raina menghela nafas dan menyiapkan hati untuk kembali bertemu Sakti. Berjalan mengiringi langkah Langit yang berjalan beberapa jengkal di depannya.
Pintu butik mewah itu terbuka, bau khas pakaian berkelas langsung saja menyapa hidung Raina. Disambut langsung oleh manajer butik. Raina bisa melihat sendiri betapa mahal dan elit tempat yang sedang ia pijak sekarang.
K-style. Butik paling mentereng di kota, bahkan dunia.
Semua pakaian indah benar-benar memanjakan mata Raina, membuatnya sejenak lupa kalau Sakti juga sedang berada di butik ini. Tanpa sadar ia berjalan berkeliling memandangi pakaian-pakaian yang satu lembar saja sudah seharga enam bulan gajinya plus lemburan sampai pagi. Hingga akhirnya berhenti di depan sebuah bilik ganti pakaian yang tertutup.
"Hai, Vanya".
Langit menyapa Vanya yang sedang asyik memilih baju sambil berbincang dengan manajer toko.
"Hai kak Langit, sudah sampai ?". Vanya mengedarkan pandangannya.
"Kak Raina.. Ikut kan?".
"Tentu saja, itu dia disana". Langit menunjuk Raina yang sedang berdiri di depan bilik ganti pakaian.
Bilik itu terbuka tepat sebelum Raina melangkahkan kakinya ke arah lain. Sakti keluar dari dalam bilik itu, mengenakan jas dan celana hitam mewah, kemeja putih serta dasi juga sepatu mengkilat. Tubuhnya yang tinggi dan atletis membuat Sakti benar-benar cocok memakai setelan tersebut. Jangan lupakan rambutnya yang telah tertata rapi. Membuat Raina tak bisa berkedip. Sakti bahkan lebih tampan dari aktor yang sering Raina lihat di laptop Kayla.
"Rain".
Sakti terkesiap melihat Raina yang berdiri didepannya.
"Sakti.." Raina bergumam.
"Kamu benar-benar.. Tampan".
---